"Assalamualaikum, Jeng Ratna. Gimana kabarnya?" Ratna, mamanya Amran menerima panggilan telepon. "Wa'alaikumsalam, Jeng Mayang. Alhamdulillah kabar saya dan keluarga baik. Kabar Jeng May sama Wita bagaimana?" balas Ratna dengan senyum tipis. Ternyata yang menelepon saat ini adalah Mayang, mamanya Deswita. Wanita paruh baya itupun gegas mencuci tangan di wastafel. Suara Mayang terdengar cukup keras saat loud speaker di handphone Ratna diaktifkan. "Alhamdulillah kami juga baik, Jeng. Kebetulan Wita sama suaminya baru pulang dari Singapure. Mereka bawa oleh-oleh lumayan banyak, sudah dibagi-bagi ke tetangga. Tadi pagi kami ke rumah Jeng Ratna, sayangnya nggak ada di rumah. Memangnya Jeng Ratna sekeluarga ke mana?" tanya Mayang perlahan. "Oh iya, Jeng. Sejak kemarin kami memang pergi hajatan ke rumah saudara. InsyaAllah sore nanti pulang, sengaja menginap semalam di sini. Wita baru pulang honeymoon ya, Jeng?" balas Ratna lagi. "Benar, Jeng. Mereka baru pulang honeymoon di Singapure.
"Aku nggak mandul, Mas. Kenapa kamu bersikeras menikah lagi?" tanyanya seminggu yang lalu saat aku izin untuk menikah dengan Lala. Aku memang sengaja izin padanya untuk menghindari segala resiko yang akan terjadi di kemudian hari. Padahal jika aku mau, tak ada kewajiban seorang suami untuk izin pada istri pertamanya jika ingin menikah lagi bukan? Yang penting siap berlaku adil soal waktu dan materi, tak terkecuali tentang cinta.Namun, aku memilih mengambil resiko terkecil dengan meminta izin Zilva, istri pertamaku. Aku tahu dia akan menuruti keinginanku untuk menikah lagi, sebab cintanya padaku terlampau besar. Apalagi saat ini dia tak memiliki siapa-siapa selain aku dan keluargaku tentunya. Ibu angkatnya telah tiada setahun lalu, menyusul bapak angkat yang dipanggil Allah lebih dulu. Sementara sanak saudara dia tak punya. "Aku tahu, Sayang. Kamu memang tak mandul. Kita sama-sama subur, tapi-- "Tapi apa, Mas?" tanyanya lagi dengan ekspresi begitu cemas. Telapak tangannya sangat di
"Rumah, cafe dan mobil itu harus atas namamu? Yang benar saja dong, Sayang. Masa isi perjanjiannya seperti ini?" Aku membulatkan mata saat membaca inti dari surat perjanjian yang disodorkan Zilva. Betapa tidak? Semua aset yang kupunya harus atas namanya, padahal selama ini justru dialah yang meminta untuk menuliskan namaku saja. Zilva terlalu penurut bahkan dia tak pernah menolak apapun yang kuperintahkan asalkan tak melanggar aturanNya. Oleh karena itulah aku sangat mencintainya dan tak rela ada lelaki lain yang dekat dengannya. Keputusanku untuk memintanya keluar dari pekerjaannya dulu kurasa adalah hal yang tepat. Mata lelaki di luar sana terlalu berbahaya untuk seorang Zilva yang cantik, pintar dan energik. Namun, sebagai anak lelaki satu-satunya aku tak bisa menolak permintaan mama begitu saja. Apalagi aku menyadari jika Zilva belum bisa menghadirkan buah hati seperti permintaan mama selama ini. Dua tahun memang waktu yang singkat bagiku, masih ada banyak waktu untuk mencoba
"Kamu yakin dengan keputusan ini, Mas? Yakin lebih memilih memberikan semua aset itu padaku daripada membatalkan pernikahan keduamu itu?" Pertanyaan Zilva kemarin kembali mengusik hatiku."Aku sudah mengingatkanmu berulang kali ya, Mas. Jangan sampai suatu hari nanti kamu menyesal atas keputusanmu sendiri."Kalimat terakhir yang diucapkan Zilva kemarin benar-benar membuatku tak tenang hingga detik ini. Namun, aku berusaha menepisnya. Yang penting sekarang urusan dengan Zilva sudah kelar dan pernikahanku dengan Lala hari ini pun akan digelar.Awalnya aku meminta Zilva untuk datang, setidaknya agar orang-orang tahu jika istri pertamaku itu menyetujui pernikahan ini. Kehadirannya juga akan meredam emosi para ibu yang biasanya akan menghujat istri kedua dengan sebutan pelakor.Solidaritas perempuan di negeri ini cukup kuat jika membahas soal madu dan dimadu. Biasanya mereka akan mendukung penuh istri pertama dan menghujat habis-habisan istri kedua. Sebagian perempuan tetap tak menyukai p
