Cerita Arumi benar-benar membuatku cukup shock. Lala terlalu berani, seolah tak takut menghadapi apapun dan siapapun."Lala? Kok bisa sih? Ngapain coba dia ke kantormu, Mi." Arumi hanya angkat bahu mendengar pertanyaanku. "Stress kali dia. Ngeselin!" gerutunya lagi. Aku semakin tak paham apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka berdua. Aku pun tak tahu kenapa Lala senekat itu menemui Arumi. "Intinya, perempuan itu ngapain ke kantormu, Mi? Dia ngomong aneh-aneh nggak? Atau dia mengancam kamu?" Cecarku lagi. "Lala lihat aku saat dia cekcok sama Gibran di apotek. Saat itu kebetulan aku mau beli vitamin buat sepupu yang lagi hamil. Eh ketemu dua manusia itu di sana. Mungkin beli tespek kali." "Oh iya, Mas Amran bilang kalau Lala nggak hamil. Asam lambungnya naik makanya muntah-muntah. Dia juga kecapekan jadi lemes dan pucat." "Itu dia, Va. Perempuan itu curiga aku yang bilang ke Amran soal hubungannya dengan Gibran. Dia juga curiga kalau aku yang mengompori Mas Amran untuk memaks
Arumi mengemudikan mobilnya dengan santai, tapi dalam hatiku tak bisa sesantai itu. Aku benar-benar penasaran apa yang akan dilakukan Arumi di rumah mama nanti. "Va, ngelamun terus." Arumi menoleh sekilas lalu kembali fokus dengan laju mobilnya. "Rada takut aku, Mi. Takut kalau sakit jantung mama kambuh gimana?" Aku menatapnya lekat. Meski sanksi dengan sakit jantung mama, tapi aku masih takut jika terjadi sesuatu padanya saat Arumi membeberkan bukti tentang menantu kesayangannya. "Yakin banget mama mertuamu itu punya riwayat jantung?" Arumi kembali menoleh sekilas lalu tersenyum tipis. Aku hanya menghela napas sembari mengedikkan bahu. Entah. Jikalaupun mama hanya pura-pura sakit jantung, masa iya dia sampai melakukan hal konyol begitu demi keinginannya dipenuhi oleh Mas Amran? Apa mama nggak takut kena adzab beneran jika pura-pura sakit begitu? "Kadang, orang bisa menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan apa yang dia inginkan, Va. Makhluk di bumi ini beragam dan semua tak
"Mama tahu maksud kamu, La, tapi mama juga tahu bagaimana maksud Amran. Kamu hanya ingin mengakhiri karirmu dengan sempurna, sampai kontrak habis, tapi di sisi lain Amran juga nggak mau kamu ikut pergaulan teman-temanmu yang nggak bener itu. Apalagi dia lihat sendiri kamu pulang dalam keadaan mabuk dan pakai pakaian seksi seperti beberapa hari lalu. Wajar jika Amran berpikir macam-macam kan?" Aku tak tahu jawaban Lala, mungkin dia hanya diam saja atau sekadar menghela napas sebab mama melanjutkan kalimatnya lagi. "Amran hanya nggak ingin istrinya terjerumus pergaulan buruk di luar sana. Walau bagaimanapun kamu adalah istrinya, La. Baik buruknya seorang istri akan menjadi tanggungjawab suaminya. Mama papa kamu pasti juga akan menyalahkan Amran kalau kamu ikut pergaulan seperti itu. Tolong, mengertilah." Nasehat mama lagi. "Iya, Ma. Aku tahu itu. Aku juga sudah minta maaf sama dia dan janji nggak akan ngulangi kesalahan yang sama. Lagipula saat itu bukan disengaja, Ma. Aku dijebak tem
