Zilva. Istri tercintaku itu akhirnya datang dengan gamis terbarunya. Pakaian syar'i yang membuatnya semakin terlihat cantik dan mempesona. Sungguh, dia memang istri terbaik dan nyaris sempurna andai bisa segera memberikan keturunan untukku. Namun, takdir berkata lain dan aku tak berhak menyalahkannya. Bukankah tiap manusia memang digariskan memiliki dua sisi hingga tak ada satupun yang utuh dan sempurna?
"Sayang, mau ke mana?" Aku mencegah Zilva yang akan pergi begitu saja setelah mama mengusirnya dari gedung yang kusewa untuk acara pernikahan ini. Mama memang keterlaluan dan seolah tak memiliki perasaan.Seharusnya mama menyambut Zilva dengan tangan terbuka karena dia sudah merelakanku untuk menikah lagi. Itu artinya dia rela dimadu demi mengabulkan impian mama yang berharap segera mendapatkan cucu pada pernikahan keduaku ini. Zilva menghentikan langkah lalu membalikkan badan. Sesaat dia bergeming, menatapku cukup lekat lalu tersenyum tipis sembari menunjuk ke belakangku dengan dagunya. Aku tahu di belakang sana ada pesta penuh tawa dan bahagia setelah para saksi dan penghulu mengatakan pernikahan ini sah di mata agama. Aku mengerti jika masih banyak tamu yang begitu euforia dengan pernikahan keduaku ini. Mungkin mereka mengira aku juga sebahagia itu. Menikah dengan perempuan cantik dan seksi yang disetujui bahkan disaksikan oleh istri pertamanya sendiri tentu menjadi hal yang ber
"Amran! Kamu itu suami, kepala ruang tangga, harusnya kamu tegas sama istri mandulmu itu. Jangan menjadi budak cinta. Apapun yang Zilva inginkan selalu kamu turuti. Wajar kalau dia jadi ngelunjak dan manja!" Mama mulai mengomel lagi dan lagi. Seperti biasa, tiap kali aku menuruti permintaan Zilva, selalu aku yang menjadi sasaran amukannya. Padahal, bukankah hal wajar jika seorang suami menuruti permintaan istrinya? Apalagi dia tengah berduka dan sudah berkorban banyak hal untuk pernikahan keduaku ini. Wajar jika aku ingin memberikan sedikit hadiah untuknya bukan? "Siapa yang mandul, Ma? Zilva nggak mandul. Dia hanya ingin liburan, Ma. Sedikit refreshing supaya tak terus memikirkan masalah ini. Lagipula, sebelum jatah waktuku bersama Lala habis, dia juga sudah pulang. Zilva tahu tanggungjawabnya sebagai istri kok. Mama tak perlu risau. Berempatilah sedikit padanya, karena dia sudah rela dimadu demi menyenangkan hati mama. Tolong, kali ini jangan terus menyudutkan apalagi menyakiti ha
Rutinitas pengantin baru usai. Aku tak tahu apa yang kurasakan saat ini. Bahagiakah aku? Kurasa nggak begitu. Justru perasaan sedih lebih dominan dibandingkan bahagia yang hanya sesaat saja. Tiap kali melihat Lala, tiap itu juga rasa bersalah pada Zilva semakin kuat. Mengingat senyumnya yang penuh luka itu justru semakin membuatku tersayat. Aku yang berjanji membuatnya bahagia, tapi aku juga yang justru menancapkan luka di hatinya. Sesakit apapun itu, aku juga tak mungkin mengecewakan Lala dan mengabaikannya begitu saja di hari-hari pernikahanku dengannya. Seperti apapun jalannya, kini dia sudah sah menjadi istriku dan dia juga berhak atas hidupku. Momen ini tentu menjadi salah satu momen yang mendebarkan dan mungkin dia idamkan pasca akad itu. Setelah shalat subuh berjamaah di masjid, aku kembali ke kamar. Mama sepertinya juga belum bangun. Entahlah, selama ini aku sudah berusaha menasehati mama untuk rutin melaksanakan kewajiban, tapi tetap saja subuh adalah salah satu waktu shal
"Lala mana, Ran? Kenapa belum keluar?" Mama yang baru muncul dari kamar tiba-tiba duduk di sampingku. "Dia masih di kamar ganti baju, Ma." Mama kembali melirik penampilanku yang sudah cukup rapi, khas mau pergi keluar rumah. "Mau jalan-jalan ke mana memangnya?" Mama mencomot kue lapis di atas meja lalu mengunyahnya perlahan. "Ke mall beli baju." Aku membalas singkat lalu menatap mama beberapa saat. Terlihat jelas ekspresi terkejut di wajahnya bahkan Mama sempat menghentikan kunyahannya saat mendengar jawabanku.Mungkin terdengar cukup aneh bagi mama, karena baju-baju Lala memang sangat banyak. Jangankan baju yang lama, baju baru yang belum pernah dia pakai pun masih ada beberapa stel, katanya. Bahkan mama kemarin membelikannya lagi dua item dress selutut dan tiga buah lingerie dengan warna yang mencolok. "Lala nggak bawa baju?" Mama mulai menyelidik sembari melirikku. "Bawa, Ma. Ada satu koper.""Terus? Kenapa beli baju lagi jika masih ada satu koper?" Mama mulai menatapku inten
