"Kamu beneran mau ta'aruf, Mi?" tanyaku pada Arumi yang baru saja datang dengan semringahnya. "Serius, Va. Masa bohong sih?" Aku manggut-manggut. "Ta'aruf sama siapa? Zikri? Mas Zain atau siapa?" Aku pun penasaran sebab selama ini Arumi tak cerita apapun, tapi sekarang justru kudengar kabar membahagiakan seperti ini darinya. Dia terlihat santai dan menikmati, jadi kurasa Arumi tak menolak proses ini. "Sebenarnya nggak ta'aruf-ta'aruf banget sih, Va. Soalnya aku mau dijodohkan dengan saudara jauh mama. Namanya Radit. Usianya 27 tahun, cuma beda setahun dariku." Arumi kembali menjawab pertanyaanku dengan senyum tipis. "Kalian sudah kenal sebelumnya?" "Kenal banget sih nggak ya. Cuma beberapa kali sempat ketemu di acara keluarga besar." Aku manggut-manggut lagi. "Dia seorang wakil kepala sekolah." Arumi kembali menatapku. "Waw, karir yang bagus di usianya yang masih tergolong muda." Aku pun tersenyum tipis lalu menidurkan Rafka ke ranjangnya. "Mau tahu fotonya?" Arumi kembali sen
[Va, aku mau menikah] Setelah sekian lama menunggu jawaban istikharah Arumi, akhirnya kudapatkan kabar membahagiakan itu darinya. Dia akan menikah di usianya yang menginjak dua puluh enam tahun. Akhirnya sahabat terbaikku itu sadar juga jika memiliki pasangan akan membuat hidupnya yang kelabu lebih berwarna. Arumi harus mengontrol dirinya sendiri untuk tak melulu melanglang buana dan pergi ke sana-sini dengan bebas. Dia juga harus memikirkan masa depan, salah satunya memiliki pasangan. [Serius sama Mas Radit? Jadi ibu wakil kepala sekolah dong nanti. Selamat ya, Mi. Aku senang sekali mendengar kabar ini. Akhirnya sahabatku laku juga] Kububuhi emoticon tawa di bagian akhir pesan yang kukirimkan. Aku dan Arumi biasa bercanda soal itu, asalkan tak terlalu membuatnya sakit hati. Namun, jika ada yang mengoloknya sebagai perawan tua secara terang-terangan, aku maju untuk membela. Meski Arumi menanggapinya dengan santai, tapi aku tahu dalam hatinya sedikit kecewa dan terluka. [Iya sa
"Mas, kamu kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi?" Aku pun ikut panik melihatnya sekusut itu. "Ada sesuatu yang terjadi, Dek. Sebentar aku ambil minum dulu ya?" Mas Amran mengusap puncak kepalaku lalu buru-buru melangkah ke dapur. Aku masih mengikutinya dan duduk di kursi makan saat Mas Amran mengambil mengambil air dingin dari kulkas dan meminumnya hingga separuhnya. Keningnya berkeringat, sesekali mengacak rambutnya kasar. Sepertinya Mas Amran begitu frustasi, membuatku semakin cemas dan penasaran apa yang membuatnya seperti ini. "Mas, kalau sudah tenang, ceritakan semuanya padaku ya? Kalaupun ada masalah, kita bisa selesaikan sama-sama. Jangan kamu pendam sendiri, nanti bisa membuatmu sakit. Aku nggak mau kamu sakit, Mas. Aku mencintaimu dan membutuhkanmu." Entah mengapa, kalimat panjang itu meluncur begitu saja. Aku yang biasanya tak pandai bicara dan mengungkapkan rasa, mendadak seperti guru yang sedang menasehati anak muridnya. Mas Amran sampai tercekat lalu tersenyum tipis
