Pesan dari Mas Amran membuatku tak mampu berkata-kata. Rencana ingin beli ini dan itu mendadak buyar seketika. Aku ingin sampai rumah dengan segera. Arumi seolah memaklumi kegelisahanku. Tanpa meminta, dia mengajakku pulang. "Tenang, Va. Ada aku sebagai saksinya." Arumi kembali menenangkanku. Dia tahu jika saat ini diamku bukan karena lelah atau mengantuk seperti biasanya, tapi karena takut Mas Amran kembali curiga. Aku benar-benar nggak ingin hubungan Mas Amran dan Mas Zain memburuk karena masalah ini. Harusnya justru berterima kasih sebab dia yang dikirim Allah untuk menolongku dari tragedi itu, jika tidak, tentu keadaanku tak sebaik sekarang. "Masuk, Mi. Aku ambilkan minum dulu ya." Arumi mengangguk saat kuminta duduk di sofa ruang tengah. Minuman bersoda kesukaannya pun kuhidangkan di meja. Sekalian kue yang tadi kubeli saat perjalanan pulang."Suamimu mana, Va? Pergi?" tanya Arumi setelah meneguk minuman yang kusuguhkan. Aku memeriksa handphone, tak ada pesan apapun darinya.
"Aku percaya sama kamu, Mi, tapi siapa kira-kira yang kirim foto-foto itu? Zain atau Lala?" Mas Amran mendongak, lalu menatapku dan Arumi bergantian. Dia mulai memijit kening pelan sembari berpikir, siapa sebenarnya yang mengirimkan foto-foto itu. Aku tak menyangka jika Mas Amran mencurigai Mas Zain juga. "Aku memang nggak tahu siapa pengirimnya, Mas. Cuma kalau Mas Zain kurasa sih nggak ya. Aku tahu betul siapa dia. Dia memang memiliki perasaan lebih pada Zilva, tapi untuk berbuat curang kuyakin bukan dia. Lagipula Zikri bilang kalau sampai akhir tahun ini Mas Zain belum punya gandengan, umi mau jodohin dia sama anak dari sahabat almarhum abi-nya. Nggak tahu juga sih. Soalnya Mas Zain sendiri juga nggak bilang apa-apa sama aku, bahkan sempat minta dicariin jodoh." Arumi menggeleng pelan sembari tertawa kecil. "Kalian cukup akrab ya sekarang. Kenapa nggak sama kamu aja, Mi? Biar hemat kadonya." Kelakar Mas Amran persis dengan yang kuucapkan tadi padanya. Arumi membulat seketika lalu
"Mas Amran ...." Lala begitu kaget melihat kehadiranku dan Mas Amran di rumahnya. Gegas mematikan panggilan telepon lalu memasukkan benda pipih itu ke saku celananya. "Ma-- Mas Amran mau ngapain ke sini?" Wajah perempuan itu mendadak pasi saat Mas Amran menatapnya lekat, masih dengan menggenggam handphone milik Roby yang dipinjamnya. "Hidupmu terasa hampa kalau nggak mengganggu keluargaku ya, La?!" ujar Mas Amran sengit membuat kedua orang tua Lala saling tatap tak mengerti. "Kamu ngo-- ngomong apa sih, Mas." Lagi, perempuan itu masih merasa tak bersalah, tapi jelas mimik wajah dan gestur tubuhnya berbanding terbalik dengan ucapannya. Sesekali dia melirikku lalu mengalihkan pandangan ke arah orang tuanya. "Amran, ada apalagi ini? Papa benar-benar pusing dengan kalian berdua. Masih bersama ribut setiap hari, sudah pisah pun masih saja ribut." Om Galih mulai tersulut emosi, tapi istrinya berusaha menenangkan dan memintanya beristighfar. "Bukan aku yang memancing keributan, tapi ana
"Mas, aku sudah beli camilan dan kado boneka Doraemon untuk Ruri. Dia pasti seneng banget. Kapan kita ke sana?" Mas Amran mengusap bibirnya dengan tisu setelah sarapan. "Sekarang juga nggak apa, Sayang. Sekalian ajak Ruri jalan-jalan. Mungkin dia bosan di rumah. Semenjak Mas Emil pergi, dia nyaris nggak pernah jalan-jalan. Mbak Selly juga masih fokus dengan perasaannya sendiri, belum bisa fokus dengan Ruri. Kasihan Mbak Selly, begitu depresi ditinggal Mas Emil." Gurat sedih terlukis di wajah Mas Amran. "Sekalian Mbak Selly juga nggak apa, Mas. Dia juga butuh hiburan." Mas Amran mengangguk pelan lalu mengucapkan terima kasih sebab aku masih dan terus peduli dengan keluarganya. Aku tahu jika dulu Mbak Selly begitu membenciku bahkan sekongkol dengan mama untuk memberiku madu, tapi melihatnya seperti ini aku pun tak tega. Makanya ingin meringankan sedikit bebannya dengan mengajak jalan. Barang kali dengan begitu dia dan Ruri bisa sedikit lebih bahagia dibandingkan sebelumnya. Setelah
