[ingat, jangan pernah lapor polisi jika nggak mau istri dan anak lelakimu kenapa-kenapa! Masukkan uang itu ke kantong kresek hitam dan buang di tong sampah samping apotek Husada. Setelah anak buahku berhasil mengambilnya, aku akan memberitahumu dimana Tarno berada.] Pesan dari nomor tak dikenal itu kembali muncul di WhatsApp Amran. Saat ini, Amran masih mengikuti ancaman laki-laki itu untuk tak lapor polisi, tapi dia memiliki rencana lain untuk menjebak pelakunya. Joko, Burhan dan Roby akan siap membantu. Bahkan Roby meminta dua anak buahnya untuk turut serta. Mereka diam-diam melakukan rencana sesuai perintah Amran untuk mengawasi sekitar apotek Husada. Amran sendiri yang akan ke sana untuk mengirimkan uangnya. Setelah uang diambil anak buah pengancam itu, anak buah Amran akan mengikuti kemanapun pengambil uang itu akan pergi. Dengan begitu, semua akan terbongkar perlahan. Jikalaupun nanti laki-laki pengancam itu ingkar dan tak memberitahu keberadaan Tarno, setidaknya Amran sudah
Suasana terlihat sangat sepi saat Amran sampai di lokasi yang sudah ditentukan, apotek Husada. Kedua matanya sibuk mencari tong sampah yang dimaksud pengirim pesan misterius itu. Sembari menjinjing kantong kresek hitam, Amran mengamati sekitar. Hening. Tak ada seorang pun yang dia temukan di tempat itu. Amran yakin anak buahnya sudah datang dan kini mereka sedang mengawasinya. Tak hanya anak buahnya, mungkin bos dan anak buah pengirim pesan itu pun sudah datang. Hanya saja mereka diam danengawasi Amran dari jauh. Mereka tentu mengantisipasi semuanya. Jika dikira gagal, mereka akan segera pergi tanpa meninggalkan jejak lagi di sana. Di tengah keheningan, Amran sedikit kaget saat handphone di saku celananya bergetar. Tak menunggu lama, dia segera mengambil benda pipih itu dan membaca pesan yang masuk ke WhatsAppnya. [Jangan kebanyakan mikir. Lekas masukkan uang itu ke tong sampah di belakangku dan pergi dari sini secepatnya. Ingat, aku nggak akan memberitahumu soal Tarno jika ada ya
Laki-laki berjaket hitam itu buru-buru melewati jalan-jalan sempit di sana untuk sampai ke basecamp. Dia sengaja jalan kaki agar lebih aman, tak terdengar dan tak terlihat siapapun. Sayangnya, anak buah Amran sudah mengawasinya sejak laki-laki itu belum muncul di depan apotek. Jalanan teramat sepi saat laki-laki misterius itu melangkahkan kaki menuju tempat yang ditentukan bosnya. Sedikit khawatir dan merasa diikuti, dia sering menghentikan langkah lalu menoleh ke kanan, kiri dan ke belakang. Perasaannya tak tenang dan merasa benar-benar diawasi segala gerak-geriknya. Namun, tiap kali menoleh suasana tetap sama. Hening. Hanya terdengar deru kendaraan di kejauhan karena kini dia mulai masuk ke gang-gang sempit yang tak cukup dilewati mobil. "Sial! Kaya ada yang mengawasiku!" gumamnya sembari mempercepat langkah. Mendadak dia punya ide untuk bersembunyi di belakang tembok. Sengaja ingin memergoki siapapun yang mengikutinya. Cukup lama laki-laki itu diam. Tak selang lama, muncul seor
[Anak buahnya sudah mengambil uang itu kan? Sekarang di mana Tarno? Jangan ingkar janji atau kamu juga akan kujebloskan ke penjara karena sudah menipuku!] Amran mengirimkan pesan ancaman itu pada orang yang sudah meminta uang tiga puluh juta padanya. Cukup lama menunggu, tak ada balasan apapun yang dia terima. Amran mulai gelisah. Dia cemas jika orang itu benar-benar menipunya. Namun, pesan dari Joko membuatnya sedikit lega. [Bos, mereka sudah berkumpul di basecamp. Alamatnya aku share ya. Di dalam perkampungan agak kumuh. Kalau mau ke sini pakai motor saja, Bos. Mobil nggak bisa lewat. Sekarang kami harus ngapain, Bos?] Joko, satpam di cafe Amran yang terbakar itu memang ikut bergabung dalam misi ini. Dia berpencar dengan Roby dan dua anak buahnya, sementara Burhan kini bersama Amran. Mereka masih menunggu di taman yang tak jauh dari apotek Husada. Sengaja menunggu kabar dari mereka yang masih mengikuti jejak lelaki berjaket hitam itu sampai basecampnya. Amran berpikir, dengan me
