Mama masih begitu percaya jika anak perempuannya tak mungkin seburuk yang diceritakan menantunya. Aku paham bagaimana perasaan mama saat ini. Mana mungkin percaya dengan ucapan menantunya yang jelas-jelas sudah mendua, tapi selama ini Mbak Selly memang terlalu pandai menyimpan sesuatu. Tak hanya itu saja, dia juga pintar bersandiwara. "Aku hanya memberi tahu mama apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang selama ini selalu Shelly tutupi. Terserah mama percaya atau tidak, aku pun tak memaksa. Untuk berbohong demi mendapatkan simpati dari mama, kurasa nggak perlu sih, Ma. Shelly memang sering ke rumah mama bersama Ruri, tapi dia juga sering keluar dengan teman-temannya. Datang ke rumah mama kuyakin hanya alibinya saja supaya ada yang membela jika nanti ketahuan belangnya. Seperti saat ini, mama tetap percaya jika Selly tak seburuk yang kuceritakan bukan?" Mama hanya menggeleng pelan. Tak percaya dan tak mau membenarkan cerita Mas Emil. Jangankan mama, aku pun cukup kaget dengan semua ce
"Ma ...." Lirih kudengar suara Mbak Selly memanggil mama. Kedua matanya menatap tajam lalu meminta mama untuk duduk di sampingnya. "Mas Emil nggak ke sini, Ma?" lirihnya lagi. Entah mengapa ada rasa nyeri yang menggores dada ini. Aku tahu Mbak Selly tak sepenuhnya benar, hanya saja cinta yang bertepuk sebelah tangan itu memang menyakitkan. Meski aku belum pernah mengalaminya sendiri, tapi aku tahu bagaimana mereka yang depresi hanya karena cintanya yang tak pernah dihargai. "Datang. Dia ada di luar dengan Amran," balas Mama dengan suara yang lirih pula. Ada kelegaan yang terpancar di wajah kakak iparku itu. Namun, di sisi lain kulihat luka yang sengaja dia sembunyikan. "Ma, boleh panggilkan Mas Emil sekarang? Apa dia bawa perempuannya itu ke sini?" Mbak Selly bertanya lagi membuat mama sedikit kebingungan saat akan menjawab pertanyaannya. "Dia sama istri barunya, Sel. Sudahlah, lupakan dia. Ada mama yang akan selalu di samping kamu. Buktikan sama dia kalau kamu bisa mandiri dan h
"Mas, aku nyicil belanja buat peralatan baby, boleh?" Mas Amran yang masih sibuk di depan laptopnya menoleh ke arahku. Dia berpikir sejenak lalu mengangguk pelan. Senyum tipis terukir di kedua sudut bibirnya, membuatku semangat menyusun list belanjaan. "Kapan belanjanya, Sayang?" tanyanya kemudian. "Sebentar lagi, Mas. Aku belanja sama Arumi saja nggak apa-apa ya, Mas? Jadi, kamu nggak harus antar aku ke sana. Aku tahu kamu masih sibuk. Tiga hari belakangan nggak masuk kerja karena ngurus masalah Mbak Selly tentu membuat pekerjaan kantormu menumpuk kan?" Aku menghidangkan secangkir kopi untuknya. Kepulan asap itu tampak mengudara, membuat aromanya tercium ke mana-mana. "Makasih, Sayang. Kamu memang istri yang pengertian dan perhatian. Arumi sudah datang atau masih di jalan?" Mas Amran menatapku lekat sembari mengusap lengan lalu menyeruput kopi buatanku perlahan. "Sudah datang kok, Mas. Sekarang dia di ruang tengah." Laki-laki yang sudah membersamaiku dua tahun lebih itu pun menga
"Zilva, minggir!" Peringatan Arumi nyatanya tak bisa membuatku lebih gesit menghindar saat Lala menubrukku dengan kasar. "Astaghfirullah!" Aku menjerit seketika saat nyaris terjengkang ke belakang. Beruntung ada seseorang yang menahanku dari belakang, jika tidak, aku pasti sudah terjengkang dan jatuh di tangga eskalator. Ya Allah, tak bisa kubayangkan bagaimana nasibku dan janin yang ada dalam kandungan ini jika sampai terguling ke lantai bawah. Mungkin akan keguguran dan semua mimpi menjadi ibu lenyap dalam sekejap mata. Badanku lemas membayangkan semuanya. Kulihat Arumi tergesa mengejarku. Dia sampai shock melihatku lemas di samping seseorang. "Kamu nggak apa-apa kan, Va?" Suara itu membuatku mendongak. Aku tercekat seketika saat tak sengaja beradu pandang dengan lelaki itu. Lelaki yang Arumi bilang masih menyimpan rasa yang sama untukku. "Eh, Mas Zain. Maaf nggak sengaja," ujarku buru-buru sedikit menjauh darinya. Ternyata dia yang menolong dan menyangga tubuhku barusan. Benar
