Dering handphone tak jua berhenti sedari tadi. Aku buru-buru mematikan kompor lalu melangkah tergesa ke kamar untuk mengambil handphone di meja rias. Panggilan dari nomor baru muncul di layar. Sedikit mengernyit aku mengeja kembali nomor itu. Nomor yang tak terlalu asing dalam ingatan sebab aku sempat mengeja nomor yang sama sebelumnya. Iya, nomor perempuan itu. Beberapa kali dia memang mengirimiku pesan, menelpon bahkan mengirimkan foto kebersamaannya dengan Mas Amran. Dia pikir aku akan tersulut emosi setelah melihat pesan-pesan atau foto-foto yang dikirimkannya, tapi sayangnya aku justru tak ingin membuang energi meladeni perempuan sepertinya. Kenikmatan seperti apa yang dia rasakan? Toh, aku lebih dulu merasakannya. Aku yakin kali ini dia sengaja mengganggu waktu Mas Amran saat bersamaku. Mungkin berulang kali menelpon Mas Amran, tapi tak bisa dihubungi, makanya dia sampai meneleponku berulang kali. Handphone Mas Amran memang sengaja dinonaktifkan dan aku sendiri yang menyimpann
Belanja bulanan usai, Mas Amran mengajakku makan siang di food court. Menu bakso urat sepertinya cocok untuk mengisi perutku siang ini. Mas Amran pun oke saja. Dia memang selalu begitu, mengiyakan apapun yang kumau. Mungkin karena itu pula dia tahun menikah dengannya, aku dan dia jarang sekali cekcok. Jikalaupun iya, pasti gara-gara mama ataupun Mbak Selly yang rese itu. Kalau Prilly, adik Mas Amran memang tak terlalu ikut campur rumah tanggaku. Pun kadang membelaku di beberapa kesempatan. Dia terlihat lebih netral dan tak condong ke siapapun. Jika ada salah satu di antara kami yang salah, ya disalahkan, jika benar ya dibenarkan. Tak peduli itu aku, Mbak Selly ataupun mamanya sendiri, semua dianggap sama jika memutuskan sesuatu perkara. Mungkin karena itu pula mama dan Mbak Selly menganggap Prilly lebih berpihak padaku dibandingkan pada mereka. "Mas, mama telepon lagi." Aku menggeser handphoneku ke sisinya. Entah sudah berapa banyak mama menelponku sedari tadi. Dia marah besar ka
"Mama mau tahu apa yang kita lihat?" Mas Amran mulai berkomentar setelah terdiam beberapa saat. "Memangnya apa yang kalian lihat?" Mama kembali menatapku dan Mas Amran bergantian. Tatapan tak suka kembali kuterima, tapi kali ini aku bersikap cuek dan tetap diam sengaja membiarkan Mas Amran melakukan perannya. Aku memberi kesempatan Mas Amran untuk bicara. Jika dia ikut diam, barulah aku yang akan bergerak. "Lihat ini, Ma. Seperti inilah pergaulan menantu kesayangan mama di luar sana. Memang tak semua model seperti itu, tapi dunia mereka memang seperti ini. Kebanyakan dari mereka memang menyukai kebebasan, foya-foya dan pemborosan untuk hal-hal negatif. Meski nggak semua begitu, tapi kadang pergaulan dan lingkungan membuat sebagian dari mereka terjebak di dalamnya, Ma." Mas Amran menyodorkan handphoneku yang menayangkan video kiriman dari Arumi itu. Video di mana menantu kesayangan mama terlalu bebas merokok dengan beberapa temannya, termasuk teman lelaki mereka. Pakaian yang diken
"Sayang, ini waktu kita. Lala bisa pulang dengan supir jika dia mau. Bukan jalan sendiri ke sana." Mas Amran mencoba menolak, tapi aku menggeleng pelan. "Mas, aku menyayangimu. Karena itu pula aku tak ingin kamu membiarkan istri keduamu terjerumus pergaulan bebas di luar sana. Aku nggak ingin bebanmu bertambah berat. Jemputlah, aku akan menunggumu di sini. Tenang saja. Aku akan baik-baik saja." Aku kembali meyakinkan Mas Amran lalu mengusap lengannya pelan. "Kalau aku jemput, gimana dengan mobil Lala?" "Kamu telepon saja dia lagi di mana. Nanti kamu pakai taksi, pulangnya kamu bawa mobil Lala." Mama menyahut lagi, tapi sengaja tak menatapku padahal aku dan Mas Amran duduk bersebelahan. Entah karena apa mama dan Mbak Selly seolah enggan menatapku sedari tadi. Mungkin malu sebab balasanku tak sesuai dengan dugaan mereka berdua. Mas Amran mulai menelpon istri keduanya dan bilang akan menjemput. Berulang kali Mas Amran menoleh ke arahku lalu kembali mendengarkan suara perempuan it
Mas Amran pamit menjemput istri keduanya, meninggalkanku sendiri di rumah mama dengan perasaan was-was. Namun, aku selalu meyakinkannya akan baik-baik saja. Janjiku dalam hati, tak akan diam dan mengalah seperti dulu, aku akan membela diriku dengan caraku sendiri. "Mama nggak suka kamu cari muka di depan Amran!" Mama menatapku lekat setelah mendengar deru mobil Mas Amran meninggalkan rumah mama. "Zilva juga sama, nggak suka jika mama selalu menjelekkan Zilva di depan Mas Amran," sahutku cepat."Maksudmu apa ngomong begitu?" Aku hanya diam saja, supaya mama kembali berusaha memahami apa yang kuucapkan. "Dijelekkan seperti apapun, kalau memang dasarnya baik juga akan terlihat baik. Kalau aslinya jelek, dipuji setinggi langit pun percuma karena pada akhirnya akan terlihat jelek juga. Jadi, introspeksi lah kamu, Va. Jangan selalu menyalahkan mama atas kekuranganmu sendiri." "Tak mengapa semua orang menganggap Zilva buruk, Ma. Yang penting Mas Amran tahu kalau Zilva nggak seburuk itu.
