"Mama dan semua yang di sini bisa mendengarkan dan melihat video ini. Setelah selesai, silakan beri tanggapan. Apakah pantas dipertahankan atau lebih baik diceraikan," ucapnya tenang, tapi membuat perempuan-perempuan di sampingnya itu tercekat seketika. Mereka saling pandang tak mengerti lalu Mbak Selly buru-buru memutar video di handphone Mas Amran. Semua video dibukanya, termasuk video pengakuan Lala yang hanya menginginkan harta Mas Amran saja. Bahkan mama sangat shock saat mendengar Lala meminta empat puluh juta sebagai denda kontrak padahal jelas atasannya bilang tak ada denda sebab dia memaklumi keputusan Lala untuk hijrah. Kebetulan atasannya pun dalam proses hijrah dengan menutup aurat. "Gimana, Ma? Masih bersikukuh kalau menantu mama itu yang terhebat dan terbaik? Atau mama masih tetap yakin jika dia bisa menjadi istri shalehah buat Amran?" tanya Mas Amran dengan tenang. "Setelah melihat semua video itu, apakah mama masih berharap dia menjadi istri sholehah yang patuh pada
"Sayang ... kamu nggak apa-apa kan?" Mas Amran kembali bertanya dengan khawatir. Perlahan kubuka pintu setelah cuci muka dan merasa baik-baik saja. Mencoba untuk tersenyum menatapnya agar tak terlalu mengkhawatirkan keadaanku. Aku harus bertahan di sini, setidaknya sampai masalah ini selesai. Ingin kutahu keputusan apa yang akan diambil Mas Amran setelah topeng istri keduanya terbongkar. Jangan sampai keputusan akhirnya tertunda karena dia terlalu mengkhawatirkan keadaanku yang tak baik-baik saja. "Aku oke kok, Mas. Jangan terlalu khawatir. Ayo dilanjutkan, aku mau ikut mendengarkan keputusan terbaik untuk masalah ini," balasku lagi dengan seulas senyum.Mas Amran mengusap wajahku yang masih sedikit basah lalu mencium keningku begitu saja. Seolah tak peduli ada beberapa pasang mata yang sedang mengawasinya. Kulirik Lala yang melengos saat melihat Mas Amran mulai mengusap kepalaku lalu membawaku ke dalam dekapannya. Aku tahu dia cemburu. "Bener kamu nggak kenapa-kenapa, Sayang?" ta
"Mas, aku keluar sebentar ya? Mau cari sesuatu di minimarket," pamitku pada Mas Amran. Daripada menunggu kedua orang tua Lala yang mungkin masih lama sampainya, lebih baik aku beli camilan dan minuman dingin biar lebih seger. Kebetulan di samping menimarket itu ada apotek mini, rencananya sekalian beli tespek. Meski sangat khawatir hasilnya tak berbeda dengan tes-tes sebelumnya, setidaknya aku tak lagi penasaran dengan rasa mual yang menyerangku beberapa hari terakhir. Jika memang hasilnya nanti benar-benar negatif, biarlah aku yang kecewa duluan sebelum Mas Amran. "Minimarket mana? Biar kuantar, nggak mungkin jalan kaki kan?" Mas Amran nyaris beranjak dari sofa, tapi kutarik untuk duduk kembali. "Mini market samping pos satpam itu, Mas. Mau beli camilan sama minuman dingin." Tiap kali aku ke rumah ini, memang tak pernah disiapkan camilan atau minuman. Biasanya Mas Amran yang buatkan minum untukku. Hanya saja, kali ini dia sibuk dengan masalahnya dan aku nggak mau mengganggu. Se
