"Va, bukannya itu Mas Emil suaminya Mbak Selly? Kenapa semesra itu sama perempuan lain?" Aku dan dia masih sama-sama tercekat. Tak ada sepatah katapun yang terucap. Aku masih bengong menyaksikan pemandangan tak mengenakkan di depan mata lalu perlahan mengambil handphone dan menyimpannya sebagai bukti. Barang kali esok atau lusa memang dibutuhkan. "Va ..." Arumi kembali menyenggol sikuku. "Apa sih, Mi?" Aku pun membalasnya setengah berbisik. Masih kurekam adekan pasangan itu dari tempat dudukku. Mas Emil yang gagah itu tengah asyik bermesraan dengan seorang perempuan dengan hijab dan gayanya yang modis. Wajahnya cantik, senyumnya menawan dan tubuhnya langsing. Sepertinya Mas Emil memang sangat nyaman saat bersama perempuan itu. Entah siapa aku pun tak tahu. Kebersamaan dan keromantisan mereka, mengingatkanku pada Mas Amran. Dia yang memperlakukanku begitu sistimewa sebagai tanda cintanya. Mungkinkah tanda itu pula yang diperlihatkan Mas Emil pada perempuan itu? "Mereka selingkuh,
"Mas, gimana soal kecelakanku itu? Apa sudah ada titik terangnya? Aku penasaran sebenarnya siapa dalang semua itu." Aku kembali mengingatkan Mas Amran tentang kasus itu sembari menyiapkan makan siangnya, nasi dengan timlo dan telur asin. "Belum, Sayang. Mobil itu ternyata rental, bukan mobil pribadi. Penyewanya saat itu pakai KTP palsu sepertinya. Aku udah lacak ke alamatnya, ternyata nggak jelas. Nggak ada nama itu di sana." Mas Amran menatapku beberapa saat lalu mengusap lenganku pelan. "Tenang saja ya? Aku masih berusaha mencarinya," sambungnya dengan senyum tipis. Aku pun mengangguk pelan. "Nggak minta bantuan polisi saja, Mas?" "Belum perlu, Sayang. Pemilik rentalnya bilang, kalau penyewa mobil itu sempat tiga kali menyewa mobil di sana sebulan terakhir. Misal dia balik lagi, nanti langsung ngabari kita. Kalau minta bantuan polisi sekarang, takutnya kamu dimintai keterangan ini dan itu, Sayang. Aku nggak mau kamu banyak pikiran dan kecapekan karena masalah ini. Jadi, soal tr
"Itu Gibran kan, Mas?" tanyaku pada Mas Amran yang baru melepaskan seat belt. "Iya, Sayang. Itu Gibran. Apa mungkin yang nabrak kamu waktu itu Gibran atas perintah Lala?" Mas Amran menatapku lekat penuh dengan kecurigaan. Ingin kukatakan mungkin, bisa jadi atau bahkan iya, tapi aku hanya menjawab dengan mengedikkan bahu. Pikiranku benar-benar kalut. Apakah dugaan Mas Amran itu benar? Lala yang menyuruh Gibran untuk mencelakakanku saat itu? Entahlah. Gerbang rumah Lala terbuka sebagian. Laki-laki itu pun masuk ke dalam. Mas Amran buru-buru memarkirkan mobil di halaman masjid yang ada di seberang jalan. Perlahan dia mengajakku untuk ke rumah Lala. Meski aku menolak, tapi dia tetap memaksa. "Ini kesempatan langka, Sayang. Kita harus tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jika memang Lala biang keroknya, dia harus mendapatkan balasan setimpal karena sudah membuatmu celaka," ujarnya sembari menarik perlahan tanganku. "Kamu mau menjebloskan dia ke penjara, Mas?" Mas Amran kembali menghela n
"Aku nggak suka sama kamu, Gibran. Kuharap kamu sadar diri. Apa yang akan kamu berikan padaku setelah menikah nanti? Hah?! Gaji sebagai fotografer abal-abalmu itu? Buat perutmu sendiri saja nggak kenyang apalagi buat anak istri!" sahut Lala tanpa basa-basi lagi. "Aku bisa cari pekerjaan sampingan. Bukankah fotografer ini hanya sebagai hobi?" Gibran memberikan pembelaan lagi dan lagi."Pekerjaan apa? Selama ini kerjamu cuma nongkrong dan menghabiskan waktu dengan begadang. Aku nggak mau semakin sengsara jika hidup bersamamu!" Lala mendengkus dan kembali meremehkan."Itu caraku menghalau kesepian, Lala. Kalau kamu mau menjadi istriku, tentu rasa sepi itu tak akan lagi ada. Percayalah, aku cinta sama kamu, La. Apapun akan kulakukan asalkan kamu mau menikah denganku.""Bulshit!" Sepertinya Lala tetap tak percaya dan tak peduli dengan rayuan Gibran. Dia masih bersikukuh menolak cinta laki-laki itu."Percayalah, kamu akan bahagia bersamaku. Tak perlu terus mengharapkan laki-laki yang tak p
