Aku tak mengingat apapun setelah tragedi itu. Terakhir yang kudengar hanya suara lengkingan seseorang yang memanggil namaku. Suara yang cukup familiar di telinga. Mas Zain. Laki-laki itu sepertinya melihatku terlempar dari motor hingga terbentur ke trotoar. Lirih kudengar suara tangis seorang perempuan. Meski masih begitu berat, aku mencoba untuk membuka mata perlahan lalu mengedarkan pandangan ke penjuru arah. Aku yakin detik ini sudah ada di ranjang rumah sakit. Nyeri menjalar di seluruh tubuh, membuatku sedikit meringis kesakitan. Di sisi kanan ranjang kulihat Mas Amran dengan wajah kusutnya. Kedua matanya sedikit sembab karena tangisan, aku yakin itu. Sementara di kiri ranjang ada Arumi. Ah iya, hanya dia perempuan yang akan menangisiku jika dalam keadaan seperti ini. Mana mungkin keluarga Mas Amran akan ikut berduka, mungkin mereka justru akan lega jika aku mati sekalian. Dengan begitu bebas meminta Mas Amran untuk mematuhi apapun yang mereka inginkan. Astaghfirullah. Dalam
"Aku sudah merasa aneh sama mobil itu sejak keluar dari cafe, Mas. Makanya pura-pura mampir ke pom bensin untuk cek, apa mobil itu ikut ke pom atau sudah pergi dan ternyata dia benar-benar mengikutiku ke pom juga makanya aku foto plat mobilnya. Beberapa meter dari pom itulah mobil itu sengaja mempercepat lajunya lalu menabrakku dari belakang." Mas Amran kembali manggut-manggut lalu mengusap lenganku pelan. "Kalau begitu biar nanti aku cek ya, Sayang. Biasanya nggak hilang karena sudah tersimpan otomatis di penyimpanan data." Sedikit lega setelah mendengar jawaban Mas Amran soal data foto itu, semoga saja memang tak hilang hingga bisa mempercepat proses penyelidikan. Aku penasaran siapa sebenarnya yang tega membuat orang lain celaka. "Banyak istirahat, Va. Aku nggak mau kamu begini, nanti siapa yang bakal dengar kebawelanku kalau kamu sakit? Siapa juga yang akan mengantarku shopping, jalan-jalan, makan dan semuanya. Kamu tahu aku nggak bisa ke mall sendirian kan?" Arumi memanyunkan
"Mas, Lala hamil?" tanyaku singkat membuatnya semakin tercekat. "Hamil?" ulangnya. Aku menghela napas. Ternyata sesak ini begitu terasa saat mendengar kata hamil, tapi bukan untukku melainkan untuk perempuan lain yang tak lain adalah istri kedua suamiku. Bayangan semakin tersisih seolah kian nyata di depan mata. Mungkinkah Mas Amran akan tetap menepati janjinya untuk mencintaiku seperti dulu, jika dia sudah memiliki buah hati dari perempuan itu seperti yang diidamkannya selama ini? Ya Allah, ternyata sekadar mendengar kehamilannya saja membuatku sesakit ini. Kenapa dia begitu cepat hamil padahal belum genap dua minggu menikah dengan Mas Amran, sementara aku yang sudah dua tahun belum juga dikaruniai momongan. Ya Allah, bolehkah aku iri? Aku takut Mas Amran mengabaikanku setelah melihat istri keduanya berbadan dua. Sanggupkah aku tetap menggenggam prinsipku untuk mempertahankan rumah tangga ini jika Mas Amran lebih fokus pada istri keduanya dibandingkan aku?"Sayang ...." Lelaki it
"Boleh telepon mama, Sayang? Aku nyalakan loud speakernya kalau kamu mau ikut mendengarkan." Mas Amran menatapku begitu dalam. Kuserahkan kembali handphonenya lalu mengiyakan rencananya barusan. "Iya, Mas. Aku penasaran apa benar Lala sedang hamil," lirihku sembari menatap Mas Amran beberapa saat sebelum dia menganggukkan kepala. Setelah mama mengucap salam, Mas Amran pun membalasnya pelan. Ada obrolan singkat di antara keduanya, tapi mama benar-benar tak menganggapku ada. Sekadar tanya keadaanku saja tak dia lakukan. Ya Allah, padahal Mas Amran sudah bilang kalau dia nggak bisa ke rumah mama karena aku kecelakaan. Sebegitu tak dianggapnya aku sebagai menantu. "Lala mual-mual, Ran. Wajahnya pucat, sepertinya dia hamil. Mama nggak mau tahu, pokoknya kamu harus ke rumah mama sekarang. Kamu beli tespek di apotek, kalau beneran hamil besok pagi kamu antar dia ke dokter buat cek kandungan. Mama sudah nggak sabar rasanya pengin gendong cucu." "Minta tolong Mas Emil saja buat beliin tes
