Cafe yang dibangun Mas Amran setahun lalu ini memang tak terlalu luas. Masih ada tanah kosong di bagian belakang yang akan kufungsikan untuk taman kecil dengan beberapa meja dan kursi. Bisa untuk berfoto ria sembari menikmati makanan berat atau camilan beserta minuman kekinian yang tersedia. Selama ini cafe memang sudah cukup ramai pengunjung, mungkin karena menu makanan yang disediakan tak terlalu berat dan ramah di kantong, juga ada menu camilan lain yang kekinian. Minuman pun bervariasi dari bermacam jus dan bermacam kopi. Ada delapan karyawan di cafe ini, empat untuk shift pagi sampai sore sedangkan empat lainnya untuk shift sore sampai malam. Mungkin memang belum terlalu besar untuk ukuran cafe secara normal, tapi keuntungan bersih yang didapatkan dari cafe ini sudah lumayan, tak pernah kurang dari delapan puluh juta sebulan. Aku baru memeriksa keuangan cafe yang sudah setahun berjalan ini. Tak ada yang aneh ataupun keliru, Mas Amran memang cukup teliti saat memeriksa keuangan
"Jangan bermimpi terlalu tinggi. Sampai kapanpun kamu tak akan bisa merebut cafe ini dariku, sebab cafe ini jelas sudah atas namaku. Bahkan sebelum kamu menikah dengan suamiku. Ingat itu!" ucapku saat perempuan itu membuka pintu. Dia berhenti sejenak lalu membalikkan badan menatapku dengan ekspresi kagetnya. "Apa kamu bilang barusan? Bisa diulangi? Aku kurang dengar," ucap Lala sembari menautkan kedua alisnya seolah tak percaya dengan apa yang didengarnya barusan, padahal suaraku sudah cukup jelas dan keras. "Oh, nggak dengar? Ya sudah, aku juga malas mengulang hal yang sama. Pergilah. Aku masih banyak kerjaan!" balasku cepat. "Kamu cocok menjadi karyawan, Zilva. Bukan pemilik cafe sebab akulah yang lebih pantas memilikinya," sahut perempuan itu lagi dengan senyum miringnya. "Ohya? Bukannya kamu model, duitmu tentu banyak. Kenapa nggak berusaha membangun bisnis sendiri tanpa merampas bisnis orang lain? Atau jangan-jangan kamu hanya model cadangan yang gajinya nggak seberapa, lanta
Aku tak mengingat apapun setelah tragedi itu. Terakhir yang kudengar hanya suara lengkingan seseorang yang memanggil namaku. Suara yang cukup familiar di telinga. Mas Zain. Laki-laki itu sepertinya melihatku terlempar dari motor hingga terbentur ke trotoar. Lirih kudengar suara tangis seorang perempuan. Meski masih begitu berat, aku mencoba untuk membuka mata perlahan lalu mengedarkan pandangan ke penjuru arah. Aku yakin detik ini sudah ada di ranjang rumah sakit. Nyeri menjalar di seluruh tubuh, membuatku sedikit meringis kesakitan. Di sisi kanan ranjang kulihat Mas Amran dengan wajah kusutnya. Kedua matanya sedikit sembab karena tangisan, aku yakin itu. Sementara di kiri ranjang ada Arumi. Ah iya, hanya dia perempuan yang akan menangisiku jika dalam keadaan seperti ini. Mana mungkin keluarga Mas Amran akan ikut berduka, mungkin mereka justru akan lega jika aku mati sekalian. Dengan begitu bebas meminta Mas Amran untuk mematuhi apapun yang mereka inginkan. Astaghfirullah. Dalam
"Aku sudah merasa aneh sama mobil itu sejak keluar dari cafe, Mas. Makanya pura-pura mampir ke pom bensin untuk cek, apa mobil itu ikut ke pom atau sudah pergi dan ternyata dia benar-benar mengikutiku ke pom juga makanya aku foto plat mobilnya. Beberapa meter dari pom itulah mobil itu sengaja mempercepat lajunya lalu menabrakku dari belakang." Mas Amran kembali manggut-manggut lalu mengusap lenganku pelan. "Kalau begitu biar nanti aku cek ya, Sayang. Biasanya nggak hilang karena sudah tersimpan otomatis di penyimpanan data." Sedikit lega setelah mendengar jawaban Mas Amran soal data foto itu, semoga saja memang tak hilang hingga bisa mempercepat proses penyelidikan. Aku penasaran siapa sebenarnya yang tega membuat orang lain celaka. "Banyak istirahat, Va. Aku nggak mau kamu begini, nanti siapa yang bakal dengar kebawelanku kalau kamu sakit? Siapa juga yang akan mengantarku shopping, jalan-jalan, makan dan semuanya. Kamu tahu aku nggak bisa ke mall sendirian kan?" Arumi memanyunkan