"Mas, hari ini aku mulai ke cafe ya? Aku mau buktiin ke mama kalau aku juga bisa kerja dan mengembangkan usaha kita," ucapku pada Mas Amran yang masih menikmati sarapannya. "Iya, Sayang. Yang penting kamu bahagia, asal janji satu hal." Mas Amran mengusap punggung tanganku pelan. "Janji apa, Mas?" Aku sedikit penasaran dengan pertanyaan yang masih disimpannya. "Saat aku bersamamu, harus pulang lebih cepat dibandingkan kepulanganku dan saat aku bersama Lala, jangan pulang terlalu malam. Nanti aku carikan asisten ya, buat temani kamu di rumah dan ke cafe. Setidaknya biar nggak sendirian kalau aku nggak di rumah dan nggak bisa antar kamu." "Baik, Mas. Aku juga nggak suka kalau pergi malam-malam masih di jalan kok, kecuali sama kamu atau Arumi." Aku membalas dengan senyum tipis. "Kalau kamu nggak di rumah, sesekali Arumi boleh menginap kan, Mas? Kadang suka pengin ada teman ngobrol." Aku kembali menoleh lalu memberi Mas Amran segelas air putih setelah menyelesaikan sarapannya."Boleh,
Cafe yang dibangun Mas Amran setahun lalu ini memang tak terlalu luas. Masih ada tanah kosong di bagian belakang yang akan kufungsikan untuk taman kecil dengan beberapa meja dan kursi. Bisa untuk berfoto ria sembari menikmati makanan berat atau camilan beserta minuman kekinian yang tersedia. Selama ini cafe memang sudah cukup ramai pengunjung, mungkin karena menu makanan yang disediakan tak terlalu berat dan ramah di kantong, juga ada menu camilan lain yang kekinian. Minuman pun bervariasi dari bermacam jus dan bermacam kopi. Ada delapan karyawan di cafe ini, empat untuk shift pagi sampai sore sedangkan empat lainnya untuk shift sore sampai malam. Mungkin memang belum terlalu besar untuk ukuran cafe secara normal, tapi keuntungan bersih yang didapatkan dari cafe ini sudah lumayan, tak pernah kurang dari delapan puluh juta sebulan. Aku baru memeriksa keuangan cafe yang sudah setahun berjalan ini. Tak ada yang aneh ataupun keliru, Mas Amran memang cukup teliti saat memeriksa keuangan
"Jangan bermimpi terlalu tinggi. Sampai kapanpun kamu tak akan bisa merebut cafe ini dariku, sebab cafe ini jelas sudah atas namaku. Bahkan sebelum kamu menikah dengan suamiku. Ingat itu!" ucapku saat perempuan itu membuka pintu. Dia berhenti sejenak lalu membalikkan badan menatapku dengan ekspresi kagetnya. "Apa kamu bilang barusan? Bisa diulangi? Aku kurang dengar," ucap Lala sembari menautkan kedua alisnya seolah tak percaya dengan apa yang didengarnya barusan, padahal suaraku sudah cukup jelas dan keras. "Oh, nggak dengar? Ya sudah, aku juga malas mengulang hal yang sama. Pergilah. Aku masih banyak kerjaan!" balasku cepat. "Kamu cocok menjadi karyawan, Zilva. Bukan pemilik cafe sebab akulah yang lebih pantas memilikinya," sahut perempuan itu lagi dengan senyum miringnya. "Ohya? Bukannya kamu model, duitmu tentu banyak. Kenapa nggak berusaha membangun bisnis sendiri tanpa merampas bisnis orang lain? Atau jangan-jangan kamu hanya model cadangan yang gajinya nggak seberapa, lanta