"Sengaja melakukannya, Mas?" Mas Amran mengangguk. Dadaku kembali berdebar kuat. Apakah dunia bisnis memang sekejam itu? Bersaing tak sehat yang menghalalkan segala cara untuk membuat rivalnya jatuh. Namun, apakah kejadian di restoran kami murni karena persaingan bisnis? Bukan karena kebencian atau dendam yang lain? "Entahlah, Dek. Kenapa restoran kita saja yang terbakar sementara restoran lain yang tak jauh dari kita aman-aman saja. Polisi sudah menyelidiki kasus ini dan mereka bilang nggak ditemukan ledakan gas atau apa. Sepertinya memang murni dibakar." "Astaghfirullah." Aku menutup mulut dengan telapak tangan saking kagetnya. "Satpam kok nggak kasih tahu kita kalau cctvnya rusak sih, Mas? Mereka nggak cek tiap hari?" Aku mulai menduga-duga saking bingungnya. "Pak Burhan cuti pulang kampung, ibunya meninggal, Dek. Satpam yang baru itu mungkin agak sungkan mau lapor-lapor. Dia bilang masih berusaha memperbaiki cctvnya sebelum kebakaran terjadi." Aku mengernyit. Satpam itu
Suasana depan AmRaz cafe mendadak riuh. Petugas pemadam kebakaran telah selesai menjalankan pekerjaannya dengan baik. Api yang sebelumnya berkobar kini telah padam. Seperti dugaanku, restoran itu habis dilalap si jago merah. Tak ada yang tersisa, kecuali puing-puing runtuh menjadi arang dan abu yang bertebaran di lokasi kejadian. Mas Amran masih berkeliling, mengamati jerih payahnya yang dulu megah kini tinggal puing-puing. Kulihat ada duka dalam tatapnya, tapi saat bersirobok denganku, laki-laki itu mencoba tersenyum lalu seolah memiliki kekuatan baru dia berjalan tergesa menghampiriku. "Polisi akan usut semuanya, Dek. Jadi, kita tunggu saja apakah cafe kita benar-benar murni kebakaran atau karena sengaja dibakar." "Soal itu serahkan sama pihak berwajib saja, Mas. Sengaja dibakar atau tidak, tak akan mengembalikan cafe kita. Jadi, lebih baik kita fokus sama karyawan untuk kasih gaji dan pesangonnya. Kita nggak mungkin membawa mereka semua ke cafe baru kita. Di sana sudah ada kar
"Saya minta maaf jika selama menjadi atasan kalian cukup sering membuat kalian tak nyaman. Namun, di balik sikap tegas itu, saya hanya berharap kalian lebih bertanggungjawab atas pekerjaan kalian masing-masing. Tak hanya saat bekerja dengan saya, tapi juga saat bekerja di tempat lain." Mas Amran menatap karyawan cafe kami satu persatu. Mereka semua terlihat lesu dan tak bersemangat dua hari belakangan. Sejak cafe terbakar, mereka memang tak lagi bekerja. Makanya Mas Amran meminta mereka datang untuk membicarakan kontrak kerja mereka. "Ibu juga minta maaf jika banyak salah sama kalian selama ini. Ibu harap kalian bisa lebih sukses setelah ini. Kalian tahu sendiri keadaan cafe sudah ludes terbakar. Tak adalagi yang tersisa. Kalaupun bangun ulang, nggak mungkin instan. Saya dan Pak Amran masih memikirkan lokasi yang pas untuk pembangunan cafe yang baru. Kalian nggak mungkin menganggur sampai cafe launching kan?" Aku sebenarnya tak sanggup jika harus bilang pada mereka soal pemberhentia
"Va, cafenya kebakaran?" Mama dan Ruri tiba-tiba muncul di teras rumah dengan tergesa saat aku dan Rafka melihat ikan koi di kolam. "Ya Allah, Va. Kok bisa?" Mama masih saja gugup. Sepuluh hari belakangan mama dan Mbak Selly sedang umrah bersama dan hari ini baru pulang. Aku tak menyangka jika mama buru-buru ke sini untuk melihat keadaanku pasca kebakaran itu terjadi. Mas Amran sengaja tak memberi tahu mama saat di Mekkah, takut mengganggu ibadahnya. Mungkin saat menjemput mama dan Mbak Selly ke bandara tadi dia baru jujur soal cafe itu pada mama. "Padahal mama berdoa supaya kalian selalu bahagia dan usaha-usaha kalian laris dan berkah." Mama tertunduk di kursi teras sembari meletakkan tas kecil dan satu kantong kresek entah isinya apa. Mungkin oleh-oleh yang mama beli dari Tanah Haram sana. Perlahan kugendong Rafka kembali, lalu menyalami mama dan mencium kedua pipinya. Ruri pun mencium punggung tanganku lalu mengajak Rafka ke ruang tengah. Aku duduk di kursi teras sebelah mam