"Mas, Lala hamil?" tanyaku singkat membuatnya semakin tercekat. "Hamil?" ulangnya. Aku menghela napas. Ternyata sesak ini begitu terasa saat mendengar kata hamil, tapi bukan untukku melainkan untuk perempuan lain yang tak lain adalah istri kedua suamiku. Bayangan semakin tersisih seolah kian nyata di depan mata. Mungkinkah Mas Amran akan tetap menepati janjinya untuk mencintaiku seperti dulu, jika dia sudah memiliki buah hati dari perempuan itu seperti yang diidamkannya selama ini? Ya Allah, ternyata sekadar mendengar kehamilannya saja membuatku sesakit ini. Kenapa dia begitu cepat hamil padahal belum genap dua minggu menikah dengan Mas Amran, sementara aku yang sudah dua tahun belum juga dikaruniai momongan. Ya Allah, bolehkah aku iri? Aku takut Mas Amran mengabaikanku setelah melihat istri keduanya berbadan dua. Sanggupkah aku tetap menggenggam prinsipku untuk mempertahankan rumah tangga ini jika Mas Amran lebih fokus pada istri keduanya dibandingkan aku?"Sayang ...." Lelaki it
"Boleh telepon mama, Sayang? Aku nyalakan loud speakernya kalau kamu mau ikut mendengarkan." Mas Amran menatapku begitu dalam. Kuserahkan kembali handphonenya lalu mengiyakan rencananya barusan. "Iya, Mas. Aku penasaran apa benar Lala sedang hamil," lirihku sembari menatap Mas Amran beberapa saat sebelum dia menganggukkan kepala. Setelah mama mengucap salam, Mas Amran pun membalasnya pelan. Ada obrolan singkat di antara keduanya, tapi mama benar-benar tak menganggapku ada. Sekadar tanya keadaanku saja tak dia lakukan. Ya Allah, padahal Mas Amran sudah bilang kalau dia nggak bisa ke rumah mama karena aku kecelakaan. Sebegitu tak dianggapnya aku sebagai menantu. "Lala mual-mual, Ran. Wajahnya pucat, sepertinya dia hamil. Mama nggak mau tahu, pokoknya kamu harus ke rumah mama sekarang. Kamu beli tespek di apotek, kalau beneran hamil besok pagi kamu antar dia ke dokter buat cek kandungan. Mama sudah nggak sabar rasanya pengin gendong cucu." "Minta tolong Mas Emil saja buat beliin tes
POV : AMRANZilva sudah cukup bagiku, wanita yang penurut, cantik, perhatian dan nyaris sempurna. Hanya satu yang membuatku was-was, dua tahun berumah tangga dia belum juga hamil. Jujur, aku juga menginginkan seorang buah hati, hanya saja aku rela menunggu benih itu lahir dari rahimnya. Sayangnya mama tak mau menunggu bahkan memaksaku menikah dengan Lala. Perempuan itu memang teman masa kecilku. Dia bahkan sudah kuanggap seperti adik sendiri saat itu. Namun, sejak dulu Lala memang memiliki rasa berbeda denganku. Aku tahu, hanya saja pura-pura tak tahu. Berulang kali mama menyarankan untuk berhubungan lebih dari sekadar teman, tapi aku menolak. Rasaku padanya tak bisa diubah begitu saja, hingga aku dipertemukan dengan Zilva. Adik kelasku saat kuliah dulu. Dia yang memiliki fans cukup banyak karena kecantikan wajah dan hatinya. Tak hanya itu saja, Zilva juga pintar dalam akademik bahkan dia mendapatkan beasiswa untuk kuliahnya itu. Aku tak tahu bagaimana perasaannya kala itu padaku, h
POV : AMRAN[Dia nggak mungkin menyebarkan video itu. Jika nekat, justru dia yang akan masuk penjara. Dia hanya menggertakmu, La. Jauhi dia. Kalau dia mengancam, ancam balik. Jangan berada di bawahnya karena dia akan semakin semena-mena. Kalau kamu mau, lebih baik lapor papa sekalian. Papa lebih tahu bagaimana menghadapi laki-laki itu]Balasanku saat itu pun masih kusimpan. Sebagai bukti jika aku tak membiarkannya begitu saja. Aku sudah berusaha menempatkan diri sebagai suaminya. Hanya saja, dia yang kurang bisa menghargai statusku di depan teman-temannya hanya karena urusan kontrak kerja. Ancamanku pada Gibran hanya dijadikan bahan tertawaan. Dia bahkan mengancamku balik jika sampai menghalangi keinginannya. Laki-laki itu benar-benar berbahaya. Namun, tiap kali aku meminta Lala untuk menceritakan semuanya pada papa, dia tetap saja menolak dengan berbagai alasan. Mungkinkah sekarang laki-laki itu sudah mendapatkan apa yang dia inginkan dari Lala? Apakah mereka kembali berhubungan la