"Lala sama Gibran sempat ribut saat aku di sana. Lala nggak mau Gibran mengganggunya lagi, tapi laki-laki itu tetap memaksa. Dia ingin ngobrol serius dengan Lala di cafe katanya. Daripada mengundang keributan di studio, akhirnya Lala mengiyakan. Saat itulah drama besar itu terjadi dan aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri." Aku kembali tersentak mendengar cerita Arumi barusan. Jadi, dia saksi mata kedekatan Lala dengan laki-laki bernama Gibran itu? Dia melihat sendiri pertemuan perempuan dan laki-laki itu di cafe? Atau-- "Aku pamit pada Zikri untuk pergi lebih dulu karena sudah agak malam. Suasana cafe cukup ramai saat itu, tapi aku tetap pakai masker jadi tak ada yang tahu kehadiranku di sana bahkan saat Mas Amran datang menjemput istri keduanya itu pun kurasa dia tak melihatku." "Terus? Kamu rekam kejadian itu nggak?" tanyaku sedikit gugup antara lega, kecewa dan kasihan. Entah perasaan apa yang kini berkecamuk di dadaku detik ini. "Tenang saja, Va. Aku cukup bisa diandalk
Tiga hari mendapatkan perawatan di rumah sakit membuatku sedikit lebih baik. Meski masih ada perban di sana sini, tapi aku kembali bersyukur sebab tak mengalami cidera parah. Hanya bagian kaki, lengan dan kening saja yang terluka. Bagian kaki yang agak parah, tapi aku masih bisa berjalan meski sedikit pincang. Tak apa, setidaknya masih cukup leluasa bergerak dan tak membutuhkan kruk untuk menyangga badan. [Sayang, Maaf cuma bisa jemput, nggak bisa temani kamu di rumah. Aku kerja dulu ya? Nggak usah masak. Nanti aku pesankan online buat makan siang. Soal beberes rumah, nanti ada Bi Lasmi. Selama kamu di rumah sakit, dia sudah kerja di rumah kita. Berangkat pagi pulang sore. Hari ini sengaja kuminta agak siang datangnya. Mungkin jam sebelasan baru datang. Tunggu saja ya?] Pesan dari Mas Amran baru saja kubaca setelah tiga puluh menit berselang. Hari ini dia memang harus kerja karena cutinya habis. Sejak pernikahan keduanya waktu itu, Mas Amran sudah sering cuti, tak enak jika cuti la
Cerita Arumi benar-benar membuatku cukup shock. Lala terlalu berani, seolah tak takut menghadapi apapun dan siapapun."Lala? Kok bisa sih? Ngapain coba dia ke kantormu, Mi." Arumi hanya angkat bahu mendengar pertanyaanku. "Stress kali dia. Ngeselin!" gerutunya lagi. Aku semakin tak paham apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka berdua. Aku pun tak tahu kenapa Lala senekat itu menemui Arumi. "Intinya, perempuan itu ngapain ke kantormu, Mi? Dia ngomong aneh-aneh nggak? Atau dia mengancam kamu?" Cecarku lagi. "Lala lihat aku saat dia cekcok sama Gibran di apotek. Saat itu kebetulan aku mau beli vitamin buat sepupu yang lagi hamil. Eh ketemu dua manusia itu di sana. Mungkin beli tespek kali." "Oh iya, Mas Amran bilang kalau Lala nggak hamil. Asam lambungnya naik makanya muntah-muntah. Dia juga kecapekan jadi lemes dan pucat." "Itu dia, Va. Perempuan itu curiga aku yang bilang ke Amran soal hubungannya dengan Gibran. Dia juga curiga kalau aku yang mengompori Mas Amran untuk memaks
Arumi mengemudikan mobilnya dengan santai, tapi dalam hatiku tak bisa sesantai itu. Aku benar-benar penasaran apa yang akan dilakukan Arumi di rumah mama nanti. "Va, ngelamun terus." Arumi menoleh sekilas lalu kembali fokus dengan laju mobilnya. "Rada takut aku, Mi. Takut kalau sakit jantung mama kambuh gimana?" Aku menatapnya lekat. Meski sanksi dengan sakit jantung mama, tapi aku masih takut jika terjadi sesuatu padanya saat Arumi membeberkan bukti tentang menantu kesayangannya. "Yakin banget mama mertuamu itu punya riwayat jantung?" Arumi kembali menoleh sekilas lalu tersenyum tipis. Aku hanya menghela napas sembari mengedikkan bahu. Entah. Jikalaupun mama hanya pura-pura sakit jantung, masa iya dia sampai melakukan hal konyol begitu demi keinginannya dipenuhi oleh Mas Amran? Apa mama nggak takut kena adzab beneran jika pura-pura sakit begitu? "Kadang, orang bisa menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan apa yang dia inginkan, Va. Makhluk di bumi ini beragam dan semua tak