"Apa-apaan kamu, Mi! Kamu orang luar, jadi jangan sok ikut campur masalah keluargaku. Paham?!" Lala begitu kalap. Kedua matanya memerah menahan amarah. "Diam kamu, La. Biarkan Arumi memutar videonya!" Aku tak mau kalah, berusaha melindungi Arumi dengan caraku. Dia menepis kasar handphone Arumi yang masih memperlihatkan video Lala dengan laki-laki itu saat di cafe. Terdengar jelas di telinga ancaman laki-laki itu yang ingin merasakan kembali malam pertama dengan Lala jika tak ingin karirnya hancur. Bahkan laki-laki dalam video itu pun sudah tahu jika Lala telah menikah siri dengan Mas Amran. "Ayolah, Sayang. Kita nikmati malam itu kembali. Bukankah sekarang kamu sudah sah menjadi istrinya? Tak masalah bukan jika aku menginginkan jatahnya sewaktu-waktu? Aku rindu, La. Aku sangat merindukanmu. Aku benar-benar merasa kehilangan saat kamu menghilang begitu saja dua tahun belakangan." Suara laki-laki itu kembali terngiang di kepala. Ternyata Arumi benar. Dia memiliki bukti foto dan vide
"Ya Allah, Ma. Jadi mama lebih percaya sama perempuan itu daripada sama menantu mama sendiri? Mama tahu sendiri kan kalau dia sahabat baiknya Zilva. Mereka berdua pasti sekongkol buat hancurin aku, Ma. Jangan-jangan laki-laki itu orang suruhannya. Sengaja bilang begitu di saat aku mabuk dan tak terlalu sadar dengan apa yang terjadi saat itu. Ma, percayalah. Aku nggak seburuk itu. Aku tetap Lala yang mama kenal dulu," rengek Lala sembari menggenggam punggung tangan mama. "Apa buktinya, La? Di situ kamu masih setengah sadar kok. Kamu bilang kalau waktu itu sebuah kekhilafan dan kamu nggak mau melakukannya lagi. Jadi, artinya kamu memang pernah melakukan hubungan suami istri dengan lelaki lain dan itu bukan Amran kan? Kamu pernah berzina sebelum menikah dengan anakku!" ucap Mama dengan sedikit penekanan. Dia menatap lekat menantu kesayangannya itu. "Foto-foto itu nggak cuma di cafe, La. Foto-foto yang mama lihat tadi ada di beberapa tempat berbeda. Jadi, selama ini kamu berpura-pura po
"Kedua orang tuamu nggak tahu kalau kamu pernah berzina sebelum menikah dengan Amran, La? Apa mereka juga seperti mama, menganggap kamu masih menjadi Lala yang manis, lembut dan tak pernah neko-neko?" Pertanyaan kedua mama kembali membuat Lala tercekat. Dia masih bergeming sembari melirikku sesaat. "Bagaimana jika kedua orang tuamu tahu pergaulanmu di luar sana ternyata sebebas itu? Bahkan kamu berzina sebelum menikah?" Mama kembali mencecar, membuat Lala semakin gelisah. Dia berulang kali menata letak duduknya karena salah tingkah dan kini sepertinya dia mulai drama lagi."Ma ... semua itu tak seperti yang mama kira, percayalah. Aku dijebak, Ma. Saat itu aku benar-benar kecewa, patah dan sakit hati melihat orang yang kucintai menikah dengan perempuan lain. Aku pergi ke cafe dan bertemu laki-laki itu. Entah apa yang kuminum hingga tak sadarkan diri. Bangun tidur ternyata aku sudah dibawa ke hotel. Aku nggak berani cerita apapun pada papa dan mama. Mereka pasti sangat kecewa, Ma. Apal
"Jadi, mama memberiku kesempatan kedua untuk menjadi menantu dan istri Mas Amran yang baik kan?" Lala mulai berbinar dengan senyum tipis di kedua sudut bibirnya."Iya, mama kasih kesempatan kamu karena mama tahu kamu tak seburuk itu. Bukankah setiap orang berhak diberi kesempatan kedua? Boleh jadi, dengan kesempatan itu bisa kamu manfaatkan sebaik-baiknya dan kalian berdua akan menjadi sepasang suami istri yang saling memaafkan, saling support dan bahagia selamanya." Mama menghela napas lalu mengusap lengan Mas Amran perlahan. "Ma ... dia sudah berdusta dan dustanya cukup fatal, Ma. Amran bisa memaafkan, tapi nggak bisa kembali sama dia. Bahkan tiap kali mau berhubungan badan, bayangan laki-laki itu selalu terngiang di kepala. Gimana mama mau punya cucu kalau berhubungan badan saja Amran enggan?!" Kedua mata mama membulat lebar. Tak hanya wanita itu, tapi semua yang mendengar keluh kesahnya pun cukup kaget dibuatnya, termasuk aku. Kupikir selama ini Mas Amran begitu menikmati status
