"Sayang, mau ke mana?" Aku mencegah Zilva yang akan pergi begitu saja setelah mama mengusirnya dari gedung yang kusewa untuk acara pernikahan ini. Mama memang keterlaluan dan seolah tak memiliki perasaan.
Seharusnya mama menyambut Zilva dengan tangan terbuka karena dia sudah merelakanku untuk menikah lagi. Itu artinya dia rela dimadu demi mengabulkan impian mama yang berharap segera mendapatkan cucu pada pernikahan keduaku ini.
Zilva menghentikan langkah lalu membalikkan badan. Sesaat dia bergeming, menatapku cukup lekat lalu tersenyum tipis sembari menunjuk ke belakangku dengan dagunya.
Aku tahu di belakang sana ada pesta penuh tawa dan bahagia setelah para saksi dan penghulu mengatakan pernikahan ini sah di mata agama. Aku mengerti jika masih banyak tamu yang begitu euforia dengan pernikahan keduaku ini.
Mungkin mereka mengira aku juga sebahagia itu. Menikah dengan perempuan cantik dan seksi yang disetujui bahkan disaksikan oleh istri pertamanya sendiri tentu menjadi hal yang berbeda dan istimewa menurut mereka.
Sayangnya, aku tak bisa sebahagia itu. Ada bongkahan luka yang menghujam jantungku tiap kali melihat senyum tipis Zilva. Senyum yang sengaja dia perlihatkan di depan semua orang bahwa dia baik-baik saja, padahal kutahu menyimpan luka yang teramat perihnya.
"Tak perlu memikirkanku. Aku baik-baik saja dengan semua keputusanmu, Mas. Ini hari pernikahanmu bersama perempuan itu. Berbahagialah dan pulang tepat waktu sebab aku tetap istri sahmu. Jika tak sanggup berbagi hati dan waktu, boleh menceraikanku," balas Zilva dengan tenangnya setelah menghela napas panjang.
Sungguh, jawaban Zilva kali ini benar-benar membuatku tercekat seketika. Tak menyangka jika Zilva yang dulu begitu mencintai dan seakan tak bisa hidup tanpaku kini telah menjelma menjadi sosok yang berbeda. Bahkan dia berani menawarkan sebuah perceraian yang tak pernah terpikirkan sedikitpun di benakku. Jangankan terlintas di otak, sekadar membayangkannya saja tak pernah.
Aku sangat mencintai Zilva sejak pandangan pertama hingga detik ini. Bagaimana mungkin aku menceraikannya? Bahkan aku menikah dengan Lala pun ingin mendapatkan izinnya karena aku tak ingin membuat lukanya bertambah dalam jika melihatku menikah diam-diam.
Mungkinkah Zilva tak lagi mencintaiku karena pernikahan keduaku ini? Secepat itukah cinta yang begitu dalam untukku itu memudar di hatinya? Kurasa nggak mungkin. Zilva jelas masih mencintaiku, hanya saja dia pura-pura tegar di depan Lala dan mama. Setidaknya agar tak kembali menjadi bahan ejekan mereka seperti sebelumnya. Iya, aku yakin itu.
"Sayang, Zilva. Kita sudah janji nggak akan membahas soal perceraian bukan? Percayalah, sampai kapanpun aku sangat mencintaimu. Kamu harus yakin jika pernikahan ini sekadar menuruti permintaan mama untuk mendapatkan keturunan. Satu mimpi mama yang belum kesampaian sampai sekarang, bukan karena aku yang menginginkan apalagi karena aku mencintai Lala. Kamu percaya itu kan?" lirihku kembali meyakinkannya. Zilva menoleh lalu tersenyum tipis seolah mengejek apa yang kujelaskan.
"Bukan hanya mama, tapi juga kamu, Mas. Kamu bilang dua tahun adalah waktu yang singkat dan masih ada tahun-tahun berikutnya untuk mendapatkan momongan. Tapi nyatanya, kamu pun mulai masuk dalam jebakan mama. Tak sengaja mengeluhkan hal yang sama. Kamu sering bilang ingin segera mendapatkan keturunan karena rumah cukup sepi selama dua tahun belakangan. Sudahlah, tak perlu menjadikan mama sebagai alibimu terus menerus, padahal kamu dan mama memiliki mimpi yang sama."
"Zilva ... jika mama tak terus menuntutku, aku tak mungkin mengiyakan pernikahan ini. Kupikir dengan menikah lagi, mama tak akan terus mengusik dan menyindirmu, Sayang. Aku nggak tega melihatmu menjadi bahan sindir-sindiran atau ejekan keluarga besar tiap kali kumpul bersama. Kamu percaya kan?"
