"Va, cafenya kebakaran?" Mama dan Ruri tiba-tiba muncul di teras rumah dengan tergesa saat aku dan Rafka melihat ikan koi di kolam. "Ya Allah, Va. Kok bisa?" Mama masih saja gugup. Sepuluh hari belakangan mama dan Mbak Selly sedang umrah bersama dan hari ini baru pulang. Aku tak menyangka jika mama buru-buru ke sini untuk melihat keadaanku pasca kebakaran itu terjadi. Mas Amran sengaja tak memberi tahu mama saat di Mekkah, takut mengganggu ibadahnya. Mungkin saat menjemput mama dan Mbak Selly ke bandara tadi dia baru jujur soal cafe itu pada mama. "Padahal mama berdoa supaya kalian selalu bahagia dan usaha-usaha kalian laris dan berkah." Mama tertunduk di kursi teras sembari meletakkan tas kecil dan satu kantong kresek entah isinya apa. Mungkin oleh-oleh yang mama beli dari Tanah Haram sana. Perlahan kugendong Rafka kembali, lalu menyalami mama dan mencium kedua pipinya. Ruri pun mencium punggung tanganku lalu mengajak Rafka ke ruang tengah. Aku duduk di kursi teras sebelah mam
"Ada apa, VA? Siapa yang mengirimi pesan?" Melihat ekspresiku yang terkejut, Mama ikut penasaran dengan pesan yang kini kubaca. Tanpa berkata apapun, aku memperlihatkan pesan dari Mas Amran barusan pada mama. "Tarno? Siapa itu, Va? Mama nggak pernah dengar kalian punya karyawan bernama Tarno." Mama mengernyit sembari berpikir. "Iya, Ma. Dia memang satpam baru yang Mas Amran pekerjakan dua minggu lalu sebelum mama umrah. Sebenarnya Tarno bekerja di bagian kurir atau antar pesanan. Hanya saja Pak Burhan belum pulang karena masih mengurus ibunya yang sakit, makanya sementara waktu kami minta Tarno untuk menggantikan Pak Burhan. Zilva juga tak habis pikir kenapa Mas Amran bilang Tarno terlibat dalam pembakaran cafe itu." Aku kembali beristighfar lalu mengusap wajah pelan. Rasanya seperti mimpi karena mendapatkan kejutan bertubi-tubi. Belum kelar masalah kebakaran cafe, kini kembali dikejutkan soal Tarno yang terlibat dalam insiden itu. Selama ini dia bekerja dengan baik, nyaris tak p
[Jadi, maksud kamu Tarno karyawan baru kita itu terlibat pembakaran cafe kita, Mas?] Meski pesan yang dikirimkan Mas Amran sudah menjurus ke nama itu. Namun, tetap saja aku merasa perlu diyakinkan kembali jika pesan yang Mas Amran kirimkan tak keliru. Laki-laki yang sempat memohon pekerjaan padaku dan Mas Amran untuk biaya berobat sakit kanker ibunya itu memang benar-benar terlibat dalam hancurnya cafe pertama kami. [Iya, Sayang. Dia terlibat, makanya menghilang pasca kebakaran. Ternyata dia memanfaatkan rasa iba dan peduli kita] Kubaca kembali pesan dari Mas Amran. Dari kalimatnya seolah menyesal sudah peduli dan iba dengan Tarno. Semoga saja hanya pada Tarno saja penyesalannya dan tetap peduli dengan yang lainnya. Namanya juga kehidupan, pasti akan ada yang baik dan ada pula yang buruk, ada yang jujur ada yang dusta. Seperti peribahasa air susu dibalas dengan air tuba, ada pula perbuatan baik yang dibalas dengan perbuatan buruk. Mungkin inilah yang terjadi padaku dan Mas Amran s
"Mi ... kamu masih mendengar suaraku kan?" Arumi kembali berdehem. "Memangnya Mas Radit itu pro poligami? Apa dia sengaja memancingmu untuk membahas itu?" Aku kembali bertanya. "Aku nggak tahu dia pro poligami atau nggak, Va. Cuma dia bilang kalau lelaki boleh memiliki istri sampai empat. Itu saja yang dia ucapkan. Kadang keyakinanku luruh saat mengingat ucapannya itu. Aku takut kejadian kamu dan Lala menimpa padaku juga. Apa aku bakal sekuat dan setengah kamu jika itu terjadi?!" Arumi kembali terdiam. Aku tahu saat ini dia kembali bimbang. Saat akan melangkah ke jenjang lebih serius, kebimbangan dan ketakutan itu kadang memang muncul dan tenggelam. Syetan sengaja mengaduk-aduk perasaan calon pengantin agar membatalkan pernikahan dan menjadikan keduanya saling curiga satu sama lain. Namun, jika memang istikharah dilakukan dan mantap dengan orang yang sama, tak perlu ditunda terlalu lama. Pasrahkan dan selimuti dengan doa agar Allah menjaga pasangan-pasangan kita untuk tetap di jal
