"Mas Amran sudah siap?" Penghulu kembali bertanya untuk kedua kalinya padaku. Mungkin dia menyadari ada sesuatu yang tak beres dariku hingga membuatnya mengulang pertanyaan yang sama.
"InsyaAllah siap, Pak," balasku dengan sedikit gugup. Penghulu kembali mengangguk pelan lalu mengedarkan pandangan. Entah siapa yang dia cari, sepertinya sedang mengamati beberapa tamu yang datang.
"Mas Amran bilang, istri pertama sudah setuju dengan pernikahan ini kan?" tanyanya lagi. Aku mendongak, lalu kembali mengangguk. Penghulu kembali tersenyum lalu menepuk lenganku pelan.
"Saya boleh tahu yang mana perempuan hebat itu? Perempuan yang rela dimadu demi menyenangkan hati suaminya." Lagi, penghulu tersenyum lalu menoleh ke area tamu yang hadir.
Apa dia bilang? Menyenangkan suaminya? Mungkin bagi lelaki lain, memiliki istri lebih dari satu adalah hal yang menyenangkan. Apalagi jika istri pertama merestui pernikahan kedua suaminya dengan istri barunya yang tak kalah rupawan. Sayangnya, aku nggak bisa seperti mereka. Saat ini aku justru tersiksa sebab sejak dulu tak pernah berniat mendua apalagi mengkhianati cinta istri pertamaku, Zilva. Keadaanlah yang memaksaku menerima ini semua.
"Dia tak bisa datang, Pak. Mungkin ingin menjaga hatinya agar tak sakit saja, tapi bapak bisa lihat jika ini adalah surat pernyataan istri saya. Sengaja saya minta dia untuk membuat pernyataan seperti ini agar tak ada suatu masalah di kemudian hari. Setidaknya ini sebagai bukti jika saya sudah izin pada istri pertama sebelum menikah lagi. Jadi, saya tak sembarangan mengambil keputusan," balasku menjelaskan.
Iya, aku memang sengaja meminta Zilva membuat pernyataan itu sebagai pegangan saat mengurus cuti kantor. Aku tak ingin menikah sembunyi-sembunyi apalagi peraturan dikantor memang tak memperbolehkan poligami kecuali atas izin istri sah.
Jadi, pernyataan Zilva inilah pegangan kuatku untuk tetap bekerja di kantor itu sebagai manager keuangan dengan aman tanpa takut ada masalah di kemudian hari. Semua sudah kupersiapkan sedemikian rupa, agar kedua rumah tanggaku bisa berjalan beriringan tanpa ada yang merasa diabaikan.
"Baiklah kalau begitu. Kita mulai akad nikah ini meski tanpa kehadiran istri pertama ya, Mas?" Aku kembali mengangguk setelah penghulu membaca surat pernyataan Zilva itu.
"Sebenarnya, laki-laki boleh menikah lagi meski tanpa izin dari istri pertama. Namun, sebagai penghulu bapak selalu menasehati mempelai laki-laki agar lebih terbuka pada istrinya jika memang ingin menikah untuk yang kedua, ketiga ataupun keempat. Jika sudah mendapatkan izin, pernikahan bisa segera dilaksanakan. Namun, jika belum diizinkan, mungkin mempelai laki-laki harus kembali berusaha dan mengajari istrinya soal agama dan bolehnya poligami apalagi demi mendapatkan keturunan yang InsyaAllah saleh dan shalehah. InsyaAllah, rumah tangga akan semakin sakinah, mawadah warahmah jika saling terbuka satu sama lain. Semua demi kebaikan bersama. Jangan sampai demi nafsu harus mengorbankan pernikahan sebelumnya," ujar penghulu panjang lebar.
Lagi-lagi aku mengiyakan lalu sedikit menjelaskan bagaimana sosok Zilva dan ketaatannya pada suami. Aku menjabat tangan Om Galih yang menatapku lekat sedari tadi.
"Kita mulai akadnya sekarang. Para saksi sudah siap?" tanya penghulu lagi.
Saksi-saksi itu pun mengangguk bersamaan. Semua khusyuk mendengarkan wejangan penghulu. Suasana yang tadi cukup berisik, kini mendadak hening.
Kulirik Lala yang duduk di samping mama dan Tante Risma. Dia terlihat begitu anggun dengan kebaya putih gadingnya sangat cantik dan mempesona.
"Saya nikah dan kawinkan anak perempuan saya yang bernama Ayunda Nurlaila dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan emas dua puluh gram dibayar tunai."
Om Galih begitu lancar mengucapkan ijabnya. Aku pun memejamkan mata sesaat lalu menarik napas panjang sebelum mengucapkan qabul.
"Saya terima nikah dan kawinnya Zilva Azzahra bin--
"Salah, Mas." Aku tercekat saat penghulu memintaku berhenti dan mengulang qabul yang kuucapkan. Mungkin terlalu sibuk memikirkan Zilva sampai aku menyebutnya saat qabul ini.
Ya Allah, mama pasti murka karena aku salah menyebut nama bahkan hingga kedua kalinya. Pikiranku benar-benar tak tenang. Aku tak bisa fokus dengan pernikahan ini sementara Zilva tak ada kabarnya hingga sekarang.
"Amran! Jangan keterlaluan kamu!" Mama menepuk pundaknya dari belakang. Kulihat kedua mata Lala berkaca-kaca. Kasak-kusuk terdengar di antara para tamu undangan. Lala dan keluarganya pasti sangat malu melihatku gagal mengucapkan qabul untuk kedua kalinya.
"Ma-- maafkan saya. Saya akan ulangi lagi," ucapku terbata. Om Galih yang sebelumnya begitu tenang, kini kulihat tatapan matanya yang nyalang. Ada emosi tertahan dalam tatapnya.
"Jangan mempermalukan keluargaku, Amran. Sudah syukur saya izinkan kamu menikah dengan Lala meski hanya sebagai istri kedua. Jika memang tak menginginkan pernikahan ini, batalkan saja. Lala anak yang cantik, berprestasi dengan karir yang bagus. Dia bahkan bisa menjadi istri pertama dari seorang pengusaha sukses. Jika tak suka, batalkan. Saya pun tak ingin merendahkan harga diri keluarga hanya untuk pernikahan seperti ini!" Om Galih menekankan tiap kata yang terucap dari bibirnya.
"Papa ...." Lala menyahut. Aku tahu dia tak mungkin setuju dengan permintaan sang papa untuk membatalkan pernikahanku dengannya.
Sejak dulu, Lala memang mencintaiku. Bahkan dia sempat pergi ke luar negeri selama dua tahun belakangan karena sakit hati karena aku lebih memilih Zilva dibandingkan