Aku begitu memohon agar Zilva mempercayai semua yang kuucapkan. Aku benar-benar takut jika dia meragukan cinta dan kasih sayangku padanya. Cinta itu tetap sama dan tak akan pernah berubah sekalipun aku telah memiliki Lala.
Zilva dan Lala adalah pribadi yang sangat berbeda. Jelas aku merasa sangat nyaman jika bersama istri pertamaku itu dibandingkan bersama Lala.Zilva memiliki kecantikan hati dan wajah yang selalu membuatku rindu, tapi Lala hanya memamerkan keindahan tubuh dan kecantikan wajahnya saja yang kurasa hanya menghadirkan nafsu.
Berulang kali kuminta Zilva untuk tetap mempercayai cintaku, tapi perempuan berwajah teduh itu hanya mengulas senyum seolah ada keraguan dalam senyumnya.
Tak ada sepatah kata pun yang diucapkannya. Tak seperti biasa yang selalu banyak tanya, banyak pujian, banyak obrolan yang membuatku semakin nyaman berada di sampingnya.
Kini, aku mulai merasakan perbedaan dari Zilva dan aku tak tahu apakah akan menemukan Zilvaku kembali seperti dulu.
"Katakan jika kamu masih mencintaiku, Sayang. Cintamu adalah kekuatanku. Kamu tahu itu kan?" Lagi, Zilva hanya melambaikan telapak tangannya di depanku seolah menepis semua yang kuucapkan.
"Itu dulu, bukan sekarang, Mas. Kekuatan cintamu tak lagi aku, tapi juga perempuan itu. Bersikaplah adil, jika kamu tak ingin rugi dunia akhirat. Tak peduli apa alasanmu menikahiku dan menikahinya, tapi adil adalah kewajibanmu.""Mas! Kenapa di sini terus sih? Ini hari pernikahan kita, Sayang. Harusnya kita nikmati kebahagiaan ini. Bukankah dia sudah mengizinkanmu menikah lagi? Kenapa dia tak jua pergi? Apa sengaja datang ke sini karena tak ikhlas dengan keputusannya sendiri?" Lala datang dengan kekesalannya. Aku yakin mama yang memintanya datang ke sini agar aku segera masuk dan menyambut tamu yang mulai berdatangan.
"Aku memang akan pergi, Mbak. Hanya saja, suamiku memanggil dan ingin ngobrol sebentar. Tak salah bukan jika aku ngobrol dengan suamiku sendiri?" balas Zilva dengan tenangnya. Wajah Lala memerah seketika. Ada kemarahan yang terlukis dalam tatapnya.
"Tenang saja, aku tak akan mengganggu kebahagiaan kalian berdua. Aku tahu letak hak dan kewajibanku. Aku pulang dan selamat bersenang-senang."Zilva menatapku sekilas sebelum pergi dengan taksi yang sudah menunggunya di tepi jalan. Entah mengapa, kata bersenang-senang yang diucapkannya sedikit menggoreskan luka di ulu hati. Aku telah melukai perempuan itu. Perempuan yang nyaris tak pernah membuatku terluka selama dua tahun bersamanya.
"Ayo masuk, Mas. Malu dilihat banyak tamu. Jangan sampai papaku kembali murka dan sakit jantung mama kumat lagi karena kamu masih terus memikirkan perempuan itu di acara sakral kita!" ancam Lala membuatku terjaga. Kuhela napas panjang lalu mengikutinya memasuki gedung pernikahan.
Mungkin Lala benar. Seminggu ke depan adalah waktuku bersamanya. Aku tak boleh terus-terusan memikirkan Zilva sebab nanti ada jatah waktuku sendiri untuk bersamanya. Dia tinggal menunggu saja di rumah dan aku akan datang menemuinya.
Aku yakin Zilva baik-baik saja. Dia perempuan yang taat, tak mungkin patah hanya karena dimadu. Dia perempuan yang kuat sebab sejak dulu memang selalu diuji dengan berbagai masalah. Dia tak pernah tumbang, justru semakin menancap kuat dan berkembang.
