"Mama benar-benar kecewa sama kamu, La. Nggak nyangka, sampai hati kamu membohongi kami semua. Jika Amran tak menemukan surat ini, kebohongan apalagi yang kamu rencanakan? Ya Allah, apa mama dan papamu tahu kebohonganmu ini?" Mama menitikkan air mata, sementara Lala masih berusaha mengelak. "Keterangan itu bohong, Ma. Palsu. Sengaja diberikan Gibran untukku agar aku tak kembali berharap pada Mas Amran yang memang mendambakan seorang anak. Gibran sengaja memalsukannya agar aku mau kembali sama dia yang tak pernah protes dengan kemandulan pasangannya. Percayalah, Ma. Gibran pelakunya. Dia yang merencanakan ini semua." Lala terus bercerita, meski mama tak membalas apapun yang dikatakannya. Mama hanya dan terus menangis lalu mengembalikan kertas itu pada Mas Amran kembali. Tak ada obrolan apapun yang terdengar kecuali tangisan. Isak mama dan Lala seolah bersahutan. "Sudahlah, La. Tak perlu terus bersandiwara. Aku tak akan percaya apapun yang kamu katakan," ucap Mas Amran. Wajah lelahny
"Benarkah yang kamu katakan itu, Ran?" Om Galih yang baru keluar dari kamar mandi menghentikan langkahnya lalu menatap Mas Amran tajam. "Benar, Pa. Ini bukti rekamannya saat Lala dan Gibran menceritakan semuanya di ruangan ini. Lala pula yang membeli mobil rental itu dengan harga lebih untuk memuluskan rencananya. Dia meminta Gibran segera menjualnya, tapi sampai sekarang belum juga terjual. Jika melihat sederet kesalahan Lala itu, apakah jahat jika aku menjebloskannya ke penjara, Pa? Tantu tidak bukan? Coba bayangkan jika rencana Lala untuk mencelakai Zilva berhasil, boleh jadi dia sudah nggak ada di sini bersama kita." Mas Amran menunjukku dengan wajah sendu. Ada kecewa dan nelangsa dalam tatap matanya yang tajam itu. "Astaghfirullah, La! Benar yang dikatakan Amran?!" sentak Om Galih garang. Lala kembali ketakutan tiap kali melihat papanya murka. Perempuan itu tak sekalipun berani mendongak apalagi menatap kedua mata papanya yang garang. "Aku-- "Aku, aku, apa, hah?! Benar-benar
Mas Amran memintaku dan mama untuk pulang dengan taksi sebab dia harus mengantar Om Galih ke rumah sakit. Ancaman Lala buatku tak ada artinya sebab kapan saja aku bisa menjebloskannya ke penjara. Aku dan Mas Amran sudah memegang kartu merahnya, jika dia kembali berbuat macam-macam mungkin memang ingin berlama-lama di penjara. "Ke rumah mama dulu, Va. Nanti biar dijemput Amran ke sana." Entah mengapa mama mulai melunak saat aku dan dia sudah duduk di bangku penumpang taksi online yang kupesan. Apa karena mama sudah muak dengan ulah Lala hingga dia mau menerimaku sebagai menantu? Aku pun tak tahu. Namun, aku cukup bersyukur jika mama benar-benar mau menerima kehadiranku dalam keluarga besarnya. Ingin kunikmati masa kehamilan ini dengan bahagia, tanpa tekanan batin dari pihak manapun juga. "Baik, Ma." Aku hanya menjawab singkat. Tak ingin besar kepala karena disapa mama lebih dulu, aku tetap harus waspada. Takutnya mama berubah pikiran dan kembali membenciku seperti sebelumnya. Aku
Tiga hari sejak datang ke rumah Lala, Mas Amran meminta Bi Lasmi untuk tidur di rumah. Dia takut terjadi sesuatu padaku saat dia sibuk di kantor. Urusan renovasi cafe pun kupantau dari rumah saja sebab belum diizinkan berpergian sendirian tanpanya. "Setelah papanya Lala sembuh, aku akan meminta perempuan itu membuat perjanjian hitam di atas putih," ujar Mas Amran setelah menyelesaikan sarapannya. Aku mendongak, menatap lekat kedua netranya. "Perjanjian apa, Mas?" Laki-laki yang sudah bersamaku dua tahun belakangan itu menghela napas kasar lalu balik menatapku. "Tadi mamanya Lala meminta kita untuk memberi Lala satu kesempatan lagi. Mama Risma takut suaminya kenapa-kenapa jika Lala benar-benar di penjara. Meski papa Galih begitu kecewa dengan putrinya, tapi tetap saja dia akan kepikiran jika putrinya di penjara. Setelah berpikir lagi dan lagi akhirnya aku pun menyetujui permintaan Mama Risma. Keputusan ini bukan semata-mata karena Lala melainkan kesehatan papanya. Kamu tahu itu kan?
