"Kita ke klinik Asyifa ya, Mbak. Ruri dibawa mama sama Prilly ke sana," ujarku lirih sembari mengusap punggungnya. Mbak Selly masih terus memeluk, badannya terasa bergetar karena tangisnya yang belum reda. "Iya, Va. Mbak takut kehilangan Ruri. Cuma dia harta paling berharga yang mbak punya." Akhirnya aku kembali menghela napas lega setelah mendengar balasannya. Itu artinya tingkat kewarasan Mbak Selly mulai kembali dengan sempurna. Syukurlah. Setelah ruangan dibersihkan dan tetangga pulang ke rumah masing-masing, aku dan Mbak Selly diminta Mas Amran duduk di kursi belakang. Sementara dia duduk di belakang kemudi. Banyak hal yang diceritakan Mbak Selly tentang rumah tangganya bersama Mas Emil. Tentang suka dukanya dan sikap-sikap mantan suaminya itu beberapa bulan terakhir. Setelah dua tahunan menjadi ipar yang begitu dibencinya, ternyata sekarang keadaan justru berbalik seratus delapan puluh derajat. Aku manjadi ipar yang dia jadikan tempat berkeluh kesah. Aku benar-benar tak per
"Kamu kapan HPLnya, Va?" Pertanyaan mama membuatku menghentikan suapan. Sarapan pagi ini sengaja aku yang bikin sendiri. Bubur ayam, seperti yang dijual di gerobakan. Mama bilang enak dan cocok di lidahnya. "Seminggu lagi sih, Ma. Kalau sesuai tanggal, tapi Mbak Selly bilang kadang maju mundur ya, Ma?" Mama mengambilkanku segelas air putih lalu ikut duduk di kursi sebelah. "Makasih, Ma." Aku tersenyum tipis saat mama mengusap lenganku pelan. Sejak peristiwa waktu itu, mama tak lagi membenciku. Sebongkah cinta pada menantu selalu dia tunjukkan untukku. Rasa benci yang dulu begitu menggebu seolah luntur begitu saja, berganti dengan cinta dan kasih yang begitu istimewa. "Memang begitu, Va. Kadang ada yang maju, kadang ada yang mundur juga. Itu Amran dulu lahirnya maju beberapa hari dari HPL, sementara Prilly malah mundur seminggu." Mama kembali menoleh lalu mengangguk pelan, seolah meyakinkanku akan kebenaran ceritanya. "Jadi takut aku, Ma. Tiap dengar cerita orang lahiran, entah me
Mama cukup panik melihatku terus merintih kesakitan di atas ranjang. Setelah mengusap punggung dan perutku pelan, mama buru-buru keluar rumah katanya ingin memanggil Mas Amran yang kebetulan masih di rumah tetangga. Sejak jogging tadi pagi, dia belum balik ke rumah. Kurasakan air mulai merembes ke lutut. Rasa sakit kembali terasa. Tak pernah kurasakan sesakit ini. Berulang kali istighfar dan berusaha merapatkan doa-doa untuk menenangkan diriku sendiri. Tak lupa membaca surat-surat pendek Alquran agar sakitnya berkurang.Di tengah kesakitanku, Ruri terus mengusap perutku yang terasa lebih kencang dan keras dibandingkan sebelumnya. Sesekali dia memanggil sang nenek karena ketakutan melihatku guling-guling di atas ranjang menahan sakit yang mendera. "Nekkkk, Tante Zilva sakit!" teriak Ruri ke sekian kalinya. Derap langkah kaki mulai mendekati kamar. "Ya Allah, Sayang!" pekik Mas Amran setelah muncul di ambang pintu. Dia cukup panik lalu buru-buru membopongku ke mobil. "Ma, tolong amb
Muhammad Rafka Al-Ghifari. Nama yang akhirnya kami pilih untuk malaikat kecil itu. Berharap kelak bisa menjadikan Rasullulah sebagai suri tauladannya, menjadi anak lelaki yang bersinar dengan sikap terpuji dan senantiasa bersemangat mencari rezeki halalNya. Syukuran kecil-kecilan digelar untuk memperingati aqiqah Rafka. Banyak tetangga yang datang untuk meramaikan acara dan memberikan doa-doa. Keluarga Mbak Selly dan Prilly pun datang dengan senyum bahagia. Mereka bersyukur memiliki keponakan laki-laki yang kini di pangkuan Mbak Selly. Mama pun menyiapkan nasi kotak yang sudah dikirim oleh pihak catering. Aneka camilan dan minuman kemasan disiapkan untuk jamuan. Semakin lama tamu semakin banyak yang datang. Tetangga sekitar dan beberapa teman Mas Amran saja yang diundang karena memang hanya syukuran kecil-kecilan. "Selamat ya, Zilva. Setelah sekian lama akhirnya kamu dan Amran punya buah hati tampan dan sholeh. Penantian yang membuahkan hasil sempurna," ucap Mbak Hanum dengan senyu
