"Prilly!" Mbak Selly tiba-tiba membentak adik perempuannya. Dia pasti tak terima disudutkan Prilly sekalipun ucapannya itu benar. "Maaf, Mbak. Tak bermaksud menyudutkanmu. Aku kadang hanya pusing aja lihat sikap Mbak Selly dan mama yang begitu membenci Mbak Zilva. Padahal aku lihat dia sudah berusaha sempurna menjadi anggota baru di keluarga kita. Memangnya dia pernah menyakiti hati mama atau Mbak Selly? Nggak kan? Dia berusaha menjadi yang terbaik, tapi tetap saja selalu salah di mata kalian. Nyatanya apa? Sekarang terbukti kalau Lala tak akan pernah bisa disandingkan dengan Mbak Zilva. Bedanya terlalu jauh." Prilly beranjak dari sofa lalu melangkah ke kamar mama. Dia tak seolah peduli saat Mbak Selly memanggil namanya berulang kali untuk duduk kembali. "Semua gara-gara kamu, Zilva! Sejak dulu Prilly tak pernah seberani itu sama kakaknya sendiri. Pasti kamu yang mengajari dia untuk memberontak dan membelamu kan? Kamu sengaja meracuni pikirannya!" sentak Mbak Selly tiba-tiba.Aku cu
Kakak iparku itu sebelumnya memang wanita karir. Dia memiliki penghasilan cukup besar saat awal-awal pernikahanku dengan Mas Amran. Mungkin karena itu pula dia sangat menolak jika adiknya menikah denganku yang dia pikir pengangguran. Padahal dulu aku pun pekerja meski belum sementereng dia. Kini kutahu alasannya berhenti bekerja karena ancaman poligami dari Mas Emil. Mas Emil selalu beralasan ingin diperhatikan dan dilayani saat pulang kerja. Hal yang mungkin sangat sulit dilakukan Mbak Selly saat dia sibuk bekerja. Setelah Mbak Selly benar-benar resign dan menjadi ibu rumah tangga biasa, nyatanya laki-laki itu tetap pada pilihannya untuk berpoligami. Dia seolah tak peduli dengan pengorbanan dan bukti cinta dari Mbak Selly selama ini. Benar-benar keterlaluan."Soal bukti hubungan Mas Emil dengan istri mudanya tak perlu dipikir pusing, Mbak." Mas Amran kembali menghela napas lalu mengalihkan pandangannya pada Ruri, keponakannya yang kini di pangkuan mama. "Maksudmu apa, Ran? Kamu pun
Mbak Selly pingsan saat melihat adik madunya. Perempuan cantik dengan gamis dan kerudung panjangnya. Dia benar-benar tak menyangka jika perempuan itulah yang menjadi istri kedua suaminya. "Syukurlah kalau Mbak sudah siuman." Mas Amran yang tadi menggendong Mbak Selly ke kamar cukup lega saat melihat kakaknya sudah sadar. Kakak iparku itu memijit keningnya beberapa kali. Dia masih berusaha membuka matanya perlahan, melihat sekeliling kamar yang hanya ada keluarga besarnya saja. Tetangga sudah pulang sebelum adzan dzuhur berkumandang. Mereka hanya mendoakan yang terbaik untuk Mbak Selly dan keluarga kecilnya. Berita poligami itu pasti sudah tersebar ke seantero kampung. Selama ini Mbak Selly selalu menampilkan image sebagai ratu keluarga yang begitu dicintai dan dimanja suami. Setelah mendengar kabar ini, mungkin image perempuan paling bahagia itu akan luntur perlahan. Apalagi saat mereka melihat penampilan Mbak Selly dengan pakaian seksinya yang cukup kontras dengan penampilan ist