"Mama kenapa, Mas?" tanyaku sedikit gugup. "Masuk mobil, Sayang. Kita ke rumah mama sekarang. Mbak Selly teriak-teriak histeris katanya. Mama bingung harus gimana soalnya Mbak Selly nggak mau cerita apapun." Tak ingin membantah, aku pun buru-buru pamit pada Bi Lasmi yang masih jemur baju di belakang. Wanita paruh baya itu pun mengikutiku ke teras untuk menutup gerbang setelah mobil Mas Amran meninggalkan garasi. "Mbak Selly kenapa, Mas? Kok sampai histeris begitu?" Mas Amran hanya mengedikkan bahu sembari mengetuk-ngetuk gagang stir dengan telunjuknya. Teringat kembali pertemuan tak sengajaku dengan Mas Emil beberapa hari lalu. Termasuk pesan dan foto yang dikirimkan Arumi kemarin. Foto Mas Emil dengan istri barunya yang cantik dan anggun. Mereka tampak begitu bahagia seolah dunia milik berdua sampai tak melihatku dan Arumi yang sempat makan di tempat yang sama dengan mereka. "Kenapa diam?" Mas Amran balik bertanya. Aku sedikit gugup saat mendengar pertanyaannya barusan. "Nggak
"Kamu paham maksudku kan, Sayang?" Mas Amran kembali menghela napas panjang. "Iya, Mas. Aku tahu dan paham sekali posisimu saat ini. Kamu memang punya hak untuk membela kakakmu sendiri, tapi ada yang harus kamu ingat. Jadilah penengah di antara mereka. Jika Mbak Selly yang salah, kamu tak boleh membenarkannya hanya karena dia kakak kandungmu. Namun, kalau memang mereka bisa menyelesaikan masalah rumah tangga mereka sendiri, baiknya kita nggak terlalu ikut campur, Mas. Semua sudah dewasa dan bisa memilih mana yang baik dan mana yang buruk." Mas Amran mengiyakan lalu melajukan mobilnya kembali. Tak lama kemudian, kami sampai di depan rumah mama yang sudah cukup banyak orang. Para tetangga banyak yang datang dengan beragam dugaan. Aku dan Mas Amran menyapa dengan seulas senyum sebelum masuk ke rumah. Di ruang keluarga, sudah ada mama dan Prilly yang mencoba menenangkan Mbak Selly. Ruri, anak semata wayangnya itu digendong oleh Bu RT, sementara Fika anak Prilly duduk di pangkuannya se
"Prilly!" Mbak Selly tiba-tiba membentak adik perempuannya. Dia pasti tak terima disudutkan Prilly sekalipun ucapannya itu benar. "Maaf, Mbak. Tak bermaksud menyudutkanmu. Aku kadang hanya pusing aja lihat sikap Mbak Selly dan mama yang begitu membenci Mbak Zilva. Padahal aku lihat dia sudah berusaha sempurna menjadi anggota baru di keluarga kita. Memangnya dia pernah menyakiti hati mama atau Mbak Selly? Nggak kan? Dia berusaha menjadi yang terbaik, tapi tetap saja selalu salah di mata kalian. Nyatanya apa? Sekarang terbukti kalau Lala tak akan pernah bisa disandingkan dengan Mbak Zilva. Bedanya terlalu jauh." Prilly beranjak dari sofa lalu melangkah ke kamar mama. Dia tak seolah peduli saat Mbak Selly memanggil namanya berulang kali untuk duduk kembali. "Semua gara-gara kamu, Zilva! Sejak dulu Prilly tak pernah seberani itu sama kakaknya sendiri. Pasti kamu yang mengajari dia untuk memberontak dan membelamu kan? Kamu sengaja meracuni pikirannya!" sentak Mbak Selly tiba-tiba.Aku cu