Waktu terus bergulir. Tepat tiga bulan usia Rafka, akhirnya aku dan Mas Amran berhasil membuka AmRaz Resto cabang kedua. Restoran ini bersebelahan dengan taman kota yang cukup strategis. Konsepnya sama dengan restoran utama, menu seafood sebagai andalan. Bedanya di sini ada beragam menu gurita mulai dari gurita asam pedas manis, gurita saos Padang, sambal baby gurita, gurita crispy dan lain sebagainya, sementara di resto pertama belum ada menu ini. Soal Tempat makan, di sini juga sama saja. Ada yang lesehan, ada pula yang duduk di kursi dengan nuansa instagramable banget sehingga cocok untuk berfoto ria. Anak-anak muda biasanya gemar mengunduh foto-foto mereka ke sosial media. Dengan begitu secara tak langsung mereka juga akan mempromosikan resto ini di dunia maya. "Aku benar-benar nggak menyangka jika di balik ujian itu ada hikmah luar biasa yang bisa kita petik detik ini, Sayang. Kamu dan Rafka adalah anugerah terbesar untuk hidupku. Jangan pergi, menua dan berbahagialah selalu d
"Kamu beneran mau ta'aruf, Mi?" tanyaku pada Arumi yang baru saja datang dengan semringahnya. "Serius, Va. Masa bohong sih?" Aku manggut-manggut. "Ta'aruf sama siapa? Zikri? Mas Zain atau siapa?" Aku pun penasaran sebab selama ini Arumi tak cerita apapun, tapi sekarang justru kudengar kabar membahagiakan seperti ini darinya. Dia terlihat santai dan menikmati, jadi kurasa Arumi tak menolak proses ini. "Sebenarnya nggak ta'aruf-ta'aruf banget sih, Va. Soalnya aku mau dijodohkan dengan saudara jauh mama. Namanya Radit. Usianya 27 tahun, cuma beda setahun dariku." Arumi kembali menjawab pertanyaanku dengan senyum tipis. "Kalian sudah kenal sebelumnya?" "Kenal banget sih nggak ya. Cuma beberapa kali sempat ketemu di acara keluarga besar." Aku manggut-manggut lagi. "Dia seorang wakil kepala sekolah." Arumi kembali menatapku. "Waw, karir yang bagus di usianya yang masih tergolong muda." Aku pun tersenyum tipis lalu menidurkan Rafka ke ranjangnya. "Mau tahu fotonya?" Arumi kembali sen
[Va, aku mau menikah] Setelah sekian lama menunggu jawaban istikharah Arumi, akhirnya kudapatkan kabar membahagiakan itu darinya. Dia akan menikah di usianya yang menginjak dua puluh enam tahun. Akhirnya sahabat terbaikku itu sadar juga jika memiliki pasangan akan membuat hidupnya yang kelabu lebih berwarna. Arumi harus mengontrol dirinya sendiri untuk tak melulu melanglang buana dan pergi ke sana-sini dengan bebas. Dia juga harus memikirkan masa depan, salah satunya memiliki pasangan. [Serius sama Mas Radit? Jadi ibu wakil kepala sekolah dong nanti. Selamat ya, Mi. Aku senang sekali mendengar kabar ini. Akhirnya sahabatku laku juga] Kububuhi emoticon tawa di bagian akhir pesan yang kukirimkan. Aku dan Arumi biasa bercanda soal itu, asalkan tak terlalu membuatnya sakit hati. Namun, jika ada yang mengoloknya sebagai perawan tua secara terang-terangan, aku maju untuk membela. Meski Arumi menanggapinya dengan santai, tapi aku tahu dalam hatinya sedikit kecewa dan terluka. [Iya sa
"Mas, kamu kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi?" Aku pun ikut panik melihatnya sekusut itu. "Ada sesuatu yang terjadi, Dek. Sebentar aku ambil minum dulu ya?" Mas Amran mengusap puncak kepalaku lalu buru-buru melangkah ke dapur. Aku masih mengikutinya dan duduk di kursi makan saat Mas Amran mengambil mengambil air dingin dari kulkas dan meminumnya hingga separuhnya. Keningnya berkeringat, sesekali mengacak rambutnya kasar. Sepertinya Mas Amran begitu frustasi, membuatku semakin cemas dan penasaran apa yang membuatnya seperti ini. "Mas, kalau sudah tenang, ceritakan semuanya padaku ya? Kalaupun ada masalah, kita bisa selesaikan sama-sama. Jangan kamu pendam sendiri, nanti bisa membuatmu sakit. Aku nggak mau kamu sakit, Mas. Aku mencintaimu dan membutuhkanmu." Entah mengapa, kalimat panjang itu meluncur begitu saja. Aku yang biasanya tak pandai bicara dan mengungkapkan rasa, mendadak seperti guru yang sedang menasehati anak muridnya. Mas Amran sampai tercekat lalu tersenyum tipis