Mama masih saja terdiam. Kusikut lengan Mas Amran yang terbungkus kemeja salurnya. Dia pun mendadak pias saat dia sadar jika mama tak baik-baik saja setelah mendengar kejujurannya. "Maaf, Sayang. Keceplosan." Kudengar lirih suara Mas Amran saat kuangsurkan segelas air putih di samping piringnya. "Iya, mama tahu, Ran. Sekarang mama juga mulai sadar kalau tindakan mama saat itu salah besar. Mama terlalu ambisius untuk menjadikan Lala sebagai menantu. Seolah tak peduli apapun yang terjadi, mama tetap berambisi untuk memiliki menantu sepertinya. Ternyata semua yang kamu khawatirkan sebelumnya benar adanya. Lala yang sekarang tak sepolos dan sebaik yang kita kira." Mama menatapku dan Mas Amran bergantian. Ada sendu di wajahnya yang menua. Ada penyesalan yang terlukis di kedua matanya yang berkaca. "Mama janji setelah ini nggak akan mengusik rumah tangga kalian lagi. Semakin hari mama semakin sadar jika keterlibatan mama selama ini memang salah. Mama terlalu mencampuri urusan kalian berd
"Nenek, cepet ke sini. Mama berdarah!" Teriakan Ruri membuat semua yang tengah makan siang berhamburan ke kamar. Kamu saling pandang satu sama lain, tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi sebab tadi Mbak Selly masih istirahat saat kami tinggal makan makan siang. Sesampainya di kamar, benar ucapan Ruri jika mamanya memang berdarah. Mbak Selly menggores pergelangan tangannya dengan pisau. Darah menetes dan berceceran di lantai sementara dia terbaring lemah di atas ranjang dengan wajah kesakitan. "Ya Allah, Selly! Apa yang kamu lakukan! Kenapa kamu bisa seperti ini, Shelly!" Mama berteriak cukup kencang dan histeris saat melihat keadaan Mbak Selly yang nyaris pingsan. Tanpa kata, Mas Amran segera membopong kakaknya lalu memintaku untuk membuka pintu mobil. Mama pun buru-buru mengambil beberapa baju ganti untuk Mbak Selly lalu memasukkannya ke bagasi. "Pril, jaga keponakanmu. Kalian di rumah saja. Biar mama sama Zilva yang ikut ke rumah sakit," perintah mama dengan tergesa yang diiy
Jujur saja, selama dua tahun menjadi bagian keluarga itu, tak sekalipun aku tahu bagaimana masa lalu kedua saudara Mas Amran. Mereka tak pernah terbuka padaku, jangankan berbagi kisah, sekadar menatapku saja rasanya enggan. Aku tak menyangka jika saat ini mama menceritakan semuanya padaku."Mama sudah menasehatinya sejak awal agar melupakan Emil. Sepertinya dia belum bisa sepenuhnya melupakan mantannya itu, tapi lagi-lagi Selly merajuk. Cinta butanya membuat mama tak bisa berkutik. Mama takut dia melakukan hal-hal yang membahayakan jika menolak permintaannya untuk bersama lelaki itu. Ternyata dugaan mama benar, kini ketakutan mama saat itu benar-benar terjadi. Selly bahkan nyaris menghilangkan nyawanya sendiri hanya karena laki-laki itu." Mama kembali menyeka kedua pipinya yang banjir air mata. Kembali kuusap punggung dan lengannya. Berharap mama akan lebih tenang dan nyaman saat bersamaku. Mungkin saat ini kesempatanku untuk kembali mencuri hati mama yang sebelumnya sekeras batu."S
"Sepertinya ibu harus tahu, jika yang diucapkan anak ibu itu tak semuanya benar. Bahkan jika mau, saya bisa menuntut dan menjebloskannya ke penjara." Perempuan itu kembali tersenyum tipis lalu menggamit lengan Mas Emil. Mereka terlihat begitu romantis. "Apa maksudmu ngomong begitu, heh?! Jangan sok paling benar dan mengajari kami macam-macam!" sentak mama dengan mata menyalang garang. "Ibu jangan marah-marah dulu. Biar Mas Emil saja yang menjelaskan semuanya." Perempuan bernama Ayunda itu pun meminta Mas Emil untuk menggantikannya. Keduanya saling pandang lalu tersenyum tipis seakan menguatkan satu sama lain. "Cepat jelaskan apa yang dimaksud selingkuhanmu itu, Mil. Mama nggak banyak waktu meladeni sandiwara kalian berdua," ucap Mama dengan ketus. Emosi Mas Amran mulai mereda. Mungkin dia juga merasa ada yang tak beres dengan cerita kakak kandungnya. Jika terus ngotot dan ternyata memang Mbak Selly yang keliru, tentu dia akan malu begitu getol membelanya. Seperti yang kutahu, Mbak
