Share

Bab 6

"Sayang, mau ke mana?" Aku mencegah Zilva yang akan pergi begitu saja setelah mama mengusirnya dari gedung yang kusewa untuk acara pernikahan ini. Mama memang keterlaluan dan seolah tak memiliki perasaan.

Seharusnya mama menyambut Zilva dengan tangan terbuka karena dia sudah merelakanku untuk menikah lagi. Itu artinya dia rela dimadu demi mengabulkan impian mama yang berharap segera mendapatkan cucu pada pernikahan keduaku ini. 

Zilva menghentikan langkah lalu membalikkan badan. Sesaat dia bergeming, menatapku cukup lekat lalu tersenyum tipis sembari menunjuk ke belakangku dengan dagunya. 

Aku tahu di belakang sana ada pesta penuh tawa dan bahagia setelah para saksi dan penghulu mengatakan pernikahan ini sah di mata agama. Aku mengerti jika masih banyak tamu yang begitu euforia dengan pernikahan keduaku ini. 

Mungkin mereka mengira aku juga sebahagia itu. Menikah dengan perempuan cantik dan seksi yang disetujui bahkan disaksikan oleh istri pertamanya sendiri tentu menjadi hal yang berbeda dan istimewa menurut mereka. 

Sayangnya, aku tak bisa sebahagia itu. Ada bongkahan luka yang menghujam jantungku tiap kali melihat senyum tipis Zilva. Senyum yang sengaja dia perlihatkan di depan semua orang bahwa dia baik-baik saja, padahal kutahu menyimpan luka yang teramat perihnya. 

"Tak perlu memikirkanku. Aku baik-baik saja dengan semua keputusanmu, Mas. Ini hari pernikahanmu bersama perempuan itu. Berbahagialah dan pulang tepat waktu sebab aku tetap istri sahmu. Jika tak sanggup berbagi hati dan waktu, boleh menceraikanku," balas Zilva dengan tenangnya setelah menghela napas panjang.  

Sungguh, jawaban Zilva kali ini benar-benar membuatku tercekat seketika. Tak menyangka jika Zilva yang dulu begitu mencintai dan seakan tak bisa hidup tanpaku kini telah menjelma menjadi sosok yang berbeda. Bahkan dia berani menawarkan sebuah perceraian yang tak pernah terpikirkan sedikitpun di benakku. Jangankan terlintas di otak, sekadar membayangkannya saja tak pernah. 

Aku sangat mencintai Zilva sejak pandangan pertama hingga detik ini. Bagaimana mungkin aku menceraikannya? Bahkan aku menikah dengan Lala pun ingin mendapatkan izinnya karena aku tak ingin membuat lukanya bertambah dalam jika melihatku menikah diam-diam. 

Mungkinkah Zilva tak lagi mencintaiku karena pernikahan keduaku ini? Secepat itukah cinta yang begitu dalam untukku itu memudar di hatinya? Kurasa nggak mungkin. Zilva jelas masih mencintaiku, hanya saja dia pura-pura tegar di depan Lala dan mama. Setidaknya agar tak kembali menjadi bahan ejekan mereka seperti sebelumnya. Iya, aku yakin itu.  

"Sayang, Zilva. Kita sudah janji nggak akan membahas soal perceraian bukan? Percayalah, sampai kapanpun aku sangat mencintaimu. Kamu harus yakin jika pernikahan ini sekadar menuruti permintaan mama untuk mendapatkan keturunan. Satu mimpi mama yang belum kesampaian sampai sekarang, bukan karena aku yang menginginkan apalagi karena aku mencintai Lala. Kamu percaya itu kan?" lirihku kembali meyakinkannya. Zilva menoleh lalu tersenyum tipis seolah mengejek apa yang kujelaskan. 

"Bukan hanya mama, tapi juga kamu, Mas. Kamu bilang dua tahun adalah waktu yang singkat dan masih ada tahun-tahun berikutnya untuk mendapatkan momongan. Tapi nyatanya, kamu pun mulai masuk dalam jebakan mama. Tak sengaja mengeluhkan hal yang sama. Kamu sering bilang ingin segera mendapatkan keturunan karena rumah cukup sepi selama dua tahun belakangan. Sudahlah, tak perlu menjadikan mama sebagai alibimu terus menerus, padahal kamu dan mama memiliki mimpi yang sama." 

"Zilva ... jika mama tak terus menuntutku, aku tak mungkin mengiyakan pernikahan ini. Kupikir dengan menikah lagi, mama tak akan terus mengusik dan menyindirmu, Sayang. Aku nggak tega melihatmu menjadi bahan sindir-sindiran atau ejekan keluarga besar tiap kali kumpul bersama. Kamu percaya kan?" 

