"Jadi, mama memberiku kesempatan kedua untuk menjadi menantu dan istri Mas Amran yang baik kan?" Lala mulai berbinar dengan senyum tipis di kedua sudut bibirnya."Iya, mama kasih kesempatan kamu karena mama tahu kamu tak seburuk itu. Bukankah setiap orang berhak diberi kesempatan kedua? Boleh jadi, dengan kesempatan itu bisa kamu manfaatkan sebaik-baiknya dan kalian berdua akan menjadi sepasang suami istri yang saling memaafkan, saling support dan bahagia selamanya." Mama menghela napas lalu mengusap lengan Mas Amran perlahan. "Ma ... dia sudah berdusta dan dustanya cukup fatal, Ma. Amran bisa memaafkan, tapi nggak bisa kembali sama dia. Bahkan tiap kali mau berhubungan badan, bayangan laki-laki itu selalu terngiang di kepala. Gimana mama mau punya cucu kalau berhubungan badan saja Amran enggan?!" Kedua mata mama membulat lebar. Tak hanya wanita itu, tapi semua yang mendengar keluh kesahnya pun cukup kaget dibuatnya, termasuk aku. Kupikir selama ini Mas Amran begitu menikmati status
"Mas, ini plat nomor mobil yang nabrak aku beberapa hari lalu. Aku sudah fotokan. Mungkin kamu bisa cek atau usut siapa pelakunya." Kuperlihatkan foto plat mobil itu pada Mas Amran. Masalah yang seharusnya kupikirkan justru terabaikan gara-gara membahas soal Lala dengan segala dustanya. "Mobil ini yang mengikutiku sejak keluar dari cafe, Mas. Kamu juga sudah mendengar cerita itu dari Mas Zain kan? Saat itu dia juga sempat curiga makanya ikut mengawasiku dan ternyata dugaannya nggak keliru. Supir mobil itu memang sengaja ingin mencelakakanku," ucapku lagi saat lelaki itu duduk di sampingku. Kami masih ngobrol santai di halaman samping sembari minum teh. Sengaja menikmati senja berdua. "Iya, Sayang. Zain sudah cerita soal ini dan dia juga yakin kalau mobil itu yang nabrak kamu. Hanya saja dia tak sempat menghafal nomor mobil itu. Beruntung kamu sudah memfotonya lebih dulu. Setidaknya lebih memudahkanku mengusut masalah ini." Mas Amran mengusap pelan puncak kepalaku lalu menariknya per
[Mas, perempuan itu ke mall dengan seorang lelaki] Pesan baru muncul di layar dari seseorang yang bernama Roby. Sepertinya itu asisten Mas Amran untuk membantunya menyelidiki masalah ini. [Kirim fotonya, saya pengin lihat apakah dengan lelaki yang sama atau berbeda. Jangan sampai ketahuan dan ikuti ke manapun mereka pergi] Tak lama setelahnya, foto Lala dengan lelaki itu pun muncul di layar. Tak hanya aku yang shock, tapi juga Mas Amran. Benar dugaannya, Lala pergi ke mall dengan laki-laki itu. Gibran. Ternyata mereka masih berhubungan, sekalipun kulihat wajah Lala yang muram entah karena apa. "Lihatlah, Sayang. Kebohongan-kebohongan lain akan bermunculan dan kita siap-siap menang." Mas Amran kembali menggenggam tanganku lalu menciuminya. Tak terasa kedua pipiku pun basah. Aku tak tahu apakah harus senang atau bahagia melihat kejadian ini. Aku bahagia karena sebentar lagi mama akan tahu bagaimana wajah asli menantu kesayangannya itu. Namun, di sisi lain aku terluka melihat suami
"Mas, aku ke cafe sekarang ya? Sudah mulai renovasi bagian belakang. Doakan segera selesai dan kita punya cafe yang fresh dan kekinian. Soal Lala dan mama, tentu kamu bisa menyelesaikannya dengan baik. Aku ngikut saja." Aku pamit pada Mas Amran melalui sambungan telepon. "Iya, Sayang. Hati-hati ya. Ini baru ketemuan sama Zikri dan Arumi. Zikri punya bukti rekaman atasannya saat ngobrol sama Lala tempo hari. Alasan Lala disetujui tanpa denda, tapi kamu tahu sendiri kan dia tetap minta transferan empat puluh juta untuk foya-foya dengan laki-laki itu," ucapnya geram. Terdengar jelas kekesalan dalam suaranya yang merdu itu."Iya, Mas. Cari bukti lebih banyak supaya dia tak bisa mengelak dan beralibi macam-macam. Lala terlalu pintar bersilat lidah. Dia pasti sudah punya alasan lain untuk mencuri hati mama." Mas Amran mengiyakan. "Kamu tenang saja, Sayang. InsyaAllah semua akan berjalan lancar." Aku hanya bisa mendoakan yang terbaik dan aku juga percaya jika Mas Amran bisa memecahkan masa