"Astaghfirullah, Mas! Kamu beneran talak aku? Serius, kamu ceraikan aku, Mas?!" Lala membulatkan kedua matanya sembari menggeleng pelan. Dia sangat shock mendengar talak itu benar-benar keluar dari bibir Mas Amran. "Iya. Aku talak kamu, La. Semua sudah jelas dan mama pun tak menolak. Pernikahan ini digelar juga bukan karena cinta, melainkan karena aku hanya gjjqingin menuruti permintaan mama yang konon sakit jantung, tapi ternyata hanya sandiwara." Mas Amran bicara lagi dengan tenang. Mama hanya melirik sekilas lalu menghela napas. Tak ada pembelaan apapun yang dia lakukan. Hanya diam saja mendengarkan obrolan demi obrolan. Om Galih terlihat merah padam menahan amarah yang mungkin mulai memuncak, sementara Tante Risma hanya menangis saja, sama seperti mama. "Mama yakin membiarkan Mas Amran menceraikanku? Mama tahu sendiri kalau perempuan itu mandul kan? Memangnya mama nggak pengin punya cucu?" Lala terus mencecar mama yang masih menunduk sembari sesekali menyeka kedua pipinya yang
"Mas!" Terdengar suara benda pecah, entah apa. Aku tak peduli. Perlahan membuka pintu dengan perasaan berdebar tak karuan. Baru melongokkan kepala, dikagetkan dengan teguran Prilly yang membawa dua gelas susu, mungkin untuk Ruri dan Fika. "Mbak, ngapain ngintip-ngintip begitu? Eh, itu tespek kan?" tunjuk Prilly dengan dagunya. Aku buru-buru menyembunyikan tespek yang kubawa, bingung mau memulai cerita dari mana saking bahagianya. "Hasilnya apa, Mbak? Positif kan?" tanyanya penasaran. Aku hanya diam saja bahkan saat dia meletakkan kembali dua gelas susu itu ke meja makan lalu melangkah perlahan ke arahku."Lihat dong, Mbak." Lagi-lagi adik iparku itu minta izin melihat garis di layar tespekku. Tak ingin menutupi sesuatu yang seharusnya tak kusimpan sendiri, aku pun memberikan tespek itu padanya. Prilly tersenyum menatapku lalu mengusap tangan. Dilihatnya garis di tespek yang dia pegang saat ini. "MasyaAllah, Mbak. Ini garis dua jadi kamu positif hamil! Alhamdulillah, Mbak Zilva ben
Kedua orang tua Lala membawa anak perempuannya itu ke mobil. Ada raut kecewa di wajah Tante Risma, hanya saja dia mungkin memaklumi keputusan Mas Amran. Wanita tengah baya itu juga sempat minta maaf pada mama dan Mas Amran atas sikap Lala yang mungkin di luar batas. Dia tak menyangka jika anak perempuannya senekat itu, bahkan pergaulannya di luar rumah pun dia tak tahu. "Maafkan kami, Rat. Kami tak bisa mendidik Lala dengan baik. Amran tentu kecewa dan itu wajar, kami mengerti. Karena itu pula kami tak menuntut macam-macam," ujar Tante Risma di sela isaknya. "Nggak apa, Ris. Aku juga minta maaf kalau hubungan kita berakhir kurang harmonis begini, tapi kamu harus janji jangan dimasukin hati ya? Kita masih bersahabat seperti biasanya kan?" Tante Risma mengangguk pelan lalu keduanya berpelukan. Mereka tak peduli dengan Lala yang masih mengomel nggak jelas di dalam mobilnya bersama sang supir. Om Galih pun mengucapkan maaf yang sama. Terutama pada Mas Amran yang memang bertanggungjawa
"siapa yang akan menjamin? Yang menjamin Allah. Kalau orang yang Mbak Selly maksud itu takut sama Allah, tentu dia nggak akan pura-pura baik seperti itu. Topeng hanya dipakai oleh orang-orang munafik dan tak sadar kalau Allah Maha Melihat. Dia tak peduli dengan sifat-sifat Allah yang memang berbeda dengan makhluk, yang penting baginya tetap terlihat baik dan setia meski hanya pandangan mata manusia belaka. Aku yakin orang-orang seperti itu memang masih banyak, tapi orang-orang yang takut sama Allah juga tak kalah banyak." Mas Amran menimpali perdebatan kedua saudara perempuannya. Prilly tersenyum tipis mendengar jawaban Mas Amran yang secara tak langsung membelanya. Lebih tepatnya mematahkan ucapan Mbak Selly yang terlalu menyebalkan. "Mas Amran memang sekeren itu. Cocoklah sama Mbak Zilva yang tak perlu pakai topeng hanya untuk dianggap baik oleh mata manusia. Sejatinya dia memang baik, jadi buat apa berpura-pura baik. Orang baik nggak suka bersandiwara atau berpura-pura. Dalam kon