Aku begitu memohon agar Zilva mempercayai semua yang kuucapkan. Aku benar-benar takut jika dia meragukan cinta dan kasih sayangku padanya. Cinta itu tetap sama dan tak akan pernah berubah sekalipun aku telah memiliki Lala.

 

Zilva dan Lala adalah pribadi yang sangat berbeda. Jelas aku merasa sangat nyaman jika bersama istri pertamaku itu dibandingkan bersama Lala. 

Zilva memiliki kecantikan hati dan wajah yang selalu membuatku rindu, tapi Lala hanya memamerkan keindahan tubuh dan kecantikan wajahnya saja yang kurasa hanya menghadirkan nafsu. 

Berulang kali kuminta Zilva untuk tetap mempercayai cintaku, tapi perempuan berwajah teduh itu hanya mengulas senyum seolah ada keraguan dalam senyumnya. 

Tak ada sepatah kata pun yang diucapkannya. Tak seperti biasa yang selalu banyak tanya, banyak pujian, banyak obrolan yang membuatku semakin nyaman berada di sampingnya.

Kini, aku mulai merasakan perbedaan dari Zilva dan aku tak tahu apakah akan menemukan Zilvaku kembali seperti dulu.  

"Katakan jika kamu masih mencintaiku, Sayang. Cintamu adalah kekuatanku. Kamu tahu itu kan?" Lagi, Zilva hanya melambaikan telapak tangannya di depanku seolah menepis semua yang kuucapkan. 

 

"Itu dulu, bukan sekarang, Mas. Kekuatan cintamu tak lagi aku, tapi juga perempuan itu. Bersikaplah adil, jika kamu tak ingin rugi dunia akhirat. Tak peduli apa alasanmu menikahiku dan menikahinya, tapi adil adalah kewajibanmu."  

"Mas! Kenapa di sini terus sih? Ini hari pernikahan kita, Sayang. Harusnya kita nikmati kebahagiaan ini. Bukankah dia sudah mengizinkanmu menikah lagi? Kenapa dia tak jua pergi? Apa sengaja datang ke sini karena tak ikhlas dengan keputusannya sendiri?" Lala datang dengan kekesalannya. Aku yakin mama yang memintanya datang ke sini agar aku segera masuk dan menyambut tamu yang mulai berdatangan. 

"Aku memang akan pergi, Mbak. Hanya saja, suamiku memanggil dan ingin ngobrol sebentar. Tak salah bukan jika aku ngobrol dengan suamiku sendiri?" balas Zilva dengan tenangnya. Wajah Lala memerah seketika. Ada kemarahan yang terlukis dalam tatapnya. 

 

"Tenang saja, aku tak akan mengganggu kebahagiaan kalian berdua. Aku tahu letak hak dan kewajibanku. Aku pulang dan selamat bersenang-senang." 

Zilva menatapku sekilas sebelum pergi dengan taksi yang sudah menunggunya di tepi jalan. Entah mengapa, kata bersenang-senang yang diucapkannya sedikit menggoreskan luka di ulu hati. Aku telah melukai perempuan itu. Perempuan yang nyaris tak pernah membuatku terluka selama dua tahun bersamanya. 

"Ayo masuk, Mas. Malu dilihat banyak tamu. Jangan sampai papaku kembali murka dan sakit jantung mama kumat lagi karena kamu masih terus memikirkan perempuan itu di acara sakral kita!" ancam Lala membuatku terjaga. Kuhela napas panjang lalu mengikutinya memasuki gedung pernikahan.

Mungkin Lala benar. Seminggu ke depan adalah waktuku bersamanya. Aku tak boleh terus-terusan memikirkan Zilva sebab nanti ada jatah waktuku sendiri untuk bersamanya. Dia tinggal menunggu saja di rumah dan aku akan datang menemuinya. 

Aku yakin Zilva baik-baik saja. Dia perempuan yang taat, tak mungkin patah hanya karena dimadu. Dia perempuan yang kuat sebab sejak dulu memang selalu diuji dengan berbagai masalah. Dia tak pernah tumbang, justru semakin menancap kuat dan berkembang. 

*** 

Comments (6)
goodnovel comment avatar
Harmila Bahar
zilva yg dimadu sy yg sakiit ......
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
yakin bisa setia? klu setia kamu g akan mendua. justru wanita seperti lala yg akan membuat mu tenggelam dlm nafsu dan perlahan2 lupa akan zilpa yg menunggu giliran. menjijikkan membayangkan digilir suami
goodnovel comment avatar
Hersa Hersa
ada ya mertua bangsatt dan lakiĀ² oon kayak gini ??
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status