"siapa yang akan menjamin? Yang menjamin Allah. Kalau orang yang Mbak Selly maksud itu takut sama Allah, tentu dia nggak akan pura-pura baik seperti itu. Topeng hanya dipakai oleh orang-orang munafik dan tak sadar kalau Allah Maha Melihat. Dia tak peduli dengan sifat-sifat Allah yang memang berbeda dengan makhluk, yang penting baginya tetap terlihat baik dan setia meski hanya pandangan mata manusia belaka. Aku yakin orang-orang seperti itu memang masih banyak, tapi orang-orang yang takut sama Allah juga tak kalah banyak." Mas Amran menimpali perdebatan kedua saudara perempuannya. Prilly tersenyum tipis mendengar jawaban Mas Amran yang secara tak langsung membelanya. Lebih tepatnya mematahkan ucapan Mbak Selly yang terlalu menyebalkan. "Mas Amran memang sekeren itu. Cocoklah sama Mbak Zilva yang tak perlu pakai topeng hanya untuk dianggap baik oleh mata manusia. Sejatinya dia memang baik, jadi buat apa berpura-pura baik. Orang baik nggak suka bersandiwara atau berpura-pura. Dalam kon
"Jangan senang dan bangga dulu, Ran! Memangnya kamu yakin kalau janin itu darah dagingmu? Bukankah dia sempat bertemu dengan laki-laki itu saat di Bandung dulu?!" Suara Mbak Selly kembali terdengar. Cukup halus, tapi kata-kata yang diucapkannya begitu tajam menghunus jantung. Mas Amran menghentikan langkah lalu membalikkan badan dengan cepatnya. Sorot matanya tajam, menjurus kakaknya yang masih duduk di samping mama. Mbak Selly yang ditatap seperti itu tetap bersikap seperti semula yang seolah tanpa dosa. "Apa mbak bilang? Coba ulangi lagi?" Mas Amran semakin mengeratkan genggamannya. "Jangan bangga dulu, belum tentu darah dagingmu. Belum tentu anak itu berasal dari spermamu! Ada banyak kemungkinan yang nggak kamu tahu, Amran. Tak perlu sepolos itu, apalagi dia sempat bertemu dengan rivalmu si Zain itu saat liburan kan?" Mbak Selly menatapku sinis. Aku kembali menggelengkan kepala melihat kebusukan hatinya. "Maksud Mbak Selly nuduh Zilva zina dengan Zain?" terang Mas Amran tanpa b
"Zilva!" Gadis itu memanggilku sembari melambaikan tangannya. Senyum lebarnya itu sering kali membuat rasa berbeda dalam dada. Aku bersyukur bisa mengenalnya dalam hidupku. Arumi, sahabat terbaik dan terhebat yang aku miliki. "Hei, jangan lari-lari kenapa sih? Kaya anak kecil aja," cerocosku setelah Arumi sampai di kursi sebelah. Napasnya masih naik turun tak beraturan karena setengah berlari saat menghampiriku tadi. Aku tunggu dia bicara setelah napasnya teratur kembali."Kangeeennn, Va! Seminggu kita nggak bertemu kan?" Dia kembali mengedipkan mata sembari meringis kecil."Hello ... aku bukan suami kamu ya, baru nggak ketemu seminggu aja udah kangen begitu. Makanya jangan jomblo terus, jadi ada tempat buat kangen-kangenan." Aku mencebik."Aku juga bukan istrimu. Kamu pikir aku jeruk makan jeruk? Maunya nggak jomblo, cuma kalau masih ditakdirkan jomblo gimana. Hufttt." Aku terkekeh melihat ekspresi kesalnya."Pokoknya aku kangen berat sama kamu, Va! Apalagi saat baca pesan kamu, mau
"Va, bukannya itu Mas Emil suaminya Mbak Selly? Kenapa semesra itu sama perempuan lain?" Aku dan dia masih sama-sama tercekat. Tak ada sepatah katapun yang terucap. Aku masih bengong menyaksikan pemandangan tak mengenakkan di depan mata lalu perlahan mengambil handphone dan menyimpannya sebagai bukti. Barang kali esok atau lusa memang dibutuhkan. "Va ..." Arumi kembali menyenggol sikuku. "Apa sih, Mi?" Aku pun membalasnya setengah berbisik. Masih kurekam adekan pasangan itu dari tempat dudukku. Mas Emil yang gagah itu tengah asyik bermesraan dengan seorang perempuan dengan hijab dan gayanya yang modis. Wajahnya cantik, senyumnya menawan dan tubuhnya langsing. Sepertinya Mas Emil memang sangat nyaman saat bersama perempuan itu. Entah siapa aku pun tak tahu. Kebersamaan dan keromantisan mereka, mengingatkanku pada Mas Amran. Dia yang memperlakukanku begitu sistimewa sebagai tanda cintanya. Mungkinkah tanda itu pula yang diperlihatkan Mas Emil pada perempuan itu? "Mereka selingkuh,