"Astaghfirullah, Ruri!" pekik nyaris semua orang yang menyaksikan tragedi itu. Aku tak menyangka jika Ruri justru berdiri dengan satu kakinya saat vas itu melayang ke arah kami. Dia berusaha melindungiku yang masih mengikat perban di kaki kirinya. Gadis kecil itu menatapku sembari meringis kesakitan sebelum akhirnya jatuh pingsan. Kakinya berdarah, begitu pula keningnya. Namun, aku yakin luka di hatinya jauh lebih parah. Mbak Selly mematung saat melihat anak semata wayangnya jatuh tepat di pangkuanku. Kakak iparku itu menutup mulutnya dengan telapak tangan dengan air mata yang bercucuran. "Stop, Mbak! Jangan sakiti dirimu sendiri dan Ruri. Lihatlah, dia sakit melihatmu seperti ini!" Dengan suara serak aku berteriak. Mbak Selly masih diam di tempat lalu menjatuhkan asbak dari tangannya begitu saja. "Kalau kamu memang tak ingin melihat Ruri bersamamu, teruskan saja sikap bod*hmu ini. Aku yakin, jika Mas Emil tahu kamu bersikap segila ini, tentu dia punya alasan untuk mengambil hak
"Mbak, jangan sedih terus. Ingat Ruri, saat ini dia sangat membutuhkanmu. Butuh sosok mama yang kuat, tegar dan tenang. Mama yang bisa menjadikannya panutan untuk masa depan. Mama yang tegar di setiap badai yang datang dan mama yang selalu mencintainya dengan tulus apapun dan bagaimanapun roda kehidupan berjalan. Dia butuh sosok kamu yang penuh cinta, senyum dan tawa, Mbak." Lagi, Mbak Selly semakin tergugu di pelukanku. Dia tak membalas ucapanku, hanya gerak tubuhnya saja yang mengisyaratkan penyesalan atas segala tindakannya barusan. Tangisnya cukup membuktikan jika luka di hatinya bukanlah sandiwara. Dia depresi dan itu wajar terjadi saat perempuan mendadak ditalak oleh orang yang begitu dicintainya selama ini. Seperti halnya Mbak Selly yang mama bilang terlalu mencintai Mas Emil. Satu hal yang harus tetap dijaga adalah Iman. Jangan sampai goyah hingga berbuat macam-macam dengan alasan menghilangkan segala masalah yang cukup runyam. Oleh karena itulah, butuh pelukan, cinta dan p
"Kita ke klinik Asyifa ya, Mbak. Ruri dibawa mama sama Prilly ke sana," ujarku lirih sembari mengusap punggungnya. Mbak Selly masih terus memeluk, badannya terasa bergetar karena tangisnya yang belum reda. "Iya, Va. Mbak takut kehilangan Ruri. Cuma dia harta paling berharga yang mbak punya." Akhirnya aku kembali menghela napas lega setelah mendengar balasannya. Itu artinya tingkat kewarasan Mbak Selly mulai kembali dengan sempurna. Syukurlah. Setelah ruangan dibersihkan dan tetangga pulang ke rumah masing-masing, aku dan Mbak Selly diminta Mas Amran duduk di kursi belakang. Sementara dia duduk di belakang kemudi. Banyak hal yang diceritakan Mbak Selly tentang rumah tangganya bersama Mas Emil. Tentang suka dukanya dan sikap-sikap mantan suaminya itu beberapa bulan terakhir. Setelah dua tahunan menjadi ipar yang begitu dibencinya, ternyata sekarang keadaan justru berbalik seratus delapan puluh derajat. Aku manjadi ipar yang dia jadikan tempat berkeluh kesah. Aku benar-benar tak per
"Kamu kapan HPLnya, Va?" Pertanyaan mama membuatku menghentikan suapan. Sarapan pagi ini sengaja aku yang bikin sendiri. Bubur ayam, seperti yang dijual di gerobakan. Mama bilang enak dan cocok di lidahnya. "Seminggu lagi sih, Ma. Kalau sesuai tanggal, tapi Mbak Selly bilang kadang maju mundur ya, Ma?" Mama mengambilkanku segelas air putih lalu ikut duduk di kursi sebelah. "Makasih, Ma." Aku tersenyum tipis saat mama mengusap lenganku pelan. Sejak peristiwa waktu itu, mama tak lagi membenciku. Sebongkah cinta pada menantu selalu dia tunjukkan untukku. Rasa benci yang dulu begitu menggebu seolah luntur begitu saja, berganti dengan cinta dan kasih yang begitu istimewa. "Memang begitu, Va. Kadang ada yang maju, kadang ada yang mundur juga. Itu Amran dulu lahirnya maju beberapa hari dari HPL, sementara Prilly malah mundur seminggu." Mama kembali menoleh lalu mengangguk pelan, seolah meyakinkanku akan kebenaran ceritanya. "Jadi takut aku, Ma. Tiap dengar cerita orang lahiran, entah me