Mama masih begitu percaya jika anak perempuannya tak mungkin seburuk yang diceritakan menantunya. Aku paham bagaimana perasaan mama saat ini. Mana mungkin percaya dengan ucapan menantunya yang jelas-jelas sudah mendua, tapi selama ini Mbak Selly memang terlalu pandai menyimpan sesuatu. Tak hanya itu saja, dia juga pintar bersandiwara. "Aku hanya memberi tahu mama apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang selama ini selalu Shelly tutupi. Terserah mama percaya atau tidak, aku pun tak memaksa. Untuk berbohong demi mendapatkan simpati dari mama, kurasa nggak perlu sih, Ma. Shelly memang sering ke rumah mama bersama Ruri, tapi dia juga sering keluar dengan teman-temannya. Datang ke rumah mama kuyakin hanya alibinya saja supaya ada yang membela jika nanti ketahuan belangnya. Seperti saat ini, mama tetap percaya jika Selly tak seburuk yang kuceritakan bukan?" Mama hanya menggeleng pelan. Tak percaya dan tak mau membenarkan cerita Mas Emil. Jangankan mama, aku pun cukup kaget dengan semua ce
"Assalamualaikum, Jeng Ratna. Gimana kabarnya?" Ratna, mamanya Amran menerima panggilan telepon. "Wa'alaikumsalam, Jeng Mayang. Alhamdulillah kabar saya dan keluarga baik. Kabar Jeng May sama Wita bagaimana?" balas Ratna dengan senyum tipis. Ternyata yang menelepon saat ini adalah Mayang, mamanya Deswita. Wanita paruh baya itupun gegas mencuci tangan di wastafel. Suara Mayang terdengar cukup keras saat loud speaker di handphone Ratna diaktifkan. "Alhamdulillah kami juga baik, Jeng. Kebetulan Wita sama suaminya baru pulang dari Singapure. Mereka bawa oleh-oleh lumayan banyak, sudah dibagi-bagi ke tetangga. Tadi pagi kami ke rumah Jeng Ratna, sayangnya nggak ada di rumah. Memangnya Jeng Ratna sekeluarga ke mana?" tanya Mayang perlahan. "Oh iya, Jeng. Sejak kemarin kami memang pergi hajatan ke rumah saudara. InsyaAllah sore nanti pulang, sengaja menginap semalam di sini. Wita baru pulang honeymoon ya, Jeng?" balas Ratna lagi. "Benar, Jeng. Mereka baru pulang honeymoon di Singapure.
"Tamu yang kamu tunggu datang tuh, Mas," ucap Arumi saat melihat Lana dan Dikta datang dari pintu utama. Berliana adalah perempuan yang disukai Radit sejak dulu, namun cintanya bertepuk sebelah tangan. Dia justru menikah dengan Dikta, cinta pertamanya saat di sekolah putih abu-abu dulu. "Apa kamu bilang?" tanya Radit yang tak terlalu mendengar ucapan istrinya. Radit sempat melamun beberapa saat, jadi tak fokus dengan pembicaraan Arumi. "Tamu yang kamu tunggu sudah datang. Lihatlah, biar hatimu senang," ucap Arumi lagi dengan menahan sesak di dada. Radit cukup kaget saat melihat Lana datang bersama suaminya, lebih kaget lagi saat mendengar ucapan sang istri perihal masa lalunya. Dia memang sempat cerita soal Lana sekilas, tapi tak menyangka jika Arumi mengenali wajah perempuan itu. Tanpa Radit tahu jika Arumi sempat melihat Lana di album foto mertuanya bahkan ada foto perempuan itu di dompet suaminya. "Kamu tahu darimana kalau dia Lana?" tanya Radit gugup. Dia menatap Arumi beber