POV : AMRANZilva sudah cukup bagiku, wanita yang penurut, cantik, perhatian dan nyaris sempurna. Hanya satu yang membuatku was-was, dua tahun berumah tangga dia belum juga hamil. Jujur, aku juga menginginkan seorang buah hati, hanya saja aku rela menunggu benih itu lahir dari rahimnya. Sayangnya mama tak mau menunggu bahkan memaksaku menikah dengan Lala. Perempuan itu memang teman masa kecilku. Dia bahkan sudah kuanggap seperti adik sendiri saat itu. Namun, sejak dulu Lala memang memiliki rasa berbeda denganku. Aku tahu, hanya saja pura-pura tak tahu. Berulang kali mama menyarankan untuk berhubungan lebih dari sekadar teman, tapi aku menolak. Rasaku padanya tak bisa diubah begitu saja, hingga aku dipertemukan dengan Zilva. Adik kelasku saat kuliah dulu. Dia yang memiliki fans cukup banyak karena kecantikan wajah dan hatinya. Tak hanya itu saja, Zilva juga pintar dalam akademik bahkan dia mendapatkan beasiswa untuk kuliahnya itu. Aku tak tahu bagaimana perasaannya kala itu padaku, h
POV : AMRAN[Dia nggak mungkin menyebarkan video itu. Jika nekat, justru dia yang akan masuk penjara. Dia hanya menggertakmu, La. Jauhi dia. Kalau dia mengancam, ancam balik. Jangan berada di bawahnya karena dia akan semakin semena-mena. Kalau kamu mau, lebih baik lapor papa sekalian. Papa lebih tahu bagaimana menghadapi laki-laki itu]Balasanku saat itu pun masih kusimpan. Sebagai bukti jika aku tak membiarkannya begitu saja. Aku sudah berusaha menempatkan diri sebagai suaminya. Hanya saja, dia yang kurang bisa menghargai statusku di depan teman-temannya hanya karena urusan kontrak kerja. Ancamanku pada Gibran hanya dijadikan bahan tertawaan. Dia bahkan mengancamku balik jika sampai menghalangi keinginannya. Laki-laki itu benar-benar berbahaya. Namun, tiap kali aku meminta Lala untuk menceritakan semuanya pada papa, dia tetap saja menolak dengan berbagai alasan. Mungkinkah sekarang laki-laki itu sudah mendapatkan apa yang dia inginkan dari Lala? Apakah mereka kembali berhubungan la
Kepergian Mas Amran ke rumah mama semalam benar-benar membuatku tak tenang bahkan tak bisa tidur dengan nyenyak. Apalagi tak ada handphone untuk menghubungi atau sekadar tanya kabarnya. Layar handphoneku hancur karena kecelakaan kemarin dan Mas Amran janji akan membelikan handphone baru untukku setelah pulang dari rumah mama. Menunggu Arumi sampai jam besuk tiba rasanya juga terlalu lama. Tak sabar ingin cerita banyak hal dengannya, apalagi soal Lala. Barang kali dia bisa membantuku memecahkan masalah Mas Amran ini. Setidaknya agar mama tahu siapa menantu kesayangannya itu. Jika Mas Amran tak mau membuka aib Lala di depan siapapun demi janji dan menjaga perasaan mama, kurasa aku bisa mengambil alih tugasnya bukan? Aku akan cari bukti sendiri siapa Lala sebenarnya dan membongkarnya di depan mama. Mama harus tahu siapa yang layak dijadikan menantu idaman, aku atau perempuan itu. "Pagi, Cantik. Jangan melamun, nanti bisa kesambet jin tomang!" Aku sedikit terkejut saat dia datang, tapi
"Lala sama Gibran sempat ribut saat aku di sana. Lala nggak mau Gibran mengganggunya lagi, tapi laki-laki itu tetap memaksa. Dia ingin ngobrol serius dengan Lala di cafe katanya. Daripada mengundang keributan di studio, akhirnya Lala mengiyakan. Saat itulah drama besar itu terjadi dan aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri." Aku kembali tersentak mendengar cerita Arumi barusan. Jadi, dia saksi mata kedekatan Lala dengan laki-laki bernama Gibran itu? Dia melihat sendiri pertemuan perempuan dan laki-laki itu di cafe? Atau-- "Aku pamit pada Zikri untuk pergi lebih dulu karena sudah agak malam. Suasana cafe cukup ramai saat itu, tapi aku tetap pakai masker jadi tak ada yang tahu kehadiranku di sana bahkan saat Mas Amran datang menjemput istri keduanya itu pun kurasa dia tak melihatku." "Terus? Kamu rekam kejadian itu nggak?" tanyaku sedikit gugup antara lega, kecewa dan kasihan. Entah perasaan apa yang kini berkecamuk di dadaku detik ini. "Tenang saja, Va. Aku cukup bisa diandalk