"Ada apa, VA? Siapa yang mengirimi pesan?" Melihat ekspresiku yang terkejut, Mama ikut penasaran dengan pesan yang kini kubaca. Tanpa berkata apapun, aku memperlihatkan pesan dari Mas Amran barusan pada mama. "Tarno? Siapa itu, Va? Mama nggak pernah dengar kalian punya karyawan bernama Tarno." Mama mengernyit sembari berpikir. "Iya, Ma. Dia memang satpam baru yang Mas Amran pekerjakan dua minggu lalu sebelum mama umrah. Sebenarnya Tarno bekerja di bagian kurir atau antar pesanan. Hanya saja Pak Burhan belum pulang karena masih mengurus ibunya yang sakit, makanya sementara waktu kami minta Tarno untuk menggantikan Pak Burhan. Zilva juga tak habis pikir kenapa Mas Amran bilang Tarno terlibat dalam pembakaran cafe itu." Aku kembali beristighfar lalu mengusap wajah pelan. Rasanya seperti mimpi karena mendapatkan kejutan bertubi-tubi. Belum kelar masalah kebakaran cafe, kini kembali dikejutkan soal Tarno yang terlibat dalam insiden itu. Selama ini dia bekerja dengan baik, nyaris tak p
"Assalamualaikum, Jeng Ratna. Gimana kabarnya?" Ratna, mamanya Amran menerima panggilan telepon. "Wa'alaikumsalam, Jeng Mayang. Alhamdulillah kabar saya dan keluarga baik. Kabar Jeng May sama Wita bagaimana?" balas Ratna dengan senyum tipis. Ternyata yang menelepon saat ini adalah Mayang, mamanya Deswita. Wanita paruh baya itupun gegas mencuci tangan di wastafel. Suara Mayang terdengar cukup keras saat loud speaker di handphone Ratna diaktifkan. "Alhamdulillah kami juga baik, Jeng. Kebetulan Wita sama suaminya baru pulang dari Singapure. Mereka bawa oleh-oleh lumayan banyak, sudah dibagi-bagi ke tetangga. Tadi pagi kami ke rumah Jeng Ratna, sayangnya nggak ada di rumah. Memangnya Jeng Ratna sekeluarga ke mana?" tanya Mayang perlahan. "Oh iya, Jeng. Sejak kemarin kami memang pergi hajatan ke rumah saudara. InsyaAllah sore nanti pulang, sengaja menginap semalam di sini. Wita baru pulang honeymoon ya, Jeng?" balas Ratna lagi. "Benar, Jeng. Mereka baru pulang honeymoon di Singapure.
"Tamu yang kamu tunggu datang tuh, Mas," ucap Arumi saat melihat Lana dan Dikta datang dari pintu utama. Berliana adalah perempuan yang disukai Radit sejak dulu, namun cintanya bertepuk sebelah tangan. Dia justru menikah dengan Dikta, cinta pertamanya saat di sekolah putih abu-abu dulu. "Apa kamu bilang?" tanya Radit yang tak terlalu mendengar ucapan istrinya. Radit sempat melamun beberapa saat, jadi tak fokus dengan pembicaraan Arumi. "Tamu yang kamu tunggu sudah datang. Lihatlah, biar hatimu senang," ucap Arumi lagi dengan menahan sesak di dada. Radit cukup kaget saat melihat Lana datang bersama suaminya, lebih kaget lagi saat mendengar ucapan sang istri perihal masa lalunya. Dia memang sempat cerita soal Lana sekilas, tapi tak menyangka jika Arumi mengenali wajah perempuan itu. Tanpa Radit tahu jika Arumi sempat melihat Lana di album foto mertuanya bahkan ada foto perempuan itu di dompet suaminya. "Kamu tahu darimana kalau dia Lana?" tanya Radit gugup. Dia menatap Arumi beber
