"Ohya, May. Gimana kabar suaminya Wita? Masih di luar atau dia ikut balik ke sini?" tanya Ratna mengalihkan pembicaraan. Dia tahu kalau Zilva masih cemburu melihat keakraban Deswita dan Amran. "Mereka sudah berpisah tiga bulan lalu, Rat. Lelaki temperamental seperti dia memang seharusnya didepak sejak lama. Dia tak pantas dijadikan suami, tapi tukang pukul. Hancur badan Wita tiap kali bertengkar dengannya. Wita saja yang masih sabar menghadapinya selama ini. Kalau aku nggak nyusul dia ke London, mana mungkin mereka berpisah, Rat," lirih Mayang sembari menghela napas panjang. Ratna dan Amran cukup kaget mendengar cerita itu. Merek atak menyangka jika WITA dan suaminya sudah berpisah padahal belum genap setahun mereka menikah karena perjodohan. "Salah papanya juga maksa dia nikah sama Elang. Padahal Wita dari awal nggak setuju," ucap Mayang lagi disertai anggukan Wita yang kini duduk di samping mamanya. "Iya karena Wita masih berharap pada teman SMAnya itu," lirih Mayang dengan seny
"Poligami?" tanya Amran cukup kaget mendengar pertanyaan yang tak pernah disangkanya itu. Deswita tersenyum tipis lalu mengangguk pelan. "Mas Amran kan sudah mapan, bertanggungjawab dan paham agama juga, tentu nggak masalah jika memiliki istri dua bulan?" tanya Deswita lagi sembari melirik mamanya yang menggeleng pelan. Namun, perempuan itu tak peduli. Dia masih tetap berusaha mendapatkan yang seharusnya dia miliki. Lelaki yang dulu begitu dicintainya, tapi terpaksa terpisah karena berlawanan arah. Kini, Deswita merasa jika dia memang dijodohkan dengan Amran. Buktinya, pernikahannya dengan Elang berantakan dan kini dia kembali dipertemukan dengan cinta pertamanya. Wita tak ingin membuang kesempatan itu karena tak akan datang untuk kedua ataupun ketiga kalinya."Aku sudah pernah berpoligami, tapi gagal. Jadi, sudah kuputuskan tak akan mengulanginya lagi. Bagiku, Zilva sudah lebih dari cukup. Satu saja. Tak ingin lagi membagi cinta pada yang lainnya," balas Amran sembari menggenggam
Tiga hari dirawat, Amran sudah diizinkan pulang. Kondisinya mulai membaik meski harus memakai kruk untuk menopang tubuh karena kaki kanannya belum bisa digunakan secara normal. Semua itu memang cukup menghalangi aktivitasnya. Meski begitu, dia tetap berusaha aktif dalam banyak hal dan tak mau berpangku tangan. "Teman kecilmu itu nyebelin ya, Mas. Awas aja kalau dia bikin gara-gara lagi. Aku nggak akan tinggal diam. Biar saja dikatakan jutek dan sinis, aku bakal bikin dia pucat pasi," ucap Zilva saat menyiapkan sarapan bubur ayam di meja makan.Amran memang minta dibuatkan bubur oleh istrinya. Dia bilang rindu masakan Zilva karena beberapa hari belakangan memang sibuk di luar apalagi tiga hari ini masuk rumah sakit. Amran tak bisa leluasa makan di rumah bersama istri dan anaknya. "Kamu cemburu, Dek?" tanya Amran dengan senyum tipisnya. Zilva tak menoleh. Dia hanya mencibir kecil mendengar pertanyaan suaminya. "Masih cemburu sama dia? Padahal jawaban kamu saat di rumah sakit tadi cuk
"Assalamualaikum, Mas Amran. Sudah sarapan belum? Pasti belum sarapan kan? Aku kirimin pizza buat kamu, Mas," ucap perempuan genit itu dengan suara yang sengaja dibuat-buat. Zilva bergidik ngeri mendengar suaranya yang mendesah-desah dan menjijikkan itu. Benar-benar nggak tahu malu. "Wa'alaikumsalam. Maaf ya, Mbak. Mas Amran sudah sarapan. Istrinya selalu menyiapkan sarapan setiap pagi. Dia itu pintar memasak dan tak pernah bosan menghidangkan masakan favorit suaminya. Jadi, mbak nggak perlu repot-repot kirimin ini itu. Lebih baik kirimkan saja ke tukang ojek yang mangkal di depan gang. InsyaAllah banyak yang mau dan nggak akan mubadzir. Kalau bisa jangan cuma satu porsi, lebih banyak lebih bagus anggap sedekah pagi," cerocos Zilva. Dia berusaha menahan emosinya dan bicara dengan volume seperti biasanya. Namun, Amran tahu jika saat ini istrinya begitu kesal dan cemburu. Dia hanya manggut-manggut sembari menahan tawanya. "Ishhh. Istri lancang. Ini kan handphone Mas Amran. Bisa-bisanya
