"Itu Gibran kan, Mas?" tanyaku pada Mas Amran yang baru melepaskan seat belt. "Iya, Sayang. Itu Gibran. Apa mungkin yang nabrak kamu waktu itu Gibran atas perintah Lala?" Mas Amran menatapku lekat penuh dengan kecurigaan. Ingin kukatakan mungkin, bisa jadi atau bahkan iya, tapi aku hanya menjawab dengan mengedikkan bahu. Pikiranku benar-benar kalut. Apakah dugaan Mas Amran itu benar? Lala yang menyuruh Gibran untuk mencelakakanku saat itu? Entahlah. Gerbang rumah Lala terbuka sebagian. Laki-laki itu pun masuk ke dalam. Mas Amran buru-buru memarkirkan mobil di halaman masjid yang ada di seberang jalan. Perlahan dia mengajakku untuk ke rumah Lala. Meski aku menolak, tapi dia tetap memaksa. "Ini kesempatan langka, Sayang. Kita harus tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jika memang Lala biang keroknya, dia harus mendapatkan balasan setimpal karena sudah membuatmu celaka," ujarnya sembari menarik perlahan tanganku. "Kamu mau menjebloskan dia ke penjara, Mas?" Mas Amran kembali menghela n
"Aku nggak suka sama kamu, Gibran. Kuharap kamu sadar diri. Apa yang akan kamu berikan padaku setelah menikah nanti? Hah?! Gaji sebagai fotografer abal-abalmu itu? Buat perutmu sendiri saja nggak kenyang apalagi buat anak istri!" sahut Lala tanpa basa-basi lagi. "Aku bisa cari pekerjaan sampingan. Bukankah fotografer ini hanya sebagai hobi?" Gibran memberikan pembelaan lagi dan lagi."Pekerjaan apa? Selama ini kerjamu cuma nongkrong dan menghabiskan waktu dengan begadang. Aku nggak mau semakin sengsara jika hidup bersamamu!" Lala mendengkus dan kembali meremehkan."Itu caraku menghalau kesepian, Lala. Kalau kamu mau menjadi istriku, tentu rasa sepi itu tak akan lagi ada. Percayalah, aku cinta sama kamu, La. Apapun akan kulakukan asalkan kamu mau menikah denganku.""Bulshit!" Sepertinya Lala tetap tak percaya dan tak peduli dengan rayuan Gibran. Dia masih bersikukuh menolak cinta laki-laki itu."Percayalah, kamu akan bahagia bersamaku. Tak perlu terus mengharapkan laki-laki yang tak p
"Ran, kamu harus ke rumah mama sekarang juga!" Mama terdengar gugup dan sedikit membentak saat menelpon. Bahkan sampai lupa mengucapkan salam saat kuangkat panggilannya. "Maaf, Ma. Ini, Zilva. Mas Amran ada perlu sebentar ke rumah tetangga makanya handphonenya tertinggal. Kalau penting banget, Zilva bisa antar handphonenya ke sana, Mas, tapi kalau sekadar ngobrol biasa nanti biar Mas Amran telepon balik ya." Aku berusaha selembut mungkin agar mama tak lagi tersulut emosi. Namun, selembut dan seramah apapun, tetap saja tak terlalu penting baginya. Mama tetap pada pilihannya untuk membenciku sebagai menantu. "Ngapain kamu angkat? Lancang sekali kamu jadi istri!" sentak mama membuatku semakin tercekat. Bisa-bisanya menerima panggilan mertuanya dari handphone suami disebut sebagai istri yang lancang. Entah doktrin darimana yang mama dapatkan detik ini. Terlalu aneh dan mengada-ada. "Aku pikir ada yang penting makanya menerima telepon ini. Bukannya mama bakal marah-marah kalau panggila
"Ngapain ajak istrimu ke sini, Ran? Mama mau bicara sama kamu saja," ucap Mama saat aku dan Mas Amran sampai ke teras rumahnya. Mas Amran menghentikan langkahnya seketika, aku pun begitu. Cukup kaget mendengar penolakan mama lagi dan lagi. "Zilva istriku, Ma. Jadi, sebisa mungkin aku akan ajak dia ke manapun, apalagi ke rumah ini. Mama kenapa sih belum bisa menerima Zilva sebagai menantu? Padahal dia sudah menjadi istri yang terbaik buat anak lelaki mama. Nggak ada kurangnya, yang ada justru banyak lebihnya." Mas Amran mulai meradang saat melihat mama terang-terangan menolakku singgah ke rumahnya. "Kamu ini nggak ngerti perasaan mama, Amran. Selalu saja begitu dari dulu. Kamu lebih mementingkan istrimu daripada mamamu sendiri." Mama menghela napas sebelum akhirnya membuang pandangan. "Maafkan aku, Ma. Aku memang nggak pernah ngerti apa yang sebenarnya mama pikirkan dan inginkan. Sebagai satu-satunya anak lelaki mama, aku memang nggak peka apa yang mama rasakan. Hanya saja, aku beru