"Ran, kamu harus ke rumah mama sekarang juga!" Mama terdengar gugup dan sedikit membentak saat menelpon. Bahkan sampai lupa mengucapkan salam saat kuangkat panggilannya. "Maaf, Ma. Ini, Zilva. Mas Amran ada perlu sebentar ke rumah tetangga makanya handphonenya tertinggal. Kalau penting banget, Zilva bisa antar handphonenya ke sana, Mas, tapi kalau sekadar ngobrol biasa nanti biar Mas Amran telepon balik ya." Aku berusaha selembut mungkin agar mama tak lagi tersulut emosi. Namun, selembut dan seramah apapun, tetap saja tak terlalu penting baginya. Mama tetap pada pilihannya untuk membenciku sebagai menantu. "Ngapain kamu angkat? Lancang sekali kamu jadi istri!" sentak mama membuatku semakin tercekat. Bisa-bisanya menerima panggilan mertuanya dari handphone suami disebut sebagai istri yang lancang. Entah doktrin darimana yang mama dapatkan detik ini. Terlalu aneh dan mengada-ada. "Aku pikir ada yang penting makanya menerima telepon ini. Bukannya mama bakal marah-marah kalau panggila
"Ngapain ajak istrimu ke sini, Ran? Mama mau bicara sama kamu saja," ucap Mama saat aku dan Mas Amran sampai ke teras rumahnya. Mas Amran menghentikan langkahnya seketika, aku pun begitu. Cukup kaget mendengar penolakan mama lagi dan lagi. "Zilva istriku, Ma. Jadi, sebisa mungkin aku akan ajak dia ke manapun, apalagi ke rumah ini. Mama kenapa sih belum bisa menerima Zilva sebagai menantu? Padahal dia sudah menjadi istri yang terbaik buat anak lelaki mama. Nggak ada kurangnya, yang ada justru banyak lebihnya." Mas Amran mulai meradang saat melihat mama terang-terangan menolakku singgah ke rumahnya. "Kamu ini nggak ngerti perasaan mama, Amran. Selalu saja begitu dari dulu. Kamu lebih mementingkan istrimu daripada mamamu sendiri." Mama menghela napas sebelum akhirnya membuang pandangan. "Maafkan aku, Ma. Aku memang nggak pernah ngerti apa yang sebenarnya mama pikirkan dan inginkan. Sebagai satu-satunya anak lelaki mama, aku memang nggak peka apa yang mama rasakan. Hanya saja, aku beru
"Lala memperlihatkan tespeknya ke mama dan mama percaya kalau itu anakku?" tanya Mas Amran lagi. "Terus anak siapa, Ran? Dia masih sah istrimu saat hamil kan? Lala bilang usia kehamilannya menginjak empat minggu dan jelas itu saat masih bersamamu," tekan mama lagi. Wanita yang berusia lebih dari setengah abad itu kembali menatap Mas Amran lekat. "Meski dia masih sah menjadi istriku, belum tentu dia anakku, Ma. Mama tahu sendiri bagaimana pergaulannya di luar sana seperti apa. Terlalu bebas, jadi wajar dong kalau aku curiga jika janin yang ada dalam kandungannya itu bukanlah darah dagingku? Apalagi dia juga sudah nggak virgin saat menikah denganku, Ma. Jadi-- "Jadi, kamu tak mengakui janin yang ada dalam kandungan Lala itu sebagai anakmu?" cecar mama lagi. Mas Amran kembali menghela napas lalu mengalihkan pandangannya pada mama. "Apa kurang banyak bukti pergaulan bebas Lala di luar rumah, Ma? Bukankah sudah aku jelaskan dan buktikan waktu itu apa saja yang dilakukan menantu mama di
"Gimana, Ma? Lala pasti nggak mau aku ajak ke dokter kandungan kan? Dia pasti berusaha mengelak dan memberikan alasan agar tak pergi ke sana," ucap Mas Amran dengan senyum tipisnya setelah melihat mama mengakhiri obrolannya dengan Lala. "Sudah kuduga." Mas Amran tersenyum sinis sembari menghela napas kasar. "Bukan begitu, Amran. Kondisi tiap ibu hamil berbeda dan sekarang Lala mabuk berat. Kamu harus memaklumi itu. Kebanyakan ibu yang hamil muda memang mabuk, pusing dan lelah seperti itu. Zilva pasti juga mengalami hal yang sama, meski mungkin dengan kadar yang berbeda. Kamu nggak bisa over thinking hanya karena Lala menolak kontrol sore ini sama kamu. Kontrol ke dokter kandungan nggak harus sekarang kan? Bisa kapan saja." Mama terus membela mantan menantunya itu. Entahlah. Aku tak tahu apa alasan mama masih tetap membelanya setelah bukti-bukti pengkhianatan dan pergaulan bebasnya di luar sana dibeberkan Mas Amran kala itu. "Memang benar kontrol bisa kapan saja, asalkan dia mau. K