Dua hari Emil berada di Jakarta demi mewujudkan permintaan istrinya. Yunda benar-benar ingin bertemu bahkan sering mengigau nama Selly, makanya mau tak mau Emil berusaha mengabulkan permintaan sang istri yang dia bilang sebagai permintaan terakhirnya.Selama dua hari itu, Emil berusaha keras meyakinkan Selly agar mau ikut dengannya ke kampung halamannya di Jogjakarta. Sebenarnya Emil tak bisa menunggu terlalu lama di kota metropolitan itu karena istri dan anaknya menunggu di rumah. Kedua perempuan yang begitu disayangi Emil itu terpaksa dia titipkan pada tetangga karena nggak mungkin meninggalkan mereka berdua tanpa ada yang menjaganya. Selama di Jakarta, Emil lebih sering menghabiskan waktunya bersama Ruri, anak pertamanya dengan Selly yang kini berusia tujuh tahun. "Pa, kenapa papa baru jenguk Ruri sekarang? Padahal Ruri kangen sekali sama papa." Gadis kecil itu kembali memeluk papanya. Kerinduannya membuncah, Ruri sangat bahagia bisa bertemu dengan sang papa kembali setelah sekia
[Saya tahu dimana Tarno berada] Pesan singkat muncul di layar handphone Amran. Laki-laki itu terkesiap. Gegas meletakkan cangkir kopinya lalu fokus mengamati nomor dan pesan baru yang baru saja terbaca. Tak membalas, Amran masih bergeming di tempatnya. Dia heran kenapa pengirim pesan itu bisa tahu nomor handphonenya. Nomor yang jelas cukup privat dan nggak sembarang orang tahu. "Jangan-jangan dia tahu nomorku dari Tarno dan mereka bersekongkol menjebakku untuk mendapatkan uang." Amran mulai menerka-nerka. Tak lama, senyumnya mengembang seketika. [Dimana dia?]Balasan singkat itu sengaja Amran kirimkan untuk menjebak balik mereka. [Kalau kamu kasih aku tiga puluh juta saja, aku akan memberitahukan keberadaan Tarno padamu. Jika tidak, maaf, aku nggak bisa membantu]Amran hanya tersenyum tipis saat membaca balasan itu. Sebuah balasan yang sudah dia prediksi sebelumnya. Nyatanya benar jika ada udang di balik batu. Ada motif tersendiri dari pengirim pesan misterius itu. [Aku bukan ba
[ingat, jangan pernah lapor polisi jika nggak mau istri dan anak lelakimu kenapa-kenapa! Masukkan uang itu ke kantong kresek hitam dan buang di tong sampah samping apotek Husada. Setelah anak buahku berhasil mengambilnya, aku akan memberitahumu dimana Tarno berada.] Pesan dari nomor tak dikenal itu kembali muncul di WhatsApp Amran. Saat ini, Amran masih mengikuti ancaman laki-laki itu untuk tak lapor polisi, tapi dia memiliki rencana lain untuk menjebak pelakunya. Joko, Burhan dan Roby akan siap membantu. Bahkan Roby meminta dua anak buahnya untuk turut serta. Mereka diam-diam melakukan rencana sesuai perintah Amran untuk mengawasi sekitar apotek Husada. Amran sendiri yang akan ke sana untuk mengirimkan uangnya. Setelah uang diambil anak buah pengancam itu, anak buah Amran akan mengikuti kemanapun pengambil uang itu akan pergi. Dengan begitu, semua akan terbongkar perlahan. Jikalaupun nanti laki-laki pengancam itu ingkar dan tak memberitahu keberadaan Tarno, setidaknya Amran sudah
Suasana terlihat sangat sepi saat Amran sampai di lokasi yang sudah ditentukan, apotek Husada. Kedua matanya sibuk mencari tong sampah yang dimaksud pengirim pesan misterius itu. Sembari menjinjing kantong kresek hitam, Amran mengamati sekitar. Hening. Tak ada seorang pun yang dia temukan di tempat itu. Amran yakin anak buahnya sudah datang dan kini mereka sedang mengawasinya. Tak hanya anak buahnya, mungkin bos dan anak buah pengirim pesan itu pun sudah datang. Hanya saja mereka diam danengawasi Amran dari jauh. Mereka tentu mengantisipasi semuanya. Jika dikira gagal, mereka akan segera pergi tanpa meninggalkan jejak lagi di sana. Di tengah keheningan, Amran sedikit kaget saat handphone di saku celananya bergetar. Tak menunggu lama, dia segera mengambil benda pipih itu dan membaca pesan yang masuk ke WhatsAppnya. [Jangan kebanyakan mikir. Lekas masukkan uang itu ke tong sampah di belakangku dan pergi dari sini secepatnya. Ingat, aku nggak akan memberitahumu soal Tarno jika ada ya