Kakak iparku itu sebelumnya memang wanita karir. Dia memiliki penghasilan cukup besar saat awal-awal pernikahanku dengan Mas Amran. Mungkin karena itu pula dia sangat menolak jika adiknya menikah denganku yang dia pikir pengangguran. Padahal dulu aku pun pekerja meski belum sementereng dia. Kini kutahu alasannya berhenti bekerja karena ancaman poligami dari Mas Emil. Mas Emil selalu beralasan ingin diperhatikan dan dilayani saat pulang kerja. Hal yang mungkin sangat sulit dilakukan Mbak Selly saat dia sibuk bekerja. Setelah Mbak Selly benar-benar resign dan menjadi ibu rumah tangga biasa, nyatanya laki-laki itu tetap pada pilihannya untuk berpoligami. Dia seolah tak peduli dengan pengorbanan dan bukti cinta dari Mbak Selly selama ini. Benar-benar keterlaluan."Soal bukti hubungan Mas Emil dengan istri mudanya tak perlu dipikir pusing, Mbak." Mas Amran kembali menghela napas lalu mengalihkan pandangannya pada Ruri, keponakannya yang kini di pangkuan mama. "Maksudmu apa, Ran? Kamu pun
"Assalamualaikum, Jeng Ratna. Gimana kabarnya?" Ratna, mamanya Amran menerima panggilan telepon. "Wa'alaikumsalam, Jeng Mayang. Alhamdulillah kabar saya dan keluarga baik. Kabar Jeng May sama Wita bagaimana?" balas Ratna dengan senyum tipis. Ternyata yang menelepon saat ini adalah Mayang, mamanya Deswita. Wanita paruh baya itupun gegas mencuci tangan di wastafel. Suara Mayang terdengar cukup keras saat loud speaker di handphone Ratna diaktifkan. "Alhamdulillah kami juga baik, Jeng. Kebetulan Wita sama suaminya baru pulang dari Singapure. Mereka bawa oleh-oleh lumayan banyak, sudah dibagi-bagi ke tetangga. Tadi pagi kami ke rumah Jeng Ratna, sayangnya nggak ada di rumah. Memangnya Jeng Ratna sekeluarga ke mana?" tanya Mayang perlahan. "Oh iya, Jeng. Sejak kemarin kami memang pergi hajatan ke rumah saudara. InsyaAllah sore nanti pulang, sengaja menginap semalam di sini. Wita baru pulang honeymoon ya, Jeng?" balas Ratna lagi. "Benar, Jeng. Mereka baru pulang honeymoon di Singapure.
"Tamu yang kamu tunggu datang tuh, Mas," ucap Arumi saat melihat Lana dan Dikta datang dari pintu utama. Berliana adalah perempuan yang disukai Radit sejak dulu, namun cintanya bertepuk sebelah tangan. Dia justru menikah dengan Dikta, cinta pertamanya saat di sekolah putih abu-abu dulu. "Apa kamu bilang?" tanya Radit yang tak terlalu mendengar ucapan istrinya. Radit sempat melamun beberapa saat, jadi tak fokus dengan pembicaraan Arumi. "Tamu yang kamu tunggu sudah datang. Lihatlah, biar hatimu senang," ucap Arumi lagi dengan menahan sesak di dada. Radit cukup kaget saat melihat Lana datang bersama suaminya, lebih kaget lagi saat mendengar ucapan sang istri perihal masa lalunya. Dia memang sempat cerita soal Lana sekilas, tapi tak menyangka jika Arumi mengenali wajah perempuan itu. Tanpa Radit tahu jika Arumi sempat melihat Lana di album foto mertuanya bahkan ada foto perempuan itu di dompet suaminya. "Kamu tahu darimana kalau dia Lana?" tanya Radit gugup. Dia menatap Arumi beber
Suasana begitu meriah saat keluarga Amran sampai ke gedung tempat pernikahan Arumi dan Radit digelar. Sepasang pengantin sudah duduk di pelaminan. Arumi tampak cantik dan anggun dengan kebaya berwarna biru mudanya. Radit pun terlihat lebih tampan dan menawan dengan warna jas yang sama."Zilva!" Arumi melambaikan tangan pada Zilva yang baru memasuki gedung. Zilva tersenyum sembari memberikan kode agar sahabatnya itu bisa menjaga sikap karena banyak tamu yang datang. "Mas, aku ke sana