"Mas, gimana soal kecelakanku itu? Apa sudah ada titik terangnya? Aku penasaran sebenarnya siapa dalang semua itu." Aku kembali mengingatkan Mas Amran tentang kasus itu sembari menyiapkan makan siangnya, nasi dengan timlo dan telur asin. "Belum, Sayang. Mobil itu ternyata rental, bukan mobil pribadi. Penyewanya saat itu pakai KTP palsu sepertinya. Aku udah lacak ke alamatnya, ternyata nggak jelas. Nggak ada nama itu di sana." Mas Amran menatapku beberapa saat lalu mengusap lenganku pelan. "Tenang saja ya? Aku masih berusaha mencarinya," sambungnya dengan senyum tipis. Aku pun mengangguk pelan. "Nggak minta bantuan polisi saja, Mas?" "Belum perlu, Sayang. Pemilik rentalnya bilang, kalau penyewa mobil itu sempat tiga kali menyewa mobil di sana sebulan terakhir. Misal dia balik lagi, nanti langsung ngabari kita. Kalau minta bantuan polisi sekarang, takutnya kamu dimintai keterangan ini dan itu, Sayang. Aku nggak mau kamu banyak pikiran dan kecapekan karena masalah ini. Jadi, soal tr
"Itu Gibran kan, Mas?" tanyaku pada Mas Amran yang baru melepaskan seat belt. "Iya, Sayang. Itu Gibran. Apa mungkin yang nabrak kamu waktu itu Gibran atas perintah Lala?" Mas Amran menatapku lekat penuh dengan kecurigaan. Ingin kukatakan mungkin, bisa jadi atau bahkan iya, tapi aku hanya menjawab dengan mengedikkan bahu. Pikiranku benar-benar kalut. Apakah dugaan Mas Amran itu benar? Lala yang menyuruh Gibran untuk mencelakakanku saat itu? Entahlah. Gerbang rumah Lala terbuka sebagian. Laki-laki itu pun masuk ke dalam. Mas Amran buru-buru memarkirkan mobil di halaman masjid yang ada di seberang jalan. Perlahan dia mengajakku untuk ke rumah Lala. Meski aku menolak, tapi dia tetap memaksa. "Ini kesempatan langka, Sayang. Kita harus tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jika memang Lala biang keroknya, dia harus mendapatkan balasan setimpal karena sudah membuatmu celaka," ujarnya sembari menarik perlahan tanganku. "Kamu mau menjebloskan dia ke penjara, Mas?" Mas Amran kembali menghela n
"Aku nggak suka sama kamu, Gibran. Kuharap kamu sadar diri. Apa yang akan kamu berikan padaku setelah menikah nanti? Hah?! Gaji sebagai fotografer abal-abalmu itu? Buat perutmu sendiri saja nggak kenyang apalagi buat anak istri!" sahut Lala tanpa basa-basi lagi. "Aku bisa cari pekerjaan sampingan. Bukankah fotografer ini hanya sebagai hobi?" Gibran memberikan pembelaan lagi dan lagi."Pekerjaan apa? Selama ini kerjamu cuma nongkrong dan menghabiskan waktu dengan begadang. Aku nggak mau semakin sengsara jika hidup bersamamu!" Lala mendengkus dan kembali meremehkan."Itu caraku menghalau kesepian, Lala. Kalau kamu mau menjadi istriku, tentu rasa sepi itu tak akan lagi ada. Percayalah, aku cinta sama kamu, La. Apapun akan kulakukan asalkan kamu mau menikah denganku.""Bulshit!" Sepertinya Lala tetap tak percaya dan tak peduli dengan rayuan Gibran. Dia masih bersikukuh menolak cinta laki-laki itu."Percayalah, kamu akan bahagia bersamaku. Tak perlu terus mengharapkan laki-laki yang tak p
"Ran, kamu harus ke rumah mama sekarang juga!" Mama terdengar gugup dan sedikit membentak saat menelpon. Bahkan sampai lupa mengucapkan salam saat kuangkat panggilannya. "Maaf, Ma. Ini, Zilva. Mas Amran ada perlu sebentar ke rumah tetangga makanya handphonenya tertinggal. Kalau penting banget, Zilva bisa antar handphonenya ke sana, Mas, tapi kalau sekadar ngobrol biasa nanti biar Mas Amran telepon balik ya." Aku berusaha selembut mungkin agar mama tak lagi tersulut emosi. Namun, selembut dan seramah apapun, tetap saja tak terlalu penting baginya. Mama tetap pada pilihannya untuk membenciku sebagai menantu. "Ngapain kamu angkat? Lancang sekali kamu jadi istri!" sentak mama membuatku semakin tercekat. Bisa-bisanya menerima panggilan mertuanya dari handphone suami disebut sebagai istri yang lancang. Entah doktrin darimana yang mama dapatkan detik ini. Terlalu aneh dan mengada-ada. "Aku pikir ada yang penting makanya menerima telepon ini. Bukannya mama bakal marah-marah kalau panggila