Hening sejenak. Aku mendadak tak fokus dengan obrolan. "Jangan gitu dong, Mas. Orangnya mendadak kaku tuh." Suara Arumi mendadak mengagetkanku. Perempuan manis itu menunjukku dengan dagunya. Dia kembali meringis kecil saat aku melotot sembari mengerucutkan bibir. "Bercanda, Va. Nggak usah diambil hati. Wajar kan kalau aku juga pengin punya calon istri sepertimu? Nggak cuma aku deh kayanya, banyak lelaki yang menginginkan hal sama. Bukan begitu, Mi?" Sepertinya Mas Zain sudah tertular virus bawel dari Arumi. Dia tak lagi sependiam dulu. "Eh, betul itu, Mas. Zilva memang tipe istri idaman banget. Lembut, kalem, nggak neko-neko dan setianya patut diacungi jempol." Arumi mulai memuji dan itu sedikit membuatku kesal. Tak ingin melihatku kembali mengomel, Arumi buru-buru mengajakku dan Mas Zain ke area food court. Dia memesan tiga minuman dingin lalu menyuguhkannya di atas meja. "Berapa usia kandunganmu, Va?" tanya Mas Zain setelah beberapa saat saling diam sebab Arumi sibuk mencari c
Pesan dari Mas Amran membuatku tak mampu berkata-kata. Rencana ingin beli ini dan itu mendadak buyar seketika. Aku ingin sampai rumah dengan segera. Arumi seolah memaklumi kegelisahanku. Tanpa meminta, dia mengajakku pulang. "Tenang, Va. Ada aku sebagai saksinya." Arumi kembali menenangkanku. Dia tahu jika saat ini diamku bukan karena lelah atau mengantuk seperti biasanya, tapi karena takut Mas Amran kembali curiga. Aku benar-benar nggak ingin hubungan Mas Amran dan Mas Zain memburuk karena masalah ini. Harusnya justru berterima kasih sebab dia yang dikirim Allah untuk menolongku dari tragedi itu, jika tidak, tentu keadaanku tak sebaik sekarang. "Masuk, Mi. Aku ambilkan minum dulu ya." Arumi mengangguk saat kuminta duduk di sofa ruang tengah. Minuman bersoda kesukaannya pun kuhidangkan di meja. Sekalian kue yang tadi kubeli saat perjalanan pulang."Suamimu mana, Va? Pergi?" tanya Arumi setelah meneguk minuman yang kusuguhkan. Aku memeriksa handphone, tak ada pesan apapun darinya.
"Aku percaya sama kamu, Mi, tapi siapa kira-kira yang kirim foto-foto itu? Zain atau Lala?" Mas Amran mendongak, lalu menatapku dan Arumi bergantian. Dia mulai memijit kening pelan sembari berpikir, siapa sebenarnya yang mengirimkan foto-foto itu. Aku tak menyangka jika Mas Amran mencurigai Mas Zain juga. "Aku memang nggak tahu siapa pengirimnya, Mas. Cuma kalau Mas Zain kurasa sih nggak ya. Aku tahu betul siapa dia. Dia memang memiliki perasaan lebih pada Zilva, tapi untuk berbuat curang kuyakin bukan dia. Lagipula Zikri bilang kalau sampai akhir tahun ini Mas Zain belum punya gandengan, umi mau jodohin dia sama anak dari sahabat almarhum abi-nya. Nggak tahu juga sih. Soalnya Mas Zain sendiri juga nggak bilang apa-apa sama aku, bahkan sempat minta dicariin jodoh." Arumi menggeleng pelan sembari tertawa kecil. "Kalian cukup akrab ya sekarang. Kenapa nggak sama kamu aja, Mi? Biar hemat kadonya." Kelakar Mas Amran persis dengan yang kuucapkan tadi padanya. Arumi membulat seketika lalu
"Mas Amran ...." Lala begitu kaget melihat kehadiranku dan Mas Amran di rumahnya. Gegas mematikan panggilan telepon lalu memasukkan benda pipih itu ke saku celananya. "Ma-- Mas Amran mau ngapain ke sini?" Wajah perempuan itu mendadak pasi saat Mas Amran menatapnya lekat, masih dengan menggenggam handphone milik Roby yang dipinjamnya. "Hidupmu terasa hampa kalau nggak mengganggu keluargaku ya, La?!" ujar Mas Amran sengit membuat kedua orang tua Lala saling tatap tak mengerti. "Kamu ngo-- ngomong apa sih, Mas." Lagi, perempuan itu masih merasa tak bersalah, tapi jelas mimik wajah dan gestur tubuhnya berbanding terbalik dengan ucapannya. Sesekali dia melirikku lalu mengalihkan pandangan ke arah orang tuanya. "Amran, ada apalagi ini? Papa benar-benar pusing dengan kalian berdua. Masih bersama ribut setiap hari, sudah pisah pun masih saja ribut." Om Galih mulai tersulut emosi, tapi istrinya berusaha menenangkan dan memintanya beristighfar. "Bukan aku yang memancing keributan, tapi ana