Laki-laki berjaket hitam itu buru-buru melewati jalan-jalan sempit di sana untuk sampai ke basecamp. Dia sengaja jalan kaki agar lebih aman, tak terdengar dan tak terlihat siapapun. Sayangnya, anak buah Amran sudah mengawasinya sejak laki-laki itu belum muncul di depan apotek. Jalanan teramat sepi saat laki-laki misterius itu melangkahkan kaki menuju tempat yang ditentukan bosnya. Sedikit khawatir dan merasa diikuti, dia sering menghentikan langkah lalu menoleh ke kanan, kiri dan ke belakang. Perasaannya tak tenang dan merasa benar-benar diawasi segala gerak-geriknya. Namun, tiap kali menoleh suasana tetap sama. Hening. Hanya terdengar deru kendaraan di kejauhan karena kini dia mulai masuk ke gang-gang sempit yang tak cukup dilewati mobil. "Sial! Kaya ada yang mengawasiku!" gumamnya sembari mempercepat langkah. Mendadak dia punya ide untuk bersembunyi di belakang tembok. Sengaja ingin memergoki siapapun yang mengikutinya. Cukup lama laki-laki itu diam. Tak selang lama, muncul seor
[Anak buahnya sudah mengambil uang itu kan? Sekarang di mana Tarno? Jangan ingkar janji atau kamu juga akan kujebloskan ke penjara karena sudah menipuku!] Amran mengirimkan pesan ancaman itu pada orang yang sudah meminta uang tiga puluh juta padanya. Cukup lama menunggu, tak ada balasan apapun yang dia terima. Amran mulai gelisah. Dia cemas jika orang itu benar-benar menipunya. Namun, pesan dari Joko membuatnya sedikit lega. [Bos, mereka sudah berkumpul di basecamp. Alamatnya aku share ya. Di dalam perkampungan agak kumuh. Kalau mau ke sini pakai motor saja, Bos. Mobil nggak bisa lewat. Sekarang kami harus ngapain, Bos?] Joko, satpam di cafe Amran yang terbakar itu memang ikut bergabung dalam misi ini. Dia berpencar dengan Roby dan dua anak buahnya, sementara Burhan kini bersama Amran. Mereka masih menunggu di taman yang tak jauh dari apotek Husada. Sengaja menunggu kabar dari mereka yang masih mengikuti jejak lelaki berjaket hitam itu sampai basecampnya. Amran berpikir, dengan me
[Kami bertiga aman, Bos. Mereka semua masih di dalam. Mungkin masih pesta pora atau pembagian uang saku. Kenapa, Bos? Sudah dapat alamat Tarno?] Tak selang lama pesan dari Roby membuat Amran menghela napas panjang. Lega karena semua membalas hal yang sama. Aman. Satu kata yang dia harapkan detik ini. [Sudah, By. Ini otw sama Pak Burhan. Jalan Ahmad Dahlan nomor 62, katanya. Kalian tunggu di sana. Kalau sampai alamat itu zonk, aku akan minta tolong Boim untuk ke basecamp mereka. Biar saja mereka semua meringkuk di hotel prodeo!] Balasan dari Amran terkirim. Roby setuju dengan rencana yang Amran kirimkan. Tangan kanan Amran itu akan tetap di basecamp mereka sampai ada perintah Amran selanjutnya. "Sudah sampai jalan Ahmad Dahlan, Mas," ujar Burhan setelah membelokkan mobilnya. Amran memasukkan handphonenya kembali ke saku jaket lalu mengamati rumah sekitar. Perumahan sederhana itu tampak rapi. Suasana tak terlalu hening, mungkin karena menjelang subuh. Jadi, sebagian dari mereka sud
"Jangan bergerak!" Boim dan beberapa anak buahnya melakukan penggrebekan di basecamp para pemabuk dan penipu Amran itu. Mereka kocar-kacir sampai ada yang menabrak pintu kamar segala. Namun, sekuat apapun keinginan untuk kabur, tak bisa terlaksana karena rumah sederhana itu sudah dikepung. Mereka semua terperangkap di tempat yang sama. Anak buah Amran ikut membantu menjegal mereka satu persatu lalu Boim memberikan borgol untuk mengamankan para pelaku. Ada enam orang yang tertangkap. Permainan judi, minuman keras dan uang dari Amran yang sudah berceceran di sana-sini menjadi bukti kejahatan mereka. Sekaligus untuk menjerat mereka di pengadilan. "Kamu!" sentak salah seorang lelaki saat Amran muncul dari belakang deretan polisi. Amran tersenyum sinis. Dia tak mengenali laki-laki itu, tapi sebaliknya, laki-laki itu cukup mengenal Amran. Dia benar-benar tak menyangka jika Amran akan menjebaknya dengan cara seperti ini. Rupanya ancamannya selama ini tak membuahkan hasil. "Kenapa? Kaget