Suasana begitu meriah saat keluarga Amran sampai ke gedung tempat pernikahan Arumi dan Radit digelar. Sepasang pengantin sudah duduk di pelaminan. Arumi tampak cantik dan anggun dengan kebaya berwarna biru mudanya. Radit pun terlihat lebih tampan dan menawan dengan warna jas yang sama."Zilva!" Arumi melambaikan tangan pada Zilva yang baru memasuki gedung. Zilva tersenyum sembari memberikan kode agar sahabatnya itu bisa menjaga sikap karena banyak tamu yang datang. "Mas, aku ke sana sebentar ya?" ucap Zilva saat ingin menghampiri Arumi di pelaminan. "Iya, Sayang. Aku tunggu di sini sama mama. Mbak Selly juga mau ikut itu," balas Amran sembari menunjuk kakaknya yang melangkah paling belakang. "Iya, Mas. Mbak Selly juga mau ngucapin selamat." Zilva tersenyum tipis. "Kenapa nggak sekalian nanti aja pas mau pulang?""Kelamaan, Mas. Arumi sudah lihat tadi, lagipula cuma salaman aja, nanti ke sini lagi," bisik Zilva dibalas dengan anggukan suaminya. Zilva pun menggandeng Rafka lalu men
Robby, tangan kanan Amran itu tiba-tiba datang tanpa mengirimkan pesan terlebih dahulu. Sepertinya ada kabar penting yang dia bawa, makanya buru-buru datang meski dia juga tahu kalau Amran dan keluarganya ada acara saat ini. "Maaf mengganggu, Mas. Ada berita penting yang harus saya sampaikan secepatnya," ucap Robby sembari mengikuti langkah bosnya ke teras rumah. Amran duduk di salah satu kursi teras lalu disusul oleh Robby yang menduduki kursi lain. "Soal apa? Kecelakaan Prilly?" tebak Amran seketika. Namun, Robby menggeleng pelan membuat Amran mengernyit. "Kalau bukan itu, lantas soal apa?" tanyanya penasaran karena tebakan yang diyakininya benar justru salah besar. "Soal lelaki berjaket kulit yang selama ini meneror keluarga bos." Robby mengangguk pelan berusaha meyakinkan saat Amran menatapnya lekat. "Kenapa dia? Sudah tertangkap?" Kali ini Robby menggeleng. "Lantas? Lincah sekali dia, bisa-bisanya kamu dan anak buahmu tak mampu menangkapnya setelah sekian lama berusaha mel
Zilva merahasiakan permasalahan Arumi dengan calon suaminya dari Amran. Dia ingin menjaga perasaan sahabatnya, meskipun Amran sedikit tahu tentang kisah percintaan Arumi saat ini. Kisah cinta yang datang dari sebuah perjodohan, sementara Radit belum selesai dengan masa lalunya. "Cantik," puji Amran saat melihat istrinya keluar dari kamar dengan gamis abu-abunya. Rafka dan Amran pun memakai kemeja dengan warna yang sama. "Bukannya dari dulu memang cantik, Mas? Lupa?" Zilva sedikit mencibir saat digoda suaminya. "Nggak lupa dong. Lagipula kalau nggak cantik, mana mungkin jadi istri seorang Amran." "Oo ... jadi, kriteria menjadi istri Amran itu hanya cantik saja?" Zilva melirik malas. "Cantik wajahnya memang banyak, tapi yang cantik wajah dan hatinya itu nggak akan banyak." Amran menarik pelan dagu istrinya lalu mencium kening dan bibirnya."Kalian sudah siap?" Tiba-tiba mama Amran muncul dari ruang tamu. Sepertinya dia baru saja datang bersama Selly dan Ruri. "Astaghfirullah!" pek
"Om Galih ya, Mas?" tanya Zilva setelah Amran mengakhiri panggilan. Laki-laki itu pun mengangguk lalu meletakkan kembali benda pipih kecil berwarna hitam itu ke meja. "Om Galih bilang kalau Lala akan segera bebas sekitar enam bulan lagi." Zilva manggut-manggut. "Lala masih berharap kalau kamu bakal jenguk dia?" tebak Zilva yang tahu apa inti pembicaraan itu. Zilva paham bagaimana keinginan Lala, tapi dia juga mengerti bagaimana keputusan suaminya yang tak ingin berhubungan dengan mantan istrinya itu lagi. "Biar sajalah, Sayang. Makin ribet kalau nanti berurusan dengan dia lagi. Kita nggak tahu apakah tiga tahun penahanannya itu membuatnya benar-benar jera atau justru menimbulkan dendam semakin dalam." "Jenguk saja sekali, Mas. Nggak ada salahnya kan?" bujuk Zilva lagi. Namun, Amran justru hanya membalas dengan hembusan napas kasar lalu menyandarkan punggungnya ke sofa. "Kamu lupa bagaimana sepak terjangnya selama ini? Dia nyaris memisahkan kita dan membuat kita selalu ribut, Saya