Deswita membalikkan badan. Namun, dia cukup kaget saat mamanya sudah ada di belakang entah sejak kapan. Mimik wajah Deswita berubah seketika. Dia takut jika mamanya mendengar apa yang diucapkannya barusan. Wita tahu jika kedua orang tuanya sangat membenci kekerasan. Wita yakin jika papa dan mamanya tahu soal keinginannya merebut Amran dari Zilva, mereka pasti melarang bahkan akan memberinya ceramah berjilid-jilid. Namun, Wita terlanjur mencintai Amran dan dia tak rela melihat perempuan lain bahagia bersamanya. Wita masih tetap menganggap jika posisi Zilva seharusnya miliknya. Tak ada seorang pun yang berhak mendampingi Amran selain dirinya. Wita seambisius itu. Karakternya benar-benar mirip Lala. Hanya saja, Deswita lebih keras dan nekat saat menginginkan sesuatu. Dia juga sama saja, tak peduli halal haram yang penting bisa mendapatkan apa yang dia inginkan. "Kamu ngomong apa tadi, Wit?" tanya Mayang sembari melipat tangan ke dada. Mayang tak begitu jelas mendengar ucapan anak sem
"Roby sama Pak Boim sudah urus Tarno, Mas. Mereka sudah berhasil membawa Tarno ke kantor polisi dan siap menjebloskannya ke penjara jika terbukti bersalah. Nah, sekarang perkembangannya bagaimana? Bagaimana kesaksian Tarno saat di pengadilan siang tadi?" tanya Zilva saat menghidangkan teh hangat dan roti bakar untuk suaminya di teras belakang. Amran yang masih membaca koran hari ini pun menoleh seketika. Dia menutup bacaannya lalu meletakkan kembali ke tempat asal saat Zilva duduk di sampingnya. Mereka bersisian, hanya terhalang meja rotan berwarna bulat tempat untuk meletakkan hidangan. "Alhamdulillah sudah diurus Pak Anwar, pengacara kita. Dalam sidang hari ini Tarno bilang kalau dia hanya menjalankan tugas dari bosnya, Sayang. Nah, bosnya inilah yang meminta dia untuk membakar cafe kita. Aku juga tak menyangka jika dia pelakunya," ucap Amran lirih. Laki-laki itu kembali menoleh pada Zilva lalu menyeruput teh hangatnya. "Dia siapa sih, Mas? Apa kamu mengenalnya?" tanya Zilva lagi
Bakda isya dua lelaki yang sudah ditunggu Amran akhirnya datang. Anwar dan Roby berjalan beriringan memasuki halaman rumah itu lalu mengucap salam setelah sampai di depan pintu utama. Amran yang masih menyeruput teh dengan camilan roti panggang sebagai pelengkapnya pun terdiam sejenak lalu mengambil kruk di samping sofa. Perlahan memakai dua kruk di bawah ketiaknya sebelum melangkah ke pintu. Kakinya belum normal pasca kecelakaan saat mengejar Tarno tempo hari. Meski begitu, Amran tak menyerah. Setiap ada waktu dia selalu belajar agar bisa jalan dengan normal seperti sebelumnya. Amran tak putus asa karena yakin semua akan kembali normal jika dia mau berusaha. Kekurangannya saat inipun tak terlalu mengganggu aktivitasnya. Meski ada banyak hal yang tak bisa dilakukannya sendiri, tapi Amran tetap berusaha menjadi sosok laki-laki yang tanggungjawab pada keluarga untuk mencari nafkah. Dia mengurus bisnis cafe barunya dari rumah. Sesekali datang ke cafe diantar sopir pribadinya. "Gimana
Amran sangat terkejut saat melihat Selly dan seorang laki-laki yang tak dikenalnya bertamu malam-malam begini. Amran tak menyangka jika kakaknya yang sempat depresi bahkan nyaris bunuh diri saat ditinggalkan Emil waktu itu, ternyata kini benar-benar sudah move on. Amran cukup senang melihat sikap kakaknya yang jauh lebih baik dan bahagia setelah sadar jika jodoh tak bisa dipaksa. Selly mulai membuka hati dan menemukan cinta yang baru. Dia tak ingin mengganggu rumah tangga Emil dan Ayunda. Dia sudah mengikhlaskan semuanya bahkan kini justru berdoa agar Ayunda lekas sembuh dan bisa menjadi istri idaman suaminya. Selly tak ingin menyimpan dendam semakin lama dan dalam. Dia juga ingin bahagia dengan hidup dan cinta barunya, tanpa terus disesaki kenangan bersama Emil yang cukup menyakitkan baginya. Sejak pertemuannya dengan Ayunda di Jogja dengan segala keterbatasannya, Selly semakin mensyukuri kehidupannya selama ini. Dia sadar ada banyak cinta yang dia dapatkan meski bukan dari mantan