sebentar ya?" ucap Zilva saat ingin menghampiri Arumi di pelaminan. "Iya, Sayang. Aku tunggu di sini sama mama. Mbak Selly juga mau ikut itu," balas Amran sembari menunjuk kakaknya yang melangkah paling belakang. "Iya, Mas. Mbak Selly juga mau ngucapin selamat." Zilva tersenyum tipis. "Kenapa nggak sekalian nanti aja pas mau pulang?""Kelamaan, Mas. Arumi sudah lihat tadi, lagipula cuma salaman aja, nanti ke sini lagi," bisik Zilva dibalas dengan anggukan suaminya. Zilva pun menggandeng Rafka lalu men
Robby, tangan kanan Amran itu tiba-tiba datang tanpa mengirimkan pesan terlebih dahulu. Sepertinya ada kabar penting yang dia bawa, makanya buru-buru datang meski dia juga tahu kalau Amran dan keluarganya ada acara saat ini. "Maaf mengganggu, Mas. Ada berita penting yang harus saya sampaikan secepatnya," ucap Robby sembari mengikuti langkah bosnya ke teras rumah. Amran duduk di salah satu kursi teras lalu disusul oleh Robby yang menduduki kursi lain. "Soal apa? Kecelakaan Prilly?" tebak Amran seketika. Namun, Robby menggeleng pelan membuat Amran mengernyit. "Kalau bukan itu, lantas soal apa?" tanyanya penasaran karena tebakan yang diyakininya benar justru salah besar. "Soal lelaki berjaket kulit yang selama ini meneror keluarga bos." Robby mengangguk pelan berusaha meyakinkan saat Amran menatapnya lekat. "Kenapa dia? Sudah tertangkap?" Kali ini Robby menggeleng. "Lantas? Lincah sekali dia, bisa-bisanya kamu dan anak buahmu tak mampu menangkapnya setelah sekian lama berusaha mel
Zilva merahasiakan permasalahan Arumi dengan calon suaminya dari Amran. Dia ingin menjaga perasaan sahabatnya, meskipun Amran sedikit tahu tentang kisah percintaan Arumi saat ini. Kisah cinta yang datang dari sebuah perjodohan, sementara Radit belum selesai dengan masa lalunya. "Cantik," puji Amran saat melihat istrinya keluar dari kamar dengan gamis abu-abunya. Rafka dan Amran pun memakai kemeja dengan warna yang sama. "Bukannya dari dulu memang cantik, Mas? Lupa?" Zilva sedikit mencibir saat digoda suaminya. "Nggak lupa dong. Lagipula kalau nggak cantik, mana mungkin jadi istri seorang Amran." "Oo ... jadi, kriteria menjadi istri Amran itu hanya cantik saja?" Zilva melirik malas. "Cantik wajahnya memang banyak, tapi yang cantik wajah dan hatinya itu nggak akan banyak." Amran menarik pelan dagu istrinya lalu mencium kening dan bibirnya."Kalian sudah siap?" Tiba-tiba mama Amran muncul dari ruang tamu. Sepertinya dia baru saja datang bersama Selly dan Ruri. "Astaghfirullah!" pek
"Om Galih ya, Mas?" tanya Zilva setelah Amran mengakhiri panggilan. Laki-laki itu pun mengangguk lalu meletakkan kembali benda pipih kecil berwarna hitam itu ke meja. "Om Galih bilang kalau Lala akan segera bebas sekitar enam bulan lagi." Zilva manggut-manggut. "Lala masih berharap kalau kamu bakal jenguk dia?" tebak Zilva yang tahu apa inti pembicaraan itu. Zilva paham bagaimana keinginan Lala, tapi dia juga mengerti bagaimana keputusan suaminya yang tak ingin berhubungan dengan mantan istrinya itu lagi. "Biar sajalah, Sayang. Makin ribet kalau nanti berurusan dengan dia lagi. Kita nggak tahu apakah tiga tahun penahanannya itu membuatnya benar-benar jera atau justru menimbulkan dendam semakin dalam." "Jenguk saja sekali, Mas. Nggak ada salahnya kan?" bujuk Zilva lagi. Namun, Amran justru hanya membalas dengan hembusan napas kasar lalu menyandarkan punggungnya ke sofa. "Kamu lupa bagaimana sepak terjangnya selama ini? Dia nyaris memisahkan kita dan membuat kita selalu ribut, Saya