Tak ingin berlama-lama, aku pun mengirimkan rekaman itu ke WhatsApp Mas Amran. Kulangkahkan kaki keluar mall lalu menuju area parkir lalu melanjutkan perjalanan ke cafe. Dua kotak brownies sudah kubeli untuk camilan di sana nanti. Tak sadar, ternyata hari-hariku jauh lebih indah dengan kegiatan positif seperti ini. Aku bisa mengembangkan bakatku, bertemu banyak orang di cafe dengan senyum dan tawa mereka, sesekali mendengarkan kekonyolan dan gurauan para karyawan, menikmati suasana cafe saat senja dan semuanya membuatku merasa lebih tenang dan nyaman. Setidaknya dengan begini aku bisa sedikit melupakan Mas Amran saat dia menginap di rumah mama. Meski saat pulang dari cafe, kesepian dan keheningan itu kembali terasa menyiksa. Setidaknya ada kenangan lain yang kudapatkan saat di luar rumah. Momen-momen seru yang akan kuingat selalu dan bisa kuulang kesesokan harinya. [Ya Allah, Sayang. Teganya mama membohongi kita semua. Aku benar-benar tak percaya jika mama setega itu pada kita hany
[Sayang, pulangnya aku jemput ke cafe ya? Motor simpan di sana saja. Kita ke rumah mama. Bukti soal Lala kurasa sudah cukup dan mama harus tahu secepatnya. Lagipula sakit jantung itu hanya pura-pura kan? Buat apa ditunda-tunda. Sekalian Mbak Selly dan Prilly kuminta datang untuk jadi saksi] Pesan Mas Amran muncul di WhatsApp. Aku membacanya sekilas sembari sesekali memejamkan mata karena pusing. Badan rasanya lesu dan tak bertenaga, padahal jelas aku sudah sarapan dan makan siang. Bahkan minum susu segala. Sebelum jam satu siang aku diantar pulang oleh Fani dan Ida. Fani memakai motor maticku, pulangnya dia berboncengan dengan Ida. Mereka khawatir melihatku pucat dan lemas. Tadinya akan diantar ke klinik, hanya saja aku menolak. Kurasa ini hanya kecapekan biasa dan aku cuma butuh istirahat.[Aku sudah di rumah, Mas. Jadi, kalau mau jemput nanti ke rumah saja ya? Entah mengapa mendadak nggak enak badan. Mungkin kecapekan karena akhir-akhir agak terforsir, tapi kamu nggak perlu khawat
"Mama dan semua yang di sini bisa mendengarkan dan melihat video ini. Setelah selesai, silakan beri tanggapan. Apakah pantas dipertahankan atau lebih baik diceraikan," ucapnya tenang, tapi membuat perempuan-perempuan di sampingnya itu tercekat seketika. Mereka saling pandang tak mengerti lalu Mbak Selly buru-buru memutar video di handphone Mas Amran. Semua video dibukanya, termasuk video pengakuan Lala yang hanya menginginkan harta Mas Amran saja. Bahkan mama sangat shock saat mendengar Lala meminta empat puluh juta sebagai denda kontrak padahal jelas atasannya bilang tak ada denda sebab dia memaklumi keputusan Lala untuk hijrah. Kebetulan atasannya pun dalam proses hijrah dengan menutup aurat. "Gimana, Ma? Masih bersikukuh kalau menantu mama itu yang terhebat dan terbaik? Atau mama masih tetap yakin jika dia bisa menjadi istri shalehah buat Amran?" tanya Mas Amran dengan tenang. "Setelah melihat semua video itu, apakah mama masih berharap dia menjadi istri sholehah yang patuh pada
"Sayang ... kamu nggak apa-apa kan?" Mas Amran kembali bertanya dengan khawatir. Perlahan kubuka pintu setelah cuci muka dan merasa baik-baik saja. Mencoba untuk tersenyum menatapnya agar tak terlalu mengkhawatirkan keadaanku. Aku harus bertahan di sini, setidaknya sampai masalah ini selesai. Ingin kutahu keputusan apa yang akan diambil Mas Amran setelah topeng istri keduanya terbongkar. Jangan sampai keputusan akhirnya tertunda karena dia terlalu mengkhawatirkan keadaanku yang tak baik-baik saja. "Aku oke kok, Mas. Jangan terlalu khawatir. Ayo dilanjutkan, aku mau ikut mendengarkan keputusan terbaik untuk masalah ini," balasku lagi dengan seulas senyum.Mas Amran mengusap wajahku yang masih sedikit basah lalu mencium keningku begitu saja. Seolah tak peduli ada beberapa pasang mata yang sedang mengawasinya. Kulirik Lala yang melengos saat melihat Mas Amran mulai mengusap kepalaku lalu membawaku ke dalam dekapannya. Aku tahu dia cemburu. "Bener kamu nggak kenapa-kenapa, Sayang?" ta