Suasana begitu meriah saat keluarga Amran sampai ke gedung tempat pernikahan Arumi dan Radit digelar. Sepasang pengantin sudah duduk di pelaminan. Arumi tampak cantik dan anggun dengan kebaya berwarna biru mudanya. Radit pun terlihat lebih tampan dan menawan dengan warna jas yang sama."Zilva!" Arumi melambaikan tangan pada Zilva yang baru memasuki gedung. Zilva tersenyum sembari memberikan kode agar sahabatnya itu bisa menjaga sikap karena banyak tamu yang datang. "Mas, aku ke sana sebentar ya?" ucap Zilva saat ingin menghampiri Arumi di pelaminan. "Iya, Sayang. Aku tunggu di sini sama mama. Mbak Selly juga mau ikut itu," balas Amran sembari menunjuk kakaknya yang melangkah paling belakang. "Iya, Mas. Mbak Selly juga mau ngucapin selamat." Zilva tersenyum tipis. "Kenapa nggak sekalian nanti aja pas mau pulang?""Kelamaan, Mas. Arumi sudah lihat tadi, lagipula cuma salaman aja, nanti ke sini lagi," bisik Zilva dibalas dengan anggukan suaminya. Zilva pun menggandeng Rafka lalu men
Robby, tangan kanan Amran itu tiba-tiba datang tanpa mengirimkan pesan terlebih dahulu. Sepertinya ada kabar penting yang dia bawa, makanya buru-buru datang meski dia juga tahu kalau Amran dan keluarganya ada acara saat ini. "Maaf mengganggu, Mas. Ada berita penting yang harus saya sampaikan secepatnya," ucap Robby sembari mengikuti langkah bosnya ke teras rumah. Amran duduk di salah satu kursi teras lalu disusul oleh Robby yang menduduki kursi lain. "Soal apa? Kecelakaan Prilly?" tebak Amran seketika. Namun, Robby menggeleng pelan membuat Amran mengernyit. "Kalau bukan itu, lantas soal apa?" tanyanya penasaran karena tebakan yang diyakininya benar justru salah besar. "Soal lelaki berjaket kulit yang selama ini meneror keluarga bos." Robby mengangguk pelan berusaha meyakinkan saat Amran menatapnya lekat. "Kenapa dia? Sudah tertangkap?" Kali ini Robby menggeleng. "Lantas? Lincah sekali dia, bisa-bisanya kamu dan anak buahmu tak mampu menangkapnya setelah sekian lama berusaha mel
Zilva merahasiakan permasalahan Arumi dengan calon suaminya dari Amran. Dia ingin menjaga perasaan sahabatnya, meskipun Amran sedikit tahu tentang kisah percintaan Arumi saat ini. Kisah cinta yang datang dari sebuah perjodohan, sementara Radit belum selesai dengan masa lalunya. "Cantik," puji Amran saat melihat istrinya keluar dari kamar dengan gamis abu-abunya. Rafka dan Amran pun memakai kemeja dengan warna yang sama. "Bukannya dari dulu memang cantik, Mas? Lupa?" Zilva sedikit mencibir saat digoda suaminya. "Nggak lupa dong. Lagipula kalau nggak cantik, mana mungkin jadi istri seorang Amran." "Oo ... jadi, kriteria menjadi istri Amran itu hanya cantik saja?" Zilva melirik malas. "Cantik wajahnya memang banyak, tapi yang cantik wajah dan hatinya itu nggak akan banyak." Amran menarik pelan dagu istrinya lalu mencium kening dan bibirnya."Kalian sudah siap?" Tiba-tiba mama Amran muncul dari ruang tamu. Sepertinya dia baru saja datang bersama Selly dan Ruri. "Astaghfirullah!" pek
"Om Galih ya, Mas?" tanya Zilva setelah Amran mengakhiri panggilan. Laki-laki itu pun mengangguk lalu meletakkan kembali benda pipih kecil berwarna hitam itu ke meja. "Om Galih bilang kalau Lala akan segera bebas sekitar enam bulan lagi." Zilva manggut-manggut. "Lala masih berharap kalau kamu bakal jenguk dia?" tebak Zilva yang tahu apa inti pembicaraan itu. Zilva paham bagaimana keinginan Lala, tapi dia juga mengerti bagaimana keputusan suaminya yang tak ingin berhubungan dengan mantan istrinya itu lagi. "Biar sajalah, Sayang. Makin ribet kalau nanti berurusan dengan dia lagi. Kita nggak tahu apakah tiga tahun penahanannya itu membuatnya benar-benar jera atau justru menimbulkan dendam semakin dalam." "Jenguk saja sekali, Mas. Nggak ada salahnya kan?" bujuk Zilva lagi. Namun, Amran justru hanya membalas dengan hembusan napas kasar lalu menyandarkan punggungnya ke sofa. "Kamu lupa bagaimana sepak terjangnya selama ini? Dia nyaris memisahkan kita dan membuat kita selalu ribut, Saya