Aku masih mematung di teras saat tatapanku bertemu dengan lelaki itu. Lagi-lagi pertanyaan itu muncul. Ngapain dia ke sini dengan wajah lusuh seperti itu? "Va, boleh masuk?" Pertanyaannya membuatku terjaga dari lamunan. Sedikit gugup, mau nggak mau aku membuka gerbang sebagian dan membiarkan laki-laki itu duduk di kursi teras. Walau bagaimanapun dia datang sebagai tamu di rumah ini dan aku wajib menghormatinya sekalipun sebenernya enggan. Apalagi ada mama di rumah, aku yakin mama bakal ngamuk kalau tahu mantan menantu yang sempat membuat anak sulungnya depresi itu kini hadir di sini. "Ngobrol sama siapa, Va?" Suara mama membuatku tersentak seketika. Laki-laki yang kini duduk di samping meja sebelahku pun sepertinya terkejut mendengar suara mama dari dalam."Ma-- mama di sini, Va?" tanyanya sedikit terbata. Aku mengangguk pelan, membuat ekspresi lelaki itu semakin menegang. "Mama baru pulang umrah, Mas. Dia langsung ke sini untuk menghiburku karena restoranku ludes kebakaran." Mau
"Pergi kamu dari sini dan jangan pernah ganggu anakku lagi!" sentak mama sembari menunjuk pintu gerbang. Aku beranjak dari kursi lalu mengusap lengan mama perlahan. Jangan sampai mama shock dan hipertensi lagi gara-gara masalah ini. Mas Amran bisa makin pusing jika mama sakit. Dia pasti juga aman emosi saat tahu sakit mama karena kedatangan Mas Emil. Aku tak ingin menambah masalah baru padanya. Dia sudah cukup pusing mengurus masalah restoran yang terbakar. "Istighfar, Ma. Kita dengarkan penjelasan Mas Emil dulu. Sebenarnya dia mau apa," ujarku lirih sembari menenangkan mama yang mulai merah padam. "Buat apa?! Toh selama ini dia nggak pernah mengurusi Nuri. Jangankan datang untuk menjenguk, kasih nafkah saja nggak." Mama berucap sengit. Mas Emil sempat akan menjawab, tapi mama kembali memberondongnya dengan pertanyaan. "Apa? Mau membantah? Selly sekarang kerja kantoran lagi. Dia makin cantik dan punya banyak teman. Dunianya berubah jauh lebih baik dibandingkan saat bersamamu. Jadi
Mama bergeming saat Mas Emil izin mengajak Mbak Selly bertemu dengan istrinya, Ayu. Namun, tak selang lama mama mengangguk. "Terserah Selly saja dia mau atau nggak bertemu dengan istrimu, Mil. Kalau dia mau ya silakan, tapi kalau nggak mau jangan pernah memaksanya." Mas Emil mengangguk lalu menghela napas lega. "Apa Selly sudah punya calon suami lagi, Ma?" Mama menoleh lagi."Ngapain tanya soal begitu? Sudah ada atau belum bukan hak kamu untuk tahu.""Saya tahu, Ma. Cuma kalau sudah ada calon, takutnya dia akan cemburu kalau saya bertemu kembali dengan Selly apalagi mengajaknya pergi bertemu Ayu. Apa sebaiknya saya izin sama calonnya juga?" Mas Emil mendongak, menatap mama beberapa saat. "Mama rasa nggak perlu. Toh kalian nggak ada hubungan apa-apa dan Selly pasti bisa menjelaskan sama calonnya.""Berarti Selly memang sudah punya calon, Ma?" Lagi, pertanyaan yang sama terulang dari bibir Mas Emil. Aku hanya memperhatikan mama dan mantan menantunya itu ngobrol tanpa ikut menyela. "
Aku nggak akan membiarkan Mbak Selly di sini sendirian. Rasanya trauma saat membayangkan kakak iparku itu nyaris bu nuh diri karena kepergian Mas Emil dulu. Kejadian mengerikan itu masih saja terbayang di benakku hingga kini. Meski Mbak Selly telah berubah, tapi kutahu jika luka dan sakit hatinya masih belum sepenuhnya sembuh apalagi saat ini bertemu kembali dengan pemantik luka itu sendiri."Ngapain kamu datang ke sini setelah dua tahun menghilang, hah?!" Mbak Selly meradang. Dia menunjuk Mas Emil dengan garang. "Ada banyak hal yang tak kamu ketahui, Sel." "Memang, Mas. Banyak sekali hal yang nggak aku tahu tentangmu, bahkan saat dulu kamu menyembunyikan istri keduamu." Mbak Selly bersedekap lalu menatap lurus ke depan, tanpa menoleh sedikitpun ke arah mantan suaminya itu. "Maafkan aku, Sel. Tak bermaksud mengkhianatimu, tapi-- "Tapi memang berkhianat. Sudahlah. Tak perlu membahas hal memuakkan itu. Jawab saja pertanyaanku, kenapa baru datang setelah nyaris dua tahun menghilang?