"Mas, ini plat nomor mobil yang nabrak aku beberapa hari lalu. Aku sudah fotokan. Mungkin kamu bisa cek atau usut siapa pelakunya." Kuperlihatkan foto plat mobil itu pada Mas Amran. Masalah yang seharusnya kupikirkan justru terabaikan gara-gara membahas soal Lala dengan segala dustanya. "Mobil ini yang mengikutiku sejak keluar dari cafe, Mas. Kamu juga sudah mendengar cerita itu dari Mas Zain kan? Saat itu dia juga sempat curiga makanya ikut mengawasiku dan ternyata dugaannya nggak keliru. Supir mobil itu memang sengaja ingin mencelakakanku," ucapku lagi saat lelaki itu duduk di sampingku. Kami masih ngobrol santai di halaman samping sembari minum teh. Sengaja menikmati senja berdua. "Iya, Sayang. Zain sudah cerita soal ini dan dia juga yakin kalau mobil itu yang nabrak kamu. Hanya saja dia tak sempat menghafal nomor mobil itu. Beruntung kamu sudah memfotonya lebih dulu. Setidaknya lebih memudahkanku mengusut masalah ini." Mas Amran mengusap pelan puncak kepalaku lalu menariknya per
"Assalamualaikum, Jeng Ratna. Gimana kabarnya?" Ratna, mamanya Amran menerima panggilan telepon. "Wa'alaikumsalam, Jeng Mayang. Alhamdulillah kabar saya dan keluarga baik. Kabar Jeng May sama Wita bagaimana?" balas Ratna dengan senyum tipis. Ternyata yang menelepon saat ini adalah Mayang, mamanya Deswita. Wanita paruh baya itupun gegas mencuci tangan di wastafel. Suara Mayang terdengar cukup keras saat loud speaker di handphone Ratna diaktifkan. "Alhamdulillah kami juga baik, Jeng. Kebetulan Wita sama suaminya baru pulang dari Singapure. Mereka bawa oleh-oleh lumayan banyak, sudah dibagi-bagi ke tetangga. Tadi pagi kami ke rumah Jeng Ratna, sayangnya nggak ada di rumah. Memangnya Jeng Ratna sekeluarga ke mana?" tanya Mayang perlahan. "Oh iya, Jeng. Sejak kemarin kami memang pergi hajatan ke rumah saudara. InsyaAllah sore nanti pulang, sengaja menginap semalam di sini. Wita baru pulang honeymoon ya, Jeng?" balas Ratna lagi. "Benar, Jeng. Mereka baru pulang honeymoon di Singapure.
"Tamu yang kamu tunggu datang tuh, Mas," ucap Arumi saat melihat Lana dan Dikta datang dari pintu utama. Berliana adalah perempuan yang disukai Radit sejak dulu, namun cintanya bertepuk sebelah tangan. Dia justru menikah dengan Dikta, cinta pertamanya saat di sekolah putih abu-abu dulu. "Apa kamu bilang?" tanya Radit yang tak terlalu mendengar ucapan istrinya. Radit sempat melamun beberapa saat, jadi tak fokus dengan pembicaraan Arumi. "Tamu yang kamu tunggu sudah datang. Lihatlah, biar hatimu senang," ucap Arumi lagi dengan menahan sesak di dada. Radit cukup kaget saat melihat Lana datang bersama suaminya, lebih kaget lagi saat mendengar ucapan sang istri perihal masa lalunya. Dia memang sempat cerita soal Lana sekilas, tapi tak menyangka jika Arumi mengenali wajah perempuan itu. Tanpa Radit tahu jika Arumi sempat melihat Lana di album foto mertuanya bahkan ada foto perempuan itu di dompet suaminya. "Kamu tahu darimana kalau dia Lana?" tanya Radit gugup. Dia menatap Arumi beber