"Jangan senang dan bangga dulu, Ran! Memangnya kamu yakin kalau janin itu darah dagingmu? Bukankah dia sempat bertemu dengan laki-laki itu saat di Bandung dulu?!" Suara Mbak Selly kembali terdengar. Cukup halus, tapi kata-kata yang diucapkannya begitu tajam menghunus jantung. Mas Amran menghentikan langkah lalu membalikkan badan dengan cepatnya. Sorot matanya tajam, menjurus kakaknya yang masih duduk di samping mama. Mbak Selly yang ditatap seperti itu tetap bersikap seperti semula yang seolah tanpa dosa. "Apa mbak bilang? Coba ulangi lagi?" Mas Amran semakin mengeratkan genggamannya. "Jangan bangga dulu, belum tentu darah dagingmu. Belum tentu anak itu berasal dari spermamu! Ada banyak kemungkinan yang nggak kamu tahu, Amran. Tak perlu sepolos itu, apalagi dia sempat bertemu dengan rivalmu si Zain itu saat liburan kan?" Mbak Selly menatapku sinis. Aku kembali menggelengkan kepala melihat kebusukan hatinya. "Maksud Mbak Selly nuduh Zilva zina dengan Zain?" terang Mas Amran tanpa b
"Assalamualaikum, Jeng Ratna. Gimana kabarnya?" Ratna, mamanya Amran menerima panggilan telepon. "Wa'alaikumsalam, Jeng Mayang. Alhamdulillah kabar saya dan keluarga baik. Kabar Jeng May sama Wita bagaimana?" balas Ratna dengan senyum tipis. Ternyata yang menelepon saat ini adalah Mayang, mamanya Deswita. Wanita paruh baya itupun gegas mencuci tangan di wastafel. Suara Mayang terdengar cukup keras saat loud speaker di handphone Ratna diaktifkan. "Alhamdulillah kami juga baik, Jeng. Kebetulan Wita sama suaminya baru pulang dari Singapure. Mereka bawa oleh-oleh lumayan banyak, sudah dibagi-bagi ke tetangga. Tadi pagi kami ke rumah Jeng Ratna, sayangnya nggak ada di rumah. Memangnya Jeng Ratna sekeluarga ke mana?" tanya Mayang perlahan. "Oh iya, Jeng. Sejak kemarin kami memang pergi hajatan ke rumah saudara. InsyaAllah sore nanti pulang, sengaja menginap semalam di sini. Wita baru pulang honeymoon ya, Jeng?" balas Ratna lagi. "Benar, Jeng. Mereka baru pulang honeymoon di Singapure.
"Tamu yang kamu tunggu datang tuh, Mas," ucap Arumi saat melihat Lana dan Dikta datang dari pintu utama. Berliana adalah perempuan yang disukai Radit sejak dulu, namun cintanya bertepuk sebelah tangan. Dia justru menikah dengan Dikta, cinta pertamanya saat di sekolah putih abu-abu dulu. "Apa kamu bilang?" tanya Radit yang tak terlalu mendengar ucapan istrinya. Radit sempat melamun beberapa saat, jadi tak fokus dengan pembicaraan Arumi. "Tamu yang kamu tunggu sudah datang. Lihatlah, biar hatimu senang," ucap Arumi lagi dengan menahan sesak di dada. Radit cukup kaget saat melihat Lana datang bersama suaminya, lebih kaget lagi saat mendengar ucapan sang istri perihal masa lalunya. Dia memang sempat cerita soal Lana sekilas, tapi tak menyangka jika Arumi mengenali wajah perempuan itu. Tanpa Radit tahu jika Arumi sempat melihat Lana di album foto mertuanya bahkan ada foto perempuan itu di dompet suaminya. "Kamu tahu darimana kalau dia Lana?" tanya Radit gugup. Dia menatap Arumi beber