"Assalamualaikum. Bagaimana kabarmu, Ran?" Suara dari seberang mengingatkan Amran dengan seseorang yang begitu dia kenal. Amran mengernyit. Dia tak tahu mengapa tiba-tiba laki-laki itu meneleponnya dengan nomor baru. "Wa'alaikumsalam, Pa. Alhamdulillah kabar baik. Papa sama mama gimana?" tanya Amran pada Galih, orang tua Lala yang tak lain mantan istri keduanya. "Alhamdulillah kami baik, Ran." Amran mengucap Hamdallah saat mendengar berita baik itu. "Sudah lama tak kasih kabar, papa hanya mau bilang kalau nomor yang lama hilang. Ini nomor baru papa." "Iya, Pa. Nanti Amran simpan nomornya. Maaf belum bisa jenguk papa dan mama. Akhir-akhir ini cukup banyak masalah dan Amran harus menyelesaikannya satu persatu." Amran menghela napas panjang. Sejak perceraiannya dengan Lala beberapa bulan silam, Amran memang hanya dua atau tiga kali menjenguk mertuanya. Itupun karena mama mertuanya sakit. Setelahnya, dia tak pernah ke sana lagi karena memang banyak masalah yang menimpa keluarganya.
"Fika, sini sama Tante." Zilva menyambut Fika dengan hangat. Gadis cantik itu dititipkan pada Zilva dan Amran selama Prilly masih di klinik. Romi yang bekerja sebagai karyawan swasta tak mungkin bisa menjaga Fika 24 jam. Dia harus bekerja dan menjenguk istrinya. Oleh karena itulah, pilihan terakhir dan terbaik memang menitipkan Fika pada Zilva karena dia yang selalu di rumah. "Tante, maaf kalau Fika ganggu Tante Zilva ya," ucap Fika dengan polosnya. "Nggak ganggu, Sayang. Tante justru senang Fika di sini. Adik Rafka ada yang nemenin main. Iya kan?" Zilva jongkok, mensejajari Fika yang berdiri di depannya. Dia pun tersenyum lalu mengusap puncak kepala Fika yang menatapnya dengan berbinar. "Iya, Tante. Fika mau ajak adik Rafka main," balas Fika sembari berlari kecil ke arah Rafka yang bermain bola di ruang tengah. Zilva dan Amran saling tatap lalu sama-sama tersenyum. Amran merangkul istrinya saat melangkah beriringan mendekati Rafka dan Fika. Mereka membicarakan tentang keadaan Pr
"Gimana keadaan Prilly, Ma?" tanya Amran saat mamanya menjemput di depan pintu utama klinik Amal Sehat. "Alhamdulillah Prilly membaik, Ran. Dia cuma agak trauma saja." Amran menatap mamanya lekat."Trauma gimana, Ma?" lirih Amran sembari melangkah ke kamar inap Prilly. "Dia bilang beberapa kali tak sengaja lihat ada yang mengikutinya. Sebelum ke pasar tadi dia juga sudah lihat laki-laki yang menabraknya itu, tapi Prilly mencoba berbaik sangka. Ternyata, firasatnya memang benar kalau laki-laki itu ingin mencelakainya." Ratna menjelaskan semuanya pada Amran. "Jadi, Prilly memang sengaja ditabrak?" tanya Amran lagi saat berhenti di depan kamar inap Prilly. Ratna pun mengangguk. "Dia kabur setelah melihat Prilly tergeletak di trotoar." "Kurang ajar," gumam Amran begitu geram. Jemari-jemarinya mengepal. Dia tak akan tinggal diam melihat adiknya diperlakukan semena-mena seperti itu. "Sudahlah, Ran. Yang penting sekarang kesembuhan Prilly dulu. Soal pelakunya kita urus belakangan." "N