"Kenapa kamu diam saja, Sel? Masih marah atau kesal karena masa lalu kita yang terlalu rumit?" tanya Emil saat dalam perjalanan menuju tempat tinggalnya di Jogjakarta. "Marah atau kesal juga nggak ada guna. Aku cuma berharap pertemuan ini semakin cepat dan usai." Selly membalas sekenanya sembari mengusap pelan Ruri yang terlelap di pangkuannya. "Maafkan aku karena sudah membuatmu sakit hati." Kata-kata itu terdengar kembali dan Selly hanya membalas dengan helaan napas. Tatapannya ke luar jendela bus yang kini ditumpanginya. Selly malas ngobrol lebih jauh dengan mantan suaminya itu, apalagi tentang masa lalu mereka. "Ayunda pasti senang sekali melihat kedatanganmu bersama Ruri. Sejak pagi dia menelepon dan menanyakan jawabanmu." Tak ada balasan, Selly tetap fokus dengan pemandangan yang menyejukkan matanya. "Ada banyak hal yang ingin diceritakannya padamu, Sel." Lagi-lagi Selly hanya diam lalu menoleh sekilas. "Aku malas membahas masa lalu." Selly berujar lirih. "Bukan mas
"Itu rumah kami," tunjuk Emil pada Selly yang baru turun dari taksi. Rumah minimalis dengan warna abu muda itu terlihat asri dengan beberapa tanaman menghiasi halaman kecilnya. Selly mengangguk lalu membantu Ruri mengambil ranselnya. "Itu rumah papa dan Tante Yunda?" tanya Ruri kemudian. Gadis kecil itu nggak mau memanggil bunda sekalipun Emil sudah mengajarinya berulang kali. Dia tetap senang dengan sebutan Tante untuk istri kedua papanya itu. Selly tak pernah mengajari hal-hal buruk pada anaknya sekalipun sakit di dadanya masih jelas terasa, tapi Ruri memiliki keputusan sendiri yang tak bisa dipaksa oleh siapapun, termasuk papanya. "Kalau di rumah papa, Ruri juga tetap nggak mau memanggil bunda?" tanya Emil saat itu dengan senyum tipisnya. Namun, Ruri menatap lekat papanya yang masih begitu berharap jika Ruri bisa memanggil bunda pada Yunda. Bukan tanpa alasan harapan itu muncul, sebab Yunda merasa bahagia jika kehadirannya bisa diterima oleh Selly dan anak semata wayangnya
"Aku di sini." Hanya itu ucapan Selly saat muncul di ambang pintu rumah sederhana itu. Yunda tersenyum. Saat menatap sahabatnya itu, ada rasa sesak dalam hati Selly. Benar yang diucapkan Emil, Yunda yang sekarang memang sangat berbeda dengan Yunda yang dikenal Selly dulu. Tubuh kurus dan sedikit berkeriput makin membuatnya terlihat berbeda. "Kamu pasti kaget kan, Sel? Nggak menyangka kalau aku seperti ini?" Ada tawa mengejek yang terlukis di bibir Yunda. Dia sedang menertawakan dirinya sendiri justru membuat batin Selly terasa perih. Walau bagaimanapun, Yunda pernah menjadi tempatnya bercerita dan berkeluh kesah, tempatnya mencari tawa dan bahagia saat mendapatkan masalah di rumah. Yunda pernah menjadi bagian dari hari-harinya yang membahagiakan. Dulu, iya dulu. Sebelum semuanya hancur berantakan karena pengkhianatan Selly sendiri. Argh! Mengingat semua itu Selly merasa malu, tapi tiap kali mengingat Yunda berhasil merebut Emil kembali, membuat Selly tersulut emosi lagi dan lagi.