Suasana begitu meriah saat keluarga Amran sampai ke gedung tempat pernikahan Arumi dan Radit digelar. Sepasang pengantin sudah duduk di pelaminan. Arumi tampak cantik dan anggun dengan kebaya berwarna biru mudanya. Radit pun terlihat lebih tampan dan menawan dengan warna jas yang sama."Zilva!" Arumi melambaikan tangan pada Zilva yang baru memasuki gedung. Zilva tersenyum sembari memberikan kode agar sahabatnya itu bisa menjaga sikap karena banyak tamu yang datang. "Mas, aku ke sana sebentar ya?" ucap Zilva saat ingin menghampiri Arumi di pelaminan. "Iya, Sayang. Aku tunggu di sini sama mama. Mbak Selly juga mau ikut itu," balas Amran sembari menunjuk kakaknya yang melangkah paling belakang. "Iya, Mas. Mbak Selly juga mau ngucapin selamat." Zilva tersenyum tipis. "Kenapa nggak sekalian nanti aja pas mau pulang?""Kelamaan, Mas. Arumi sudah lihat tadi, lagipula cuma salaman aja, nanti ke sini lagi," bisik Zilva dibalas dengan anggukan suaminya. Zilva pun menggandeng Rafka lalu men
Robby, tangan kanan Amran itu tiba-tiba datang tanpa mengirimkan pesan terlebih dahulu. Sepertinya ada kabar penting yang dia bawa, makanya buru-buru datang meski dia juga tahu kalau Amran dan keluarganya ada acara saat ini. "Maaf mengganggu, Mas. Ada berita penting yang harus saya sampaikan secepatnya," ucap Robby sembari mengikuti langkah bosnya ke teras rumah. Amran duduk di salah satu kursi teras lalu disusul oleh Robby yang menduduki kursi lain. "Soal apa? Kecelakaan Prilly?" tebak Amran seketika. Namun, Robby menggeleng pelan membuat Amran mengernyit. "Kalau bukan itu, lantas soal apa?" tanyanya penasaran karena tebakan yang diyakininya benar justru salah besar. "Soal lelaki berjaket kulit yang selama ini meneror keluarga bos." Robby mengangguk pelan berusaha meyakinkan saat Amran menatapnya lekat. "Kenapa dia? Sudah tertangkap?" Kali ini Robby menggeleng. "Lantas? Lincah sekali dia, bisa-bisanya kamu dan anak buahmu tak mampu menangkapnya setelah sekian lama berusaha mel
Zilva merahasiakan permasalahan Arumi dengan calon suaminya dari Amran. Dia ingin menjaga perasaan sahabatnya, meskipun Amran sedikit tahu tentang kisah percintaan Arumi saat ini. Kisah cinta yang datang dari sebuah perjodohan, sementara Radit belum selesai dengan masa lalunya. "Cantik," puji Amran saat melihat istrinya keluar dari kamar dengan gamis abu-abunya. Rafka dan Amran pun memakai kemeja dengan warna yang sama. "Bukannya dari dulu memang cantik, Mas? Lupa?" Zilva sedikit mencibir saat digoda suaminya. "Nggak lupa dong. Lagipula kalau nggak cantik, mana mungkin jadi istri seorang Amran." "Oo ... jadi, kriteria menjadi istri Amran itu hanya cantik saja?" Zilva melirik malas. "Cantik wajahnya memang banyak, tapi yang cantik wajah dan hatinya itu nggak akan banyak." Amran menarik pelan dagu istrinya lalu mencium kening dan bibirnya."Kalian sudah siap?" Tiba-tiba mama Amran muncul dari ruang tamu. Sepertinya dia baru saja datang bersama Selly dan Ruri. "Astaghfirullah!" pek
"Om Galih ya, Mas?" tanya Zilva setelah Amran mengakhiri panggilan. Laki-laki itu pun mengangguk lalu meletakkan kembali benda pipih kecil berwarna hitam itu ke meja. "Om Galih bilang kalau Lala akan segera bebas sekitar enam bulan lagi." Zilva manggut-manggut. "Lala masih berharap kalau kamu bakal jenguk dia?" tebak Zilva yang tahu apa inti pembicaraan itu. Zilva paham bagaimana keinginan Lala, tapi dia juga mengerti bagaimana keputusan suaminya yang tak ingin berhubungan dengan mantan istrinya itu lagi. "Biar sajalah, Sayang. Makin ribet kalau nanti berurusan dengan dia lagi. Kita nggak tahu apakah tiga tahun penahanannya itu membuatnya benar-benar jera atau justru menimbulkan dendam semakin dalam." "Jenguk saja sekali, Mas. Nggak ada salahnya kan?" bujuk Zilva lagi. Namun, Amran justru hanya membalas dengan hembusan napas kasar lalu menyandarkan punggungnya ke sofa. "Kamu lupa bagaimana sepak terjangnya selama ini? Dia nyaris memisahkan kita dan membuat kita selalu ribut, Saya