***
"Amran! Kamu itu suami, kepala ruang tangga, harusnya kamu tegas sama istri mandulmu itu. Jangan menjadi budak cinta. Apapun yang Zilva inginkan selalu kamu turuti. Wajar kalau dia jadi ngelunjak dan manja!" Mama mulai mengomel lagi dan lagi. Seperti biasa, tiap kali aku menuruti permintaan Zilva, selalu aku yang menjadi sasaran amukannya. Padahal, bukankah hal wajar jika seorang suami menuruti permintaan istrinya? Apalagi dia tengah berduka dan sudah berkorban banyak hal untuk pernikahan keduaku ini. Wajar jika aku ingin memberikan sedikit hadiah untuknya bukan? "Siapa yang mandul, Ma? Zilva nggak mandul. Dia hanya ingin liburan, Ma. Sedikit refreshing supaya tak terus memikirkan masalah ini. Lagipula, sebelum jatah waktuku bersama Lala habis, dia juga sudah pulang. Zilva tahu tanggungjawabnya sebagai istri kok. Mama tak perlu risau. Berempatilah sedikit padanya, karena dia sudah rela dimadu demi menyenangkan hati mama. Tolong, kali ini jangan terus menyudutkan apalagi menyakiti ha
Rutinitas pengantin baru usai. Aku tak tahu apa yang kurasakan saat ini. Bahagiakah aku? Kurasa nggak begitu. Justru perasaan sedih lebih dominan dibandingkan bahagia yang hanya sesaat saja. Tiap kali melihat Lala, tiap itu juga rasa bersalah pada Zilva semakin kuat. Mengingat senyumnya yang penuh luka itu justru semakin membuatku tersayat. Aku yang berjanji membuatnya bahagia, tapi aku juga yang justru menancapkan luka di hatinya. Sesakit apapun itu, aku juga tak mungkin mengecewakan Lala dan mengabaikannya begitu saja di hari-hari pernikahanku dengannya. Seperti apapun jalannya, kini dia sudah sah menjadi istriku dan dia juga berhak atas hidupku. Momen ini tentu menjadi salah satu momen yang mendebarkan dan mungkin dia idamkan pasca akad itu. Setelah shalat subuh berjamaah di masjid, aku kembali ke kamar. Mama sepertinya juga belum bangun. Entahlah, selama ini aku sudah berusaha menasehati mama untuk rutin melaksanakan kewajiban, tapi tetap saja subuh adalah salah satu waktu shal
"Lala mana, Ran? Kenapa belum keluar?" Mama yang baru muncul dari kamar tiba-tiba duduk di sampingku. "Dia masih di kamar ganti baju, Ma." Mama kembali melirik penampilanku yang sudah cukup rapi, khas mau pergi keluar rumah. "Mau jalan-jalan ke mana memangnya?" Mama mencomot kue lapis di atas meja lalu mengunyahnya perlahan. "Ke mall beli baju." Aku membalas singkat lalu menatap mama beberapa saat. Terlihat jelas ekspresi terkejut di wajahnya bahkan Mama sempat menghentikan kunyahannya saat mendengar jawabanku.Mungkin terdengar cukup aneh bagi mama, karena baju-baju Lala memang sangat banyak. Jangankan baju yang lama, baju baru yang belum pernah dia pakai pun masih ada beberapa stel, katanya. Bahkan mama kemarin membelikannya lagi dua item dress selutut dan tiga buah lingerie dengan warna yang mencolok. "Lala nggak bawa baju?" Mama mulai menyelidik sembari melirikku. "Bawa, Ma. Ada satu koper.""Terus? Kenapa beli baju lagi jika masih ada satu koper?" Mama mulai menatapku inten
POV : ZILVADua tahun pernikahan, tak pernah sekalipun Mas Amran menghardik. Tak pernah pula menyakiti fisik dan batinku. Dia adalah lelaki yang nyaris sempurna di mataku. Aku bangga memilikinya dan aku pernah berjanji pada almarhum ibu untuk berbakti padanya sampai akhir hayat. Tak hanya padaku, Mas Amran juga begitu menyayangi ibu dan menganggapnya seperti ibu kandung sendiri. Cintanya yang tulus membuat ibu begitu mempercayainya, mengasihinya dan menjadi menantu kesayangannya. Tak hanya soal cinta yang terus tumbuh untukku, tapi Mas Amran juga bertanggungjawab lahir batin atas diriku. Tiada hari tanpa kata cinta darinya. Sejak aku membuka mata di pagi hari hingga terlelap di malam hari, Mas Amran seolah menjadikanku ratu dalam hati dan hidupnya. Dia bukan tipe suami yang hanya suka menyuruh ini dan itu, tapi dia ikut serta membantu banyak hal dalam urusan rumah tangga secapek apapun itu. Semua pekerjaan terasa ringan meski tak ada asisten di rumah ini karena ada dia yang selalu
Tak lama setelah mengancam, dua perempuan itu pergi begitu saja dari hadapanku. Kata-kata yang mama ucapkan tadi begitu menyakitkan, menancap tajam ke ulu hati dan membuat nyeri tak tertahankan. Entah sudah berapa banyak aku menangis dalam diam sejak pagi di kamar ini tiap kali mengingat kejadian itu kembali. Aku benar-benar tak menyangka jika mama tega akan mengirimkan madu untukku. Kupikir selama ini dia hanya memaksaku segera memiliki momongan saja, tapi dugaanku keliru. Mama benar-benar tak sabar memiliki cucu hingga melakukan banyak cara agar cinta Mas Amran tak lagi milikku.Mama berusaha keras agar anak lelaki semata wayangnya itu tak terlalu mencintaiku. Mama cemburu melihat tulus dan besarnya cinta Mas Amran padaku, perempuan biasa yang mama bilang tak pantas menjadi menantunya.Kecemburuan mama itulah hingga akhirnya merembet ke hal lain hingga sengaja mengompori anak lelakinya sendiri agar mau menikah lagi dengan alasan demi mendapatkan keturunan terbaik untuk keluarganya.