"Assalamualaikum. Bagaimana kabarmu, Ran?" Suara dari seberang mengingatkan Amran dengan seseorang yang begitu dia kenal. Amran mengernyit. Dia tak tahu mengapa tiba-tiba laki-laki itu meneleponnya dengan nomor baru. "Wa'alaikumsalam, Pa. Alhamdulillah kabar baik. Papa sama mama gimana?" tanya Amran pada Galih, orang tua Lala yang tak lain mantan istri keduanya. "Alhamdulillah kami baik, Ran." Amran mengucap Hamdallah saat mendengar berita baik itu. "Sudah lama tak kasih kabar, papa hanya mau bilang kalau nomor yang lama hilang. Ini nomor baru papa." "Iya, Pa. Nanti Amran simpan nomornya. Maaf belum bisa jenguk papa dan mama. Akhir-akhir ini cukup banyak masalah dan Amran harus menyelesaikannya satu persatu." Amran menghela napas panjang. Sejak perceraiannya dengan Lala beberapa bulan silam, Amran memang hanya dua atau tiga kali menjenguk mertuanya. Itupun karena mama mertuanya sakit. Setelahnya, dia tak pernah ke sana lagi karena memang banyak masalah yang menimpa keluarganya.
"Fika, sini sama Tante." Zilva menyambut Fika dengan hangat. Gadis cantik itu dititipkan pada Zilva dan Amran selama Prilly masih di klinik. Romi yang bekerja sebagai karyawan swasta tak mungkin bisa menjaga Fika 24 jam. Dia harus bekerja dan menjenguk istrinya. Oleh karena itulah, pilihan terakhir dan terbaik memang menitipkan Fika pada Zilva karena dia yang selalu di rumah. "Tante, maaf kalau Fika ganggu Tante Zilva ya," ucap Fika dengan polosnya. "Nggak ganggu, Sayang. Tante justru senang Fika di sini. Adik Rafka ada yang nemenin main. Iya kan?" Zilva jongkok, mensejajari Fika yang berdiri di depannya. Dia pun tersenyum lalu mengusap puncak kepala Fika yang menatapnya dengan berbinar. "Iya, Tante. Fika mau ajak adik Rafka main," balas Fika sembari berlari kecil ke arah Rafka yang bermain bola di ruang tengah. Zilva dan Amran saling tatap lalu sama-sama tersenyum. Amran merangkul istrinya saat melangkah beriringan mendekati Rafka dan Fika. Mereka membicarakan tentang keadaan Pr
"Gimana keadaan Prilly, Ma?" tanya Amran saat mamanya menjemput di depan pintu utama klinik Amal Sehat. "Alhamdulillah Prilly membaik, Ran. Dia cuma agak trauma saja." Amran menatap mamanya lekat."Trauma gimana, Ma?" lirih Amran sembari melangkah ke kamar inap Prilly. "Dia bilang beberapa kali tak sengaja lihat ada yang mengikutinya. Sebelum ke pasar tadi dia juga sudah lihat laki-laki yang menabraknya itu, tapi Prilly mencoba berbaik sangka. Ternyata, firasatnya memang benar kalau laki-laki itu ingin mencelakainya." Ratna menjelaskan semuanya pada Amran. "Jadi, Prilly memang sengaja ditabrak?" tanya Amran lagi saat berhenti di depan kamar inap Prilly. Ratna pun mengangguk. "Dia kabur setelah melihat Prilly tergeletak di trotoar." "Kurang ajar," gumam Amran begitu geram. Jemari-jemarinya mengepal. Dia tak akan tinggal diam melihat adiknya diperlakukan semena-mena seperti itu. "Sudahlah, Ran. Yang penting sekarang kesembuhan Prilly dulu. Soal pelakunya kita urus belakangan." "N