"Assalamualaikum. Bagaimana kabarmu, Ran?" Suara dari seberang mengingatkan Amran dengan seseorang yang begitu dia kenal. Amran mengernyit. Dia tak tahu mengapa tiba-tiba laki-laki itu meneleponnya dengan nomor baru. "Wa'alaikumsalam, Pa. Alhamdulillah kabar baik. Papa sama mama gimana?" tanya Amran pada Galih, orang tua Lala yang tak lain mantan istri keduanya. "Alhamdulillah kami baik, Ran." Amran mengucap Hamdallah saat mendengar berita baik itu. "Sudah lama tak kasih kabar, papa hanya mau bilang kalau nomor yang lama hilang. Ini nomor baru papa." "Iya, Pa. Nanti Amran simpan nomornya. Maaf belum bisa jenguk papa dan mama. Akhir-akhir ini cukup banyak masalah dan Amran harus menyelesaikannya satu persatu." Amran menghela napas panjang. Sejak perceraiannya dengan Lala beberapa bulan silam, Amran memang hanya dua atau tiga kali menjenguk mertuanya. Itupun karena mama mertuanya sakit. Setelahnya, dia tak pernah ke sana lagi karena memang banyak masalah yang menimpa keluarganya.
"Fika, sini sama Tante." Zilva menyambut Fika dengan hangat. Gadis cantik itu dititipkan pada Zilva dan Amran selama Prilly masih di klinik. Romi yang bekerja sebagai karyawan swasta tak mungkin bisa menjaga Fika 24 jam. Dia harus bekerja dan menjenguk istrinya. Oleh karena itulah, pilihan terakhir dan terbaik memang menitipkan Fika pada Zilva karena dia yang selalu di rumah. "Tante, maaf kalau Fika ganggu Tante Zilva ya," ucap Fika dengan polosnya. "Nggak ganggu, Sayang. Tante justru senang Fika di sini. Adik Rafka ada yang nemenin main. Iya kan?" Zilva jongkok, mensejajari Fika yang berdiri di depannya. Dia pun tersenyum lalu mengusap puncak kepala Fika yang menatapnya dengan berbinar. "Iya, Tante. Fika mau ajak adik Rafka main," balas Fika sembari berlari kecil ke arah Rafka yang bermain bola di ruang tengah. Zilva dan Amran saling tatap lalu sama-sama tersenyum. Amran merangkul istrinya saat melangkah beriringan mendekati Rafka dan Fika. Mereka membicarakan tentang keadaan Pr
"Gimana keadaan Prilly, Ma?" tanya Amran saat mamanya menjemput di depan pintu utama klinik Amal Sehat. "Alhamdulillah Prilly membaik, Ran. Dia cuma agak trauma saja." Amran menatap mamanya lekat."Trauma gimana, Ma?" lirih Amran sembari melangkah ke kamar inap Prilly. "Dia bilang beberapa kali tak sengaja lihat ada yang mengikutinya. Sebelum ke pasar tadi dia juga sudah lihat laki-laki yang menabraknya itu, tapi Prilly mencoba berbaik sangka. Ternyata, firasatnya memang benar kalau laki-laki itu ingin mencelakainya." Ratna menjelaskan semuanya pada Amran. "Jadi, Prilly memang sengaja ditabrak?" tanya Amran lagi saat berhenti di depan kamar inap Prilly. Ratna pun mengangguk. "Dia kabur setelah melihat Prilly tergeletak di trotoar." "Kurang ajar," gumam Amran begitu geram. Jemari-jemarinya mengepal. Dia tak akan tinggal diam melihat adiknya diperlakukan semena-mena seperti itu. "Sudahlah, Ran. Yang penting sekarang kesembuhan Prilly dulu. Soal pelakunya kita urus belakangan." "N