Suasana begitu meriah saat keluarga Amran sampai ke gedung tempat pernikahan Arumi dan Radit digelar. Sepasang pengantin sudah duduk di pelaminan. Arumi tampak cantik dan anggun dengan kebaya berwarna biru mudanya. Radit pun terlihat lebih tampan dan menawan dengan warna jas yang sama."Zilva!" Arumi melambaikan tangan pada Zilva yang baru memasuki gedung. Zilva tersenyum sembari memberikan kode agar sahabatnya itu bisa menjaga sikap karena banyak tamu yang datang. "Mas, aku ke sana sebentar ya?" ucap Zilva saat ingin menghampiri Arumi di pelaminan. "Iya, Sayang. Aku tunggu di sini sama mama. Mbak Selly juga mau ikut itu," balas Amran sembari menunjuk kakaknya yang melangkah paling belakang. "Iya, Mas. Mbak Selly juga mau ngucapin selamat." Zilva tersenyum tipis. "Kenapa nggak sekalian nanti aja pas mau pulang?""Kelamaan, Mas. Arumi sudah lihat tadi, lagipula cuma salaman aja, nanti ke sini lagi," bisik Zilva dibalas dengan anggukan suaminya. Zilva pun menggandeng Rafka lalu men
Robby, tangan kanan Amran itu tiba-tiba datang tanpa mengirimkan pesan terlebih dahulu. Sepertinya ada kabar penting yang dia bawa, makanya buru-buru datang meski dia juga tahu kalau Amran dan keluarganya ada acara saat ini. "Maaf mengganggu, Mas. Ada berita penting yang harus saya sampaikan secepatnya," ucap Robby sembari mengikuti langkah bosnya ke teras rumah. Amran duduk di salah satu kursi teras lalu disusul oleh Robby yang menduduki kursi lain. "Soal apa? Kecelakaan Prilly?" tebak Amran seketika. Namun, Robby menggeleng pelan membuat Amran mengernyit. "Kalau bukan itu, lantas soal apa?" tanyanya penasaran karena tebakan yang diyakininya benar justru salah besar. "Soal lelaki berjaket kulit yang selama ini meneror keluarga bos." Robby mengangguk pelan berusaha meyakinkan saat Amran menatapnya lekat. "Kenapa dia? Sudah tertangkap?" Kali ini Robby menggeleng. "Lantas? Lincah sekali dia, bisa-bisanya kamu dan anak buahmu tak mampu menangkapnya setelah sekian lama berusaha mel
Zilva merahasiakan permasalahan Arumi dengan calon suaminya dari Amran. Dia ingin menjaga perasaan sahabatnya, meskipun Amran sedikit tahu tentang kisah percintaan Arumi saat ini. Kisah cinta yang datang dari sebuah perjodohan, sementara Radit belum selesai dengan masa lalunya. "Cantik," puji Amran saat melihat istrinya keluar dari kamar dengan gamis abu-abunya. Rafka dan Amran pun memakai kemeja dengan warna yang sama. "Bukannya dari dulu memang cantik, Mas? Lupa?" Zilva sedikit mencibir saat digoda suaminya. "Nggak lupa dong. Lagipula kalau nggak cantik, mana mungkin jadi istri seorang Amran." "Oo ... jadi, kriteria menjadi istri Amran itu hanya cantik saja?" Zilva melirik malas. "Cantik wajahnya memang banyak, tapi yang cantik wajah dan hatinya itu nggak akan banyak." Amran menarik pelan dagu istrinya lalu mencium kening dan bibirnya."Kalian sudah siap?" Tiba-tiba mama Amran muncul dari ruang tamu. Sepertinya dia baru saja datang bersama Selly dan Ruri. "Astaghfirullah!" pek
"Om Galih ya, Mas?" tanya Zilva setelah Amran mengakhiri panggilan. Laki-laki itu pun mengangguk lalu meletakkan kembali benda pipih kecil berwarna hitam itu ke meja. "Om Galih bilang kalau Lala akan segera bebas sekitar enam bulan lagi." Zilva manggut-manggut. "Lala masih berharap kalau kamu bakal jenguk dia?" tebak Zilva yang tahu apa inti pembicaraan itu. Zilva paham bagaimana keinginan Lala, tapi dia juga mengerti bagaimana keputusan suaminya yang tak ingin berhubungan dengan mantan istrinya itu lagi. "Biar sajalah, Sayang. Makin ribet kalau nanti berurusan dengan dia lagi. Kita nggak tahu apakah tiga tahun penahanannya itu membuatnya benar-benar jera atau justru menimbulkan dendam semakin dalam." "Jenguk saja sekali, Mas. Nggak ada salahnya kan?" bujuk Zilva lagi. Namun, Amran justru hanya membalas dengan hembusan napas kasar lalu menyandarkan punggungnya ke sofa. "Kamu lupa bagaimana sepak terjangnya selama ini? Dia nyaris memisahkan kita dan membuat kita selalu ribut, Saya