"Kenapa, Va? Mikirin Mas Amran lagi?" Arumi yang baru saja keluar dari kamar mandi ikut duduk bersamaku di balkon. Dia membawakanku secangkir kopi untuk sedikit menghalau gundah. "Entah, Mi. Aku memang mengizinkan dia menikah lagi, tapi rasa takut itu sering muncul tiba-tiba. Untuk saat ini, aku takut dia pergi dari hidupku selamanya. Kamu tahu kan, Mi? Bagaimana cintaku pada Mas Amran?" Arumi menghela napas lalu mengusap punggungku pelan."Cintai dia 20 % saja, Zilva. Selebihnya perkuat cintamu padaNya. Mungkin 99% laki-laki di dunia ini memang tak jauh beda, sama-sama buaya. Hanya saja ada versi brutal dan versi syar'i. Nah, Mas Amran itu versi syar'inya." Arumi mulai berceloteh. Aku hanya tersenyum tipis mendengar celotehannya, yang mungkin memang ada benarnya. "Aku benar-benar tak menyangka jika hubunganmu dengan Mas Amran yang membuat banyak orang cemburu karena terlalu romantis, harmonis dan manis itu harus berujung seperti ini, Va. Gimana nggak takut nikah coba, lihat Mas Amr
"Siapa?" Arumi kembali menoleh sembari membawakan nampan kecil berisi bolu untukku. Tak lupa sebotol air mineral untuk penghilang dahaga. "Mama mertuamu yang bawel binti cerewet itu ya? Ngomong apalagi dia, Va?" cerocos Arumi lagi. Aku menarik napas lalu menghembuskannya saat teman terbaikku itu menatapku lekat.Arumi tak sekadar sahabat terbaik, tapi dia sudah kuanggap bagian dari keluarga. Hanya dia yang tahu banyak hal tentang hidupku. Apalagi sejak Mas Amran berencana menikah lagi, dialah satu-satunya orang yang mendengar semua keluh kesah dan isak tangisku. Arumi tahu semua yang terjadi dalam hidupku, termasuk soal aku yang hanya anak adopsi dari panti asuhan itu. "Dasar mertua dzalim. Sudah memberikan madu pahit untuk menantunya, sekarang kembali mengusik soal honeymoon segala. Apa urusannya honeymoon mereka denganmu. Mau pamer kalau anaknya bermesraan sama menantu kesayangan? Nggak punya hati, benar-benar keterlaluan. Sama-sama perempuan, tapi nggak punya empati." Arumi terli
POV : ZILVA[Sayang, lagi ngapain? Maaf ya tak bisa menemanimu dua malam belakangan. Lima malam lagi aku akan pulang dan kita bisa menghabiskan waktu bersama lagi. Berdua. Terserah kamu mau ke mana, aku ikut saja] Pesan dari Mas Amran muncul tiba-tiba saat aku dan Arumi keluar penginapan untuk mencari udara segar. Dia mengajakku makan nasi goreng yang katanya cukup viral di sekitar penginapan. Aku mengekor saja dan tak banyak tanya. [Kamu pasti kesepian sekarang. Apa Arumi selalu menemanimu? Kamu liburan di daerah mana, Sayang?]Lagi, pesan itu muncul di layar. Aku hanya membaca, tapi belum membalasnya sedari tadi. Jujur, sebenarnya aku juga ingin menceritakan banyak hal pada Mas Amran, seperti biasanya. Namun, aku berusaha menekan ego dan keinginan kuatku itu agar dia tahu jika aku tak lagi bergantung padanya. Jika cintaku bisa saja patah kapan saja. Setidaknya Mas Amran harus tahu jika aku baik-baik saja sekalipun tanpanya. Aku foto pemandangan di depan mata. Ramainya orang men