"Assalamualaikum. Bagaimana kabarmu, Ran?" Suara dari seberang mengingatkan Amran dengan seseorang yang begitu dia kenal. Amran mengernyit. Dia tak tahu mengapa tiba-tiba laki-laki itu meneleponnya dengan nomor baru. "Wa'alaikumsalam, Pa. Alhamdulillah kabar baik. Papa sama mama gimana?" tanya Amran pada Galih, orang tua Lala yang tak lain mantan istri keduanya. "Alhamdulillah kami baik, Ran." Amran mengucap Hamdallah saat mendengar berita baik itu. "Sudah lama tak kasih kabar, papa hanya mau bilang kalau nomor yang lama hilang. Ini nomor baru papa." "Iya, Pa. Nanti Amran simpan nomornya. Maaf belum bisa jenguk papa dan mama. Akhir-akhir ini cukup banyak masalah dan Amran harus menyelesaikannya satu persatu." Amran menghela napas panjang. Sejak perceraiannya dengan Lala beberapa bulan silam, Amran memang hanya dua atau tiga kali menjenguk mertuanya. Itupun karena mama mertuanya sakit. Setelahnya, dia tak pernah ke sana lagi karena memang banyak masalah yang menimpa keluarganya.
"Fika, sini sama Tante." Zilva menyambut Fika dengan hangat. Gadis cantik itu dititipkan pada Zilva dan Amran selama Prilly masih di klinik. Romi yang bekerja sebagai karyawan swasta tak mungkin bisa menjaga Fika 24 jam. Dia harus bekerja dan menjenguk istrinya. Oleh karena itulah, pilihan terakhir dan terbaik memang menitipkan Fika pada Zilva karena dia yang selalu di rumah. "Tante, maaf kalau Fika ganggu Tante Zilva ya," ucap Fika dengan polosnya. "Nggak ganggu, Sayang. Tante justru senang Fika di sini. Adik Rafka ada yang nemenin main. Iya kan?" Zilva jongkok, mensejajari Fika yang berdiri di depannya. Dia pun tersenyum lalu mengusap puncak kepala Fika yang menatapnya dengan berbinar. "Iya, Tante. Fika mau ajak adik Rafka main," balas Fika sembari berlari kecil ke arah Rafka yang bermain bola di ruang tengah. Zilva dan Amran saling tatap lalu sama-sama tersenyum. Amran merangkul istrinya saat melangkah beriringan mendekati Rafka dan Fika. Mereka membicarakan tentang keadaan Pr
"Gimana keadaan Prilly, Ma?" tanya Amran saat mamanya menjemput di depan pintu utama klinik Amal Sehat. "Alhamdulillah Prilly membaik, Ran. Dia cuma agak trauma saja." Amran menatap mamanya lekat."Trauma gimana, Ma?" lirih Amran sembari melangkah ke kamar inap Prilly. "Dia bilang beberapa kali tak sengaja lihat ada yang mengikutinya. Sebelum ke pasar tadi dia juga sudah lihat laki-laki yang menabraknya itu, tapi Prilly mencoba berbaik sangka. Ternyata, firasatnya memang benar kalau laki-laki itu ingin mencelakainya." Ratna menjelaskan semuanya pada Amran. "Jadi, Prilly memang sengaja ditabrak?" tanya Amran lagi saat berhenti di depan kamar inap Prilly. Ratna pun mengangguk. "Dia kabur setelah melihat Prilly tergeletak di trotoar." "Kurang ajar," gumam Amran begitu geram. Jemari-jemarinya mengepal. Dia tak akan tinggal diam melihat adiknya diperlakukan semena-mena seperti itu. "Sudahlah, Ran. Yang penting sekarang kesembuhan Prilly dulu. Soal pelakunya kita urus belakangan." "N