"Maafkan aku, Sel," lirih Yunda di pundak sahabatnya. Selly menggeleng cepat. "Bukan kamu yang seharusnya minta maaf, Yun, tapi aku. Aku yang terlalu banyak salah sama kamu. Aku yang ambisius tiap kali menginginkan sesuatu. Aku yang nggak pernah mau mengalah. Aku yang egois dan mau menang sendiri. Aku yang nggak peduli dengan perasaan orang lain yang penting aku sendiri bahagia. Aku yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan sesuatu yang kusuka. Maafkan aku, Yun. Aku memang senorak itu dulu," ujar Selly di sela isak yang sedari tadi ditahannya setengah mati."Kamu nggak seburuk itu, Sel. Kamu tetap menjadi sahabat terbaikku. Cuma kamu sahabat yang kupunya selama ini. Kamu tahu itu. Sekalipun ada masalah di antara kita, aku tetap tak bisa membencimu sepenuhnya. Hanya kecewa saja sampai akhirnya aku sadar jika pernikahanmu dengan Mas Emil waktu itu bagian dari takdirmu. Kini, barulah aku merasakan takdirku." Yunda mencoba tersenyum meski setengah terpaksa. Perlahan Selly menyeka k
"Jadi apa, Yun?" ulang Selly dengan perasaan was-was. "Maukah kamu menjadi maduku?" tanya Yunda dengan senyum tipisnya. Namun, Selly melihat mendung di wajahnya. Selly tak tahu kenapa Yunda bisa bicara seperti itu. Dia mulai penasaran apa yang sebenarnya terjadi. Berbagai pertanyaan kembali lalu lalang di benaknya. Kamu kenapa, Yunda? Mungkinkah kamu sakit parah? Apakah ini firasat kecil karena kamu akan pergi selamanya? Apa kamu ingin melihatku bahagia bersama lelaki yang sempat begitu kucintai? Apa kamu ingin melihat Mas Emil mendapatkan perhatian lebih dari seorang istri yang selama setahun belakangan tak bisa dia dapatkan darimu? Apakah kamu merasa bersalah sudah menikungku dari belakang? Selly memijit kening. Dia benar-benar tak mengerti dengan cara berpikir sahabatnya saat ini. "Sel ...." Yunda mengusap lengan Selly pelan saat melihatnya begitu pusing setelah mendengarkan pertanyaannya. "Iya, Yun." Selly menoleh, menatap wajah Yunda yang mendung lalu menghela napas panjang.
"Mas Amran gimana keadaannya, By?" Zilva begitu gugup saat mendengar kabar duka itu dari Roby, tangan kanan suaminya. Roby dan Amran memang tak sengaja melihat Tarno di sebuah cafe saat mereka berdua makan siang di tempat yang sama. Meski Tarno memakai topi dan masker, tapi saat mau makan dia melepas maskernya. Saat itulah Amran dan Roby melihat sosok Tarno yang sedikit gugup saat menikmati hidangannya. Amran buru-buru beranjak dari kursinya, diikuti Roby yang ikut gugup melihat atasannya pergi. Tarno yang cukup cerdik dan tahu jika kehadirannya begitu diharapkan pun lekas beranjak dari kursi dan melompat keluar cafe. Dia sengaja berlari ke perkampungan agar Amran dan Roby kesulitan mendapatkan jejaknya. Saat fokus mengejar Tarno itulah Amran tertabrak mobil yang melaju cukup kencang. Roby sempat berteriak mengingatkan, tapi naas kejadian itu terjadi cukup cepat. Amran terguling ke jalan dengan darah berceceran dan pingsan. Dengan cekatan Roby dibantu beberapa warga menolong Amran
Di ruangan itu, Zilva tergugu melihat suaminya yang terbaring lemah di atas ranjang dengan mata terpejam. Amran masih sangat lemah. Dia belum membuka matanya saat Zilva dan mamanya datang. Ratna kembali mengusap-usap lengan Zilva untuk menguatkan dan menenangkan. Dia tahu jika menantunya begitu terpukul melihat keadaan Amran yang jelas tak baik-baik saja, meskipun sudah melewati masa kritisnya. "Kamu yang tenang, Zilva. Ingat pesan dokter tadi kan? Amran sudah membaik dan sudah melewati masa kritisnya. Jadi, kamu tak perlu terlalu risau. InsyaAllah sebentar lagi dia akan sadar dan bisa ngobrol banyak dengan kita." Ratna menitikkan air mata sekalipun bibirnya berusaha menguatkan suaminya. Melihat anak lelakinya terbaring lemah seperti itu, Ratna mulai membayangkan kenangan pahit saat suaminya pergi meninggalkannya beberapa tahun silam. Laki-laki itu dirawat beberapa hari sebelum akhirnya pergi untuk selamanya. Kepergian yang membuat Ratna cukup terpuruk beberapa bulan karena masih t
[Bu, Tarno sudah tertangkap. Sekarang diamankan di kantor polisi. Pak Boim yang mengurus semuanya. Ibu tenang saja, biar saya yang urus masalah ini. Ibu fokus pada kesembuhan Pak Amran saja] Pesan dari Roby membuat Zilva teramat lega. Akhirnya pelaku pembakaran restorannya tertangkap. Setelah sekian lama bersembunyi dan cukup licin, laki-laki itu tak bisa berkutik juga. Zilva mengucapkan terima kasih pada Roby dan Boim karena sudah membantunya menemukan biang kerok itu. Zilva yakin kabar terbaru ini pasti akan membuat Amran lega juga. Harapannya, semoga Amran fokus untuk sembuh dan tak lagi memusingkan masalah kebakaran tempo hari. Yang penting pelakunya tertangkap dan diberikan hukuman seadil-adilnya. Lagipula, keadaan tak mungkin bisa dikembalikan seperti semula. Amran hanya ingin membuat pelakunya jera dan tak seenaknya lagi setelah membuat kerugian ratusan juta padanya. Setelah melaksanakan shalat ashar, Zilva segera kembali ke kamar Amran. Tak lupa membawakan biskuit yang di