POV : ZILVADua tahun pernikahan, tak pernah sekalipun Mas Amran menghardik. Tak pernah pula menyakiti fisik dan batinku. Dia adalah lelaki yang nyaris sempurna di mataku. Aku bangga memilikinya dan aku pernah berjanji pada almarhum ibu untuk berbakti padanya sampai akhir hayat. Tak hanya padaku, Mas Amran juga begitu menyayangi ibu dan menganggapnya seperti ibu kandung sendiri. Cintanya yang tulus membuat ibu begitu mempercayainya, mengasihinya dan menjadi menantu kesayangannya. Tak hanya soal cinta yang terus tumbuh untukku, tapi Mas Amran juga bertanggungjawab lahir batin atas diriku. Tiada hari tanpa kata cinta darinya. Sejak aku membuka mata di pagi hari hingga terlelap di malam hari, Mas Amran seolah menjadikanku ratu dalam hati dan hidupnya. Dia bukan tipe suami yang hanya suka menyuruh ini dan itu, tapi dia ikut serta membantu banyak hal dalam urusan rumah tangga secapek apapun itu. Semua pekerjaan terasa ringan meski tak ada asisten di rumah ini karena ada dia yang selalu
Tak lama setelah mengancam, dua perempuan itu pergi begitu saja dari hadapanku. Kata-kata yang mama ucapkan tadi begitu menyakitkan, menancap tajam ke ulu hati dan membuat nyeri tak tertahankan. Entah sudah berapa banyak aku menangis dalam diam sejak pagi di kamar ini tiap kali mengingat kejadian itu kembali. Aku benar-benar tak menyangka jika mama tega akan mengirimkan madu untukku. Kupikir selama ini dia hanya memaksaku segera memiliki momongan saja, tapi dugaanku keliru. Mama benar-benar tak sabar memiliki cucu hingga melakukan banyak cara agar cinta Mas Amran tak lagi milikku.Mama berusaha keras agar anak lelaki semata wayangnya itu tak terlalu mencintaiku. Mama cemburu melihat tulus dan besarnya cinta Mas Amran padaku, perempuan biasa yang mama bilang tak pantas menjadi menantunya.Kecemburuan mama itulah hingga akhirnya merembet ke hal lain hingga sengaja mengompori anak lelakinya sendiri agar mau menikah lagi dengan alasan demi mendapatkan keturunan terbaik untuk keluarganya.
"Kenapa, Va? Mikirin Mas Amran lagi?" Arumi yang baru saja keluar dari kamar mandi ikut duduk bersamaku di balkon. Dia membawakanku secangkir kopi untuk sedikit menghalau gundah. "Entah, Mi. Aku memang mengizinkan dia menikah lagi, tapi rasa takut itu sering muncul tiba-tiba. Untuk saat ini, aku takut dia pergi dari hidupku selamanya. Kamu tahu kan, Mi? Bagaimana cintaku pada Mas Amran?" Arumi menghela napas lalu mengusap punggungku pelan."Cintai dia 20 % saja, Zilva. Selebihnya perkuat cintamu padaNya. Mungkin 99% laki-laki di dunia ini memang tak jauh beda, sama-sama buaya. Hanya saja ada versi brutal dan versi syar'i. Nah, Mas Amran itu versi syar'inya." Arumi mulai berceloteh. Aku hanya tersenyum tipis mendengar celotehannya, yang mungkin memang ada benarnya. "Aku benar-benar tak menyangka jika hubunganmu dengan Mas Amran yang membuat banyak orang cemburu karena terlalu romantis, harmonis dan manis itu harus berujung seperti ini, Va. Gimana nggak takut nikah coba, lihat Mas Amr
"Siapa?" Arumi kembali menoleh sembari membawakan nampan kecil berisi bolu untukku. Tak lupa sebotol air mineral untuk penghilang dahaga. "Mama mertuamu yang bawel binti cerewet itu ya? Ngomong apalagi dia, Va?" cerocos Arumi lagi. Aku menarik napas lalu menghembuskannya saat teman terbaikku itu menatapku lekat.Arumi tak sekadar sahabat terbaik, tapi dia sudah kuanggap bagian dari keluarga. Hanya dia yang tahu banyak hal tentang hidupku. Apalagi sejak Mas Amran berencana menikah lagi, dialah satu-satunya orang yang mendengar semua keluh kesah dan isak tangisku. Arumi tahu semua yang terjadi dalam hidupku, termasuk soal aku yang hanya anak adopsi dari panti asuhan itu. "Dasar mertua dzalim. Sudah memberikan madu pahit untuk menantunya, sekarang kembali mengusik soal honeymoon segala. Apa urusannya honeymoon mereka denganmu. Mau pamer kalau anaknya bermesraan sama menantu kesayangan? Nggak punya hati, benar-benar keterlaluan. Sama-sama perempuan, tapi nggak punya empati." Arumi terli