"Mama tahu maksud kamu, La, tapi mama juga tahu bagaimana maksud Amran. Kamu hanya ingin mengakhiri karirmu dengan sempurna, sampai kontrak habis, tapi di sisi lain Amran juga nggak mau kamu ikut pergaulan teman-temanmu yang nggak bener itu. Apalagi dia lihat sendiri kamu pulang dalam keadaan mabuk dan pakai pakaian seksi seperti beberapa hari lalu. Wajar jika Amran berpikir macam-macam kan?" Aku tak tahu jawaban Lala, mungkin dia hanya diam saja atau sekadar menghela napas sebab mama melanjutkan kalimatnya lagi. "Amran hanya nggak ingin istrinya terjerumus pergaulan buruk di luar sana. Walau bagaimanapun kamu adalah istrinya, La. Baik buruknya seorang istri akan menjadi tanggungjawab suaminya. Mama papa kamu pasti juga akan menyalahkan Amran kalau kamu ikut pergaulan seperti itu. Tolong, mengertilah." Nasehat mama lagi. "Iya, Ma. Aku tahu itu. Aku juga sudah minta maaf sama dia dan janji nggak akan ngulangi kesalahan yang sama. Lagipula saat itu bukan disengaja, Ma. Aku dijebak tem
"Apa-apaan kamu, Mi! Kamu orang luar, jadi jangan sok ikut campur masalah keluargaku. Paham?!" Lala begitu kalap. Kedua matanya memerah menahan amarah. "Diam kamu, La. Biarkan Arumi memutar videonya!" Aku tak mau kalah, berusaha melindungi Arumi dengan caraku. Dia menepis kasar handphone Arumi yang masih memperlihatkan video Lala dengan laki-laki itu saat di cafe. Terdengar jelas di telinga ancaman laki-laki itu yang ingin merasakan kembali malam pertama dengan Lala jika tak ingin karirnya hancur. Bahkan laki-laki dalam video itu pun sudah tahu jika Lala telah menikah siri dengan Mas Amran. "Ayolah, Sayang. Kita nikmati malam itu kembali. Bukankah sekarang kamu sudah sah menjadi istrinya? Tak masalah bukan jika aku menginginkan jatahnya sewaktu-waktu? Aku rindu, La. Aku sangat merindukanmu. Aku benar-benar merasa kehilangan saat kamu menghilang begitu saja dua tahun belakangan." Suara laki-laki itu kembali terngiang di kepala. Ternyata Arumi benar. Dia memiliki bukti foto dan vide
"Ya Allah, Ma. Jadi mama lebih percaya sama perempuan itu daripada sama menantu mama sendiri? Mama tahu sendiri kan kalau dia sahabat baiknya Zilva. Mereka berdua pasti sekongkol buat hancurin aku, Ma. Jangan-jangan laki-laki itu orang suruhannya. Sengaja bilang begitu di saat aku mabuk dan tak terlalu sadar dengan apa yang terjadi saat itu. Ma, percayalah. Aku nggak seburuk itu. Aku tetap Lala yang mama kenal dulu," rengek Lala sembari menggenggam punggung tangan mama. "Apa buktinya, La? Di situ kamu masih setengah sadar kok. Kamu bilang kalau waktu itu sebuah kekhilafan dan kamu nggak mau melakukannya lagi. Jadi, artinya kamu memang pernah melakukan hubungan suami istri dengan lelaki lain dan itu bukan Amran kan? Kamu pernah berzina sebelum menikah dengan anakku!" ucap Mama dengan sedikit penekanan. Dia menatap lekat menantu kesayangannya itu. "Foto-foto itu nggak cuma di cafe, La. Foto-foto yang mama lihat tadi ada di beberapa tempat berbeda. Jadi, selama ini kamu berpura-pura po
"Kedua orang tuamu nggak tahu kalau kamu pernah berzina sebelum menikah dengan Amran, La? Apa mereka juga seperti mama, menganggap kamu masih menjadi Lala yang manis, lembut dan tak pernah neko-neko?" Pertanyaan kedua mama kembali membuat Lala tercekat. Dia masih bergeming sembari melirikku sesaat. "Bagaimana jika kedua orang tuamu tahu pergaulanmu di luar sana ternyata sebebas itu? Bahkan kamu berzina sebelum menikah?" Mama kembali mencecar, membuat Lala semakin gelisah. Dia berulang kali menata letak duduknya karena salah tingkah dan kini sepertinya dia mulai drama lagi."Ma ... semua itu tak seperti yang mama kira, percayalah. Aku dijebak, Ma. Saat itu aku benar-benar kecewa, patah dan sakit hati melihat orang yang kucintai menikah dengan perempuan lain. Aku pergi ke cafe dan bertemu laki-laki itu. Entah apa yang kuminum hingga tak sadarkan diri. Bangun tidur ternyata aku sudah dibawa ke hotel. Aku nggak berani cerita apapun pada papa dan mama. Mereka pasti sangat kecewa, Ma. Apal