"Mas Amran sudah siap?" Penghulu kembali bertanya untuk kedua kalinya padaku. Mungkin dia menyadari ada sesuatu yang tak beres dariku hingga membuatnya mengulang pertanyaan yang sama. "InsyaAllah siap, Pak," balasku dengan sedikit gugup. Penghulu kembali mengangguk pelan lalu mengedarkan pandangan. Entah siapa yang dia cari, sepertinya sedang mengamati beberapa tamu yang datang. "Mas Amran bilang, istri pertama sudah setuju dengan pernikahan ini kan?" tanyanya lagi. Aku mendongak, lalu kembali mengangguk. Penghulu kembali tersenyum lalu menepuk lenganku pelan. "Saya boleh tahu yang mana perempuan hebat itu? Perempuan yang rela dimadu demi menyenangkan hati suaminya." Lagi, penghulu tersenyum lalu menoleh ke area tamu yang hadir. Apa dia bilang? Menyenangkan suaminya? Mungkin bagi lelaki lain, memiliki istri lebih dari satu adalah hal yang menyenangkan. Apalagi jika istri pertama merestui pernikahan kedua suaminya dengan istri barunya yang tak kalah rupawan. Sayangnya, aku nggak
Zilva. Istri tercintaku itu akhirnya datang dengan gamis terbarunya. Pakaian syar'i yang membuatnya semakin terlihat cantik dan mempesona. Sungguh, dia memang istri terbaik dan nyaris sempurna andai bisa segera memberikan keturunan untukku. Namun, takdir berkata lain dan aku tak berhak menyalahkannya. Bukankah tiap manusia memang digariskan memiliki dua sisi hingga tak ada satupun yang utuh dan sempurna? "Silakan dilanjutkan, Mas. Aku akan di sini dan ikut menyaksikan pernikahan keduamu." Zilva tersenyum tipis lalu duduk di deretan paling ujung bersama tamu yang lain. Mama melotot tajam ke arahnya, tapi Zilva masih tetap tenang seolah tak ada kesedihan yang dia rasakan. Mungkinkah dia sudah berdamai dengan keputusanku ini? Entah mengapa, ketenangan Zilva justru membuatku semakin tak tenang. Aku tahu bagaimana dia yang terlalu mencintaiku. Bagaimana bisa saat aku ingin berbagi hati dengan perempuan lain, dia bisa setenang ini? Aku yakin ada sesuatu yang terjadi padanya hingga bi
"Sayang, mau ke mana?" Aku mencegah Zilva yang akan pergi begitu saja setelah mama mengusirnya dari gedung yang kusewa untuk acara pernikahan ini. Mama memang keterlaluan dan seolah tak memiliki perasaan.Seharusnya mama menyambut Zilva dengan tangan terbuka karena dia sudah merelakanku untuk menikah lagi. Itu artinya dia rela dimadu demi mengabulkan impian mama yang berharap segera mendapatkan cucu pada pernikahan keduaku ini. Zilva menghentikan langkah lalu membalikkan badan. Sesaat dia bergeming, menatapku cukup lekat lalu tersenyum tipis sembari menunjuk ke belakangku dengan dagunya. Aku tahu di belakang sana ada pesta penuh tawa dan bahagia setelah para saksi dan penghulu mengatakan pernikahan ini sah di mata agama. Aku mengerti jika masih banyak tamu yang begitu euforia dengan pernikahan keduaku ini. Mungkin mereka mengira aku juga sebahagia itu. Menikah dengan perempuan cantik dan seksi yang disetujui bahkan disaksikan oleh istri pertamanya sendiri tentu menjadi hal yang ber
"Amran! Kamu itu suami, kepala ruang tangga, harusnya kamu tegas sama istri mandulmu itu. Jangan menjadi budak cinta. Apapun yang Zilva inginkan selalu kamu turuti. Wajar kalau dia jadi ngelunjak dan manja!" Mama mulai mengomel lagi dan lagi. Seperti biasa, tiap kali aku menuruti permintaan Zilva, selalu aku yang menjadi sasaran amukannya. Padahal, bukankah hal wajar jika seorang suami menuruti permintaan istrinya? Apalagi dia tengah berduka dan sudah berkorban banyak hal untuk pernikahan keduaku ini. Wajar jika aku ingin memberikan sedikit hadiah untuknya bukan? "Siapa yang mandul, Ma? Zilva nggak mandul. Dia hanya ingin liburan, Ma. Sedikit refreshing supaya tak terus memikirkan masalah ini. Lagipula, sebelum jatah waktuku bersama Lala habis, dia juga sudah pulang. Zilva tahu tanggungjawabnya sebagai istri kok. Mama tak perlu risau. Berempatilah sedikit padanya, karena dia sudah rela dimadu demi menyenangkan hati mama. Tolong, kali ini jangan terus menyudutkan apalagi menyakiti ha