Share

Bab 5

Zilva. Istri tercintaku itu akhirnya datang dengan gamis terbarunya. Pakaian syar'i yang membuatnya semakin terlihat cantik dan mempesona. Sungguh, dia memang istri terbaik dan nyaris sempurna andai bisa segera memberikan keturunan untukku. Namun, takdir berkata lain dan aku tak berhak menyalahkannya. Bukankah tiap manusia memang digariskan memiliki dua sisi hingga tak ada satupun yang utuh dan sempurna?

"Silakan dilanjutkan, Mas. Aku akan di sini dan ikut menyaksikan pernikahan keduamu." Zilva tersenyum tipis lalu duduk di deretan paling ujung bersama tamu yang lain. 

 

Mama melotot tajam ke arahnya, tapi Zilva masih tetap tenang seolah tak ada kesedihan yang dia rasakan. Mungkinkah dia sudah berdamai dengan keputusanku ini? Entah mengapa, ketenangan Zilva justru membuatku semakin tak tenang.

 

Aku tahu bagaimana dia yang terlalu mencintaiku. Bagaimana bisa saat aku ingin berbagi hati dengan perempuan lain, dia bisa setenang ini? 

 

Aku yakin ada sesuatu yang terjadi padanya hingga bisa mengubah sikapnya sebegitu drastis. Dia yang sebelumnya menghilang tanpa kabar, tiba-tiba datang dengan senyum tipisnya yang menghanyutkan. 

 

Ya Allah, ada apa dengan Zilva sebenarnya? Apakah ada sesuatu hal yang direncanakannya? Aku tahu siapa dan bagaimana Zilva. Dia tak mungkin bisa setenang ini jika tak ada sesuatu yang terjadi. 

 

"Anda istri pertama Mas Amran?" Penghulu menatap Zilva beberapa saat. Perempuan anggun itu pun menganggukkan kepala dengan seulas senyum di bibirnya. Sungguh, senyum itu cukup menyesakkan dada. Aku tahu di balik senyum itu ada duka dan air mata yang sengaja ditahannya sedemikian rupa. 

 

Kasak-kusuk mendadak terdengar di antara para tamu. Sebagian dari mereka menatap Zilva dengan iba, sebagain memandangnya remeh dan sebagian yang lain justru terdengar membanggakannya. Dia yang rela berbagi suami bahkan ikut menyaksikan pernikahan kedua suaminya. 

 

"Benar, Pak. Saya, Zilva. Istri pertama Mas Amran yang dinikahinya dua tahun lalu," balas Zilva kemudian setelah penghulu menanyakan nama dan statusnya lagi. 

 

Aku kembali menoleh, menatapnya beberapa saat. Tak sengaja aku dan Zilva saling pandang, tapi perempuan itu tetap saja terlihat tenang. Tak ada genangan air mata yang selama ini kukhawatirkan. Dia justru tersenyum tipis membalas tatapanku yang terasa semakin mengembun. 

 

"Mbak Zilva rela suaminya menikah lagi?" Zilva kembali mengangguk. 

 

"Dua tahun menikah belum dikaruniai momongan, suami saya memilih menikahi perempuan lain. Semoga saja perempuan kedua ini segera mendapatkan apa yang suami dan mertua saya idamkan. Bila tidak, mau nikah sampai berapa kali? Sementara punya atau tidaknya keturunan sudah diatur jelas oleh Allah," balas Zilva dengan tenangnya. 

 

Lagi, suara ibu-ibu kembali terdengar menyudutkanku dan mama. Dianggap suami yang tega menduakan cinta dari perempuan secantik dan seanggun Zilva. Mama pun tak lantas terbebas dari cibiran para tamu yang datang. Mereka menganggap remeh mama yang terlalu mencampuri kehidupan rumah tangga anaknya terutama soal keturunan. 

 

"Kasihan menantu Bu Ratna. Masa baru dua tahun sudah dikirimi madu." 

 

"Sepertinya istri Mas Amran itu baik, lembut dan penurut, kok ya masih kurang saja. Memangnya kalau menikah lagi yakin istri kedua akan ngasih keturunan cepat?" 

 

"Tegar sekali istri pertama Mas Amran. Terlihat tenang dan elegan meski kuyakin batinnya berantakan." 

 

"Cantik dan anggun begitu, kok ya masih diduakan." 

 

Beragam ucapan yang tak nyaman di telinga pun mulai terdengar. Mama yang sebelumnya cukup disegani para tetangga, kini mendadak menjadi bahan gosip karena dianggap dzalim dan semena-mena pada menantunya.

 

"Lanjutkan akadnya, Pak!" perintah mama kemudian. Mungkin karena merasa tak nyaman dengan cibiran para tamu hingga membuat mama ingin buru-buru melihatku sah lalu pergi meninggalkan ruangan ini agar tak kelamaan mendengar gunjingan mereka.