[Kami bertiga aman, Bos. Mereka semua masih di dalam. Mungkin masih pesta pora atau pembagian uang saku. Kenapa, Bos? Sudah dapat alamat Tarno?] Tak selang lama pesan dari Roby membuat Amran menghela napas panjang. Lega karena semua membalas hal yang sama. Aman. Satu kata yang dia harapkan detik ini. [Sudah, By. Ini otw sama Pak Burhan. Jalan Ahmad Dahlan nomor 62, katanya. Kalian tunggu di sana. Kalau sampai alamat itu zonk, aku akan minta tolong Boim untuk ke basecamp mereka. Biar saja mereka semua meringkuk di hotel prodeo!] Balasan dari Amran terkirim. Roby setuju dengan rencana yang Amran kirimkan. Tangan kanan Amran itu akan tetap di basecamp mereka sampai ada perintah Amran selanjutnya. "Sudah sampai jalan Ahmad Dahlan, Mas," ujar Burhan setelah membelokkan mobilnya. Amran memasukkan handphonenya kembali ke saku jaket lalu mengamati rumah sekitar. Perumahan sederhana itu tampak rapi. Suasana tak terlalu hening, mungkin karena menjelang subuh. Jadi, sebagian dari mereka sud
"Jangan bergerak!" Boim dan beberapa anak buahnya melakukan penggrebekan di basecamp para pemabuk dan penipu Amran itu. Mereka kocar-kacir sampai ada yang menabrak pintu kamar segala. Namun, sekuat apapun keinginan untuk kabur, tak bisa terlaksana karena rumah sederhana itu sudah dikepung. Mereka semua terperangkap di tempat yang sama. Anak buah Amran ikut membantu menjegal mereka satu persatu lalu Boim memberikan borgol untuk mengamankan para pelaku. Ada enam orang yang tertangkap. Permainan judi, minuman keras dan uang dari Amran yang sudah berceceran di sana-sini menjadi bukti kejahatan mereka. Sekaligus untuk menjerat mereka di pengadilan. "Kamu!" sentak salah seorang lelaki saat Amran muncul dari belakang deretan polisi. Amran tersenyum sinis. Dia tak mengenali laki-laki itu, tapi sebaliknya, laki-laki itu cukup mengenal Amran. Dia benar-benar tak menyangka jika Amran akan menjebaknya dengan cara seperti ini. Rupanya ancamannya selama ini tak membuahkan hasil. "Kenapa? Kaget
"Mas, Mbak Selly sama Ruri akhirnya mau ketemu istrinya Mas Emil. Mbak Selly sudah cek rekeningnya yang lama, ternyata memang benar kalau selama ini Mas Emil kirim uang bulanan buat Ruri. Mungkin karena itu pula Mbak Selly sedikit luluh. Setidaknya, Mas Emil nggak seburuk yang dia kira." Zilva memijit kaki Amran yang pegal-pegal sembari menceritakan kakak iparnya. Selly memang ikut bersama Emil ke kampung halamannya. Dia tak tega melihat Yunda yang begitu mengharapkan kedatangannya. Walau bagaimanapun, Selly sadar jika semua sakit yang dialaminya selama ini karena keegoisannya sendiri. Cinta butanya pada Emil membuatnya salah langkah dan menghalalkan segala cara. Namun, selama ini pula dia gengsi untuk mengakui kesalahannya sendiri. Selly merasa paling tersakiti, padahal Emil dan Yunda pun mengalami sakit yang sama. Saat cinta mereka tumbuh bahkan rencana menikah sudah tercipta, mereka terpaksa berpisah karena sandiwara palsu Selly untuk menjebak Emil sebagai suaminya. "Syukurlah,
"Deswita itu siapa, Mas? Kenapa dia sepertinya tahu banyak tentang kamu?" ulang Zilva membuat Amran kembali mengerjapkan kedua matanya. Amran mengernyit lalu bergeming. Dia masih berpikir dan benar-benar belum mengingat siapa yang dimaksud Zilva hingga membuat istrinya cemberut dan mencebik kesal. "Siapa sih, Sayang? Beneran nggak ingat? Apa dia karyawan di cafe kita?" tanya Amran sembari menatap lekat istrinya. "Mana ada karyawan kita yang bernama Zilva, Mas. Kamu ini aneh-aneh saja." Zilva mulai mengomel karena ingatan suaminya cukup payah menurutnya. "Beneran nggak ingat, Zilva Sayang. Biasanya kalau namanya tak kuingat itu berarti nggak terlalu penting untuk hidupku. Ngapain kamu cemberut begitu? Cemburu?" goda Amran sembari mencolek dagu Zilva yang terus bersungut kesal. "Dia paham kamu banget kok, Mas. Masa iya nggak kenal dan nggak ingat.""Memangnya kamu ketemu dia dimana, Sayang?" tanya Amran masih dengan lembut dan sabar. Dia berusaha tak terpancing emosi istrinya. "Ak