"Assalamualaikum. Bagaimana kabarmu, Ran?" Suara dari seberang mengingatkan Amran dengan seseorang yang begitu dia kenal. Amran mengernyit. Dia tak tahu mengapa tiba-tiba laki-laki itu meneleponnya dengan nomor baru. "Wa'alaikumsalam, Pa. Alhamdulillah kabar baik. Papa sama mama gimana?" tanya Amran pada Galih, orang tua Lala yang tak lain mantan istri keduanya. "Alhamdulillah kami baik, Ran." Amran mengucap Hamdallah saat mendengar berita baik itu. "Sudah lama tak kasih kabar, papa hanya mau bilang kalau nomor yang lama hilang. Ini nomor baru papa." "Iya, Pa. Nanti Amran simpan nomornya. Maaf belum bisa jenguk papa dan mama. Akhir-akhir ini cukup banyak masalah dan Amran harus menyelesaikannya satu persatu." Amran menghela napas panjang. Sejak perceraiannya dengan Lala beberapa bulan silam, Amran memang hanya dua atau tiga kali menjenguk mertuanya. Itupun karena mama mertuanya sakit. Setelahnya, dia tak pernah ke sana lagi karena memang banyak masalah yang menimpa keluarganya.
"Fika, sini sama Tante." Zilva menyambut Fika dengan hangat. Gadis cantik itu dititipkan pada Zilva dan Amran selama Prilly masih di klinik. Romi yang bekerja sebagai karyawan swasta tak mungkin bisa menjaga Fika 24 jam. Dia harus bekerja dan menjenguk istrinya. Oleh karena itulah, pilihan terakhir dan terbaik memang menitipkan Fika pada Zilva karena dia yang selalu di rumah. "Tante, maaf kalau Fika ganggu Tante Zilva ya," ucap Fika dengan polosnya. "Nggak ganggu, Sayang. Tante justru senang Fika di sini. Adik Rafka ada yang nemenin main. Iya kan?" Zilva jongkok, mensejajari Fika yang berdiri di depannya. Dia pun tersenyum lalu mengusap puncak kepala Fika yang menatapnya dengan berbinar. "Iya, Tante. Fika mau ajak adik Rafka main," balas Fika sembari berlari kecil ke arah Rafka yang bermain bola di ruang tengah. Zilva dan Amran saling tatap lalu sama-sama tersenyum. Amran merangkul istrinya saat melangkah beriringan mendekati Rafka dan Fika. Mereka membicarakan tentang keadaan Pr
"Gimana keadaan Prilly, Ma?" tanya Amran saat mamanya menjemput di depan pintu utama klinik Amal Sehat. "Alhamdulillah Prilly membaik, Ran. Dia cuma agak trauma saja." Amran menatap mamanya lekat."Trauma gimana, Ma?" lirih Amran sembari melangkah ke kamar inap Prilly. "Dia bilang beberapa kali tak sengaja lihat ada yang mengikutinya. Sebelum ke pasar tadi dia juga sudah lihat laki-laki yang menabraknya itu, tapi Prilly mencoba berbaik sangka. Ternyata, firasatnya memang benar kalau laki-laki itu ingin mencelakainya." Ratna menjelaskan semuanya pada Amran. "Jadi, Prilly memang sengaja ditabrak?" tanya Amran lagi saat berhenti di depan kamar inap Prilly. Ratna pun mengangguk. "Dia kabur setelah melihat Prilly tergeletak di trotoar." "Kurang ajar," gumam Amran begitu geram. Jemari-jemarinya mengepal. Dia tak akan tinggal diam melihat adiknya diperlakukan semena-mena seperti itu. "Sudahlah, Ran. Yang penting sekarang kesembuhan Prilly dulu. Soal pelakunya kita urus belakangan." "N