 

"Baik kalau begitu kita ulang akadnya. Semoga kali ini Mas Amran bisa lebih tenang dan nggak salah lagi saat pengucapan nama calon mempelai," ucap penghulu lagi. Aku pun hanya tersenyum tipis lalu mengiyakan. 

 

Om Galih kembali menatapku tajam saat kujabat tangannya seolah kembali menekankan agar aku tak kembali salah pengucapan nama. 

 

"Saya nikah dan kawinkan engkau Amran Iriansyah bin Amir Iriansyah dengan anak perempuan saya yang bernama Ayunda Nurlaila dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan emas dua puluh gram dibayar tunai." 

 

Kuhirup napas dalam lalu mengucapkan qabul setelah Om Galih sukses mengucapkan ijabnya padaku.

 

"Saya terima nikah dan kawinnya Ayunda Nurlaila binti Galih Kusnandar dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan emas dua puluh gram dibayar tunai." Akhirnya setelah dua kali gagal mengucapkan qabul itu, kali ini aku suses melafalkannya dengan satu tarikan napas. 

 

Semua ini karena hatiku lebih tenang setelah Zilva datang. Aku tak lagi mengkhawatirkan dan menduga-duga keadaannya karena saat ini dia terlihat baik-baik saja dan tak seperti yang kubayangkan sebelumnya. Meski kutahu hatinya jelas terluka. 

 

"Alhamdulillah akhirnya ijab qabul berjalan lancar. Gimana para saksi, sah?" Penghulu menoleh pada saksi yang duduk di sampingku. Mereka pun mengangguk bersamaan. 

 

"Sah. Sah. Alhamdulillah." 

 

Kulihat Lala dan mamanya menghela napas panjang. Kelegaan terlihat di wajah mereka yang sedari tadi cukup menegang apalagi saat Zilva datang dengan senyumnya yang mengembang. Tentu Lala takut jika kedatangan Zilva kali ini akan menghancurkan pernikahannya denganku. 

 

Awalnya aku berpikir sama, tapi ternyata justru sebaliknya. Zilva memintaku tetap tenang saat melafalka. Qabul yang ketiga kalinya itu hingga akhirnya sah di mata agama. 

 

Aku mencium kening Lala lalu ikut menengadahkan tangan untuk berdoa bersama. Penghulu yang memimpin doa bersama ini. Doa-doa untuk kebahagiaan lahir dan batinku di dunia akhirat pada pernikahan keduaku ini. 

 

Setelah doa-doa selesai, kulihat Zilva beranjak dari tempat duduknya lalu melangkah mendekat. Dia menatapku beberapa saat dengan tenang lalu melangkah keluar ruangan. 

 

Namun, baru sampai pintu terdengar panggilan mama yang membuat langkahnya terhenti lalu membalikkan badan kembali. Ketenangannya kali ini benar-benar membuatku risih dan takut ada bom besar yang sengaja disembunyikan Zilva saat ini, tapi akan dibiarkannya meledak suatu hari nanti. 

 

"Tunggu!" cegah mama terburu. Zilva menatap ke arah mama dengan senyum tipisnya. Senyum yang penuh dengan teka-teki entah apa. 

 

"Ada apalagi, Ma? Apa mama kaget melihatku berani datang ke acara ini? Lihat, Ma. Aku tak bun uh diri. Aku tak mati hanya karena Mas Amran kawin lagi," ucap Zilva membuatku membulatkan kedua mata. 

 

"Aku tak terpuruk atau gi la seperti dugaan mama saat Mas Amran memiliki istri kedua. Lihatlah, aku baik-baik saja. Mama tak perlu sibuk mengancamku begini begitu, karena semua itu percuma. Tenang saja, aku tak akan menghalangi anak mama untuk menikah lagi karena aku tahu jika itu diperbolehkan dalam agama. Hanya saja, ingatkan dia agar bisa adil pada kedua istrinya jika tak mau terjebur dalam lembah dosa. Kasihan kalau hanya mendapatkan kenikmatan dunia, tapi di akhirat nelangsa," ucap Zilva dengan senyum manisnya lagi.

 

Wajah mama berubah masam seketika bahkan terlihat kilat emosi dalam tatapnya. Apa yang sebenarnya terjadi antara mama dengan Zilva? Apakah selama ini mereka saling bertukar pesan tanpa sepengetahuanku? 

 

"Sayang, kamu doakan keburukan untuk suamimu sendiri?" Senyum yang tadi sempat terlukis di wajahku pun mendadak hilang setelah mendengar kalimat terakhirnya. 

 

"Bukan mendoakan, Mas. Lebih tepatnya mengingatkan. Perjanjianmu denganNya cukup berat, jangan sampai jalan pincang di akhirat karena ketidakadilanmu."

 

*** 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status