"Lala memperlihatkan tespeknya ke mama dan mama percaya kalau itu anakku?" tanya Mas Amran lagi. "Terus anak siapa, Ran? Dia masih sah istrimu saat hamil kan? Lala bilang usia kehamilannya menginjak empat minggu dan jelas itu saat masih bersamamu," tekan mama lagi. Wanita yang berusia lebih dari setengah abad itu kembali menatap Mas Amran lekat. "Meski dia masih sah menjadi istriku, belum tentu dia anakku, Ma. Mama tahu sendiri bagaimana pergaulannya di luar sana seperti apa. Terlalu bebas, jadi wajar dong kalau aku curiga jika janin yang ada dalam kandungannya itu bukanlah darah dagingku? Apalagi dia juga sudah nggak virgin saat menikah denganku, Ma. Jadi-- "Jadi, kamu tak mengakui janin yang ada dalam kandungan Lala itu sebagai anakmu?" cecar mama lagi. Mas Amran kembali menghela napas lalu mengalihkan pandangannya pada mama. "Apa kurang banyak bukti pergaulan bebas Lala di luar rumah, Ma? Bukankah sudah aku jelaskan dan buktikan waktu itu apa saja yang dilakukan menantu mama di
"Gimana, Ma? Lala pasti nggak mau aku ajak ke dokter kandungan kan? Dia pasti berusaha mengelak dan memberikan alasan agar tak pergi ke sana," ucap Mas Amran dengan senyum tipisnya setelah melihat mama mengakhiri obrolannya dengan Lala. "Sudah kuduga." Mas Amran tersenyum sinis sembari menghela napas kasar. "Bukan begitu, Amran. Kondisi tiap ibu hamil berbeda dan sekarang Lala mabuk berat. Kamu harus memaklumi itu. Kebanyakan ibu yang hamil muda memang mabuk, pusing dan lelah seperti itu. Zilva pasti juga mengalami hal yang sama, meski mungkin dengan kadar yang berbeda. Kamu nggak bisa over thinking hanya karena Lala menolak kontrol sore ini sama kamu. Kontrol ke dokter kandungan nggak harus sekarang kan? Bisa kapan saja." Mama terus membela mantan menantunya itu. Entahlah. Aku tak tahu apa alasan mama masih tetap membelanya setelah bukti-bukti pengkhianatan dan pergaulan bebasnya di luar sana dibeberkan Mas Amran kala itu. "Memang benar kontrol bisa kapan saja, asalkan dia mau. K
"Mau kemana, Mas?" tanyaku pada Mas Amran yang justru berbelok ke kanan, tak langsung menuju gerbang rumah Lala sepertiku dan mama. "Tunggu sebentar," ucapnya dengan senyum tipis.Aku pun terdiam sejenak, memperhatikan apa yang akan dilakukan suamiku yang kini berdiri di depan tong sampah itu. Mas Amran membuka kotak sampah di depannya lalu mengambil gumpalan kertas di sana. Aku memang penasaran apa sebenarnya isi kertas itu, hanya saja aku tak sepenasaran Mas Amran yang memungutnya dari tempat sampah. "Amran! Kamu ngapain malah ngorek-ngorek sampah begitu? Kurang kerjaan. Bau itu, mama mual." Mama mulai mengomel, tapi Mas Amran hanya mendongak lalu kembali tersenyum tipis. Robekan-robekan kertas lecek itu disatukannya hingga mulai membentuk lembaran. Perlahan Mas Amran mulai membaca kertas yang diletakkan di trotoar itu. Dahinya mulai mengernyit lalu menggelengkan kepalanya perlahan. Berulang kali kutanya apa isinya, tapi Mas Amran hanya terdiam. Ditatanya kembali robekan-robekan
Lala tercekat lalu menoleh dengan tatapan tajam."Apa maksud pertanyaanmu, Mas? Kamu nuduh aku berzina sama lelaki lain?" tanya Lala dengan nada meninggi. Mas Amran pun tersenyum sinis lalu membuang pandangan ke arah lain. "Kamu boleh tak mencintaiku, Mas. Aku nggak akan paksa kamu untuk mencintaiku juga, tapi aku nggak akan menerima jika kamu nuduh aku berzina." Semua mendadak diam. Hanya terdengar isak Lala yang semakin keras, sementara mama berusaha menenangkannya. Sekalipun mama curiga, tapi tetap saja tak mengurangi kasih sayangnya pada Lala. Mama tetap mengasihi menantu kesayangannya itu sekalipun kesalahannya cukup fatal menurutku. "Sudahlah, La. Terlalu banyak kebohongan yang kamu lakukan. Apa kamu nggak berniat mengakhiri semua sandiwaramu ini?" Mas Amran menoleh lagi, lalu menatap tajam mantan istrinya itu. Lala terkesiap. Ekspresinya berbeda saat Mas Amran menyebutnya pembohong ulung. Seolah tak terima, dia kembali membela diri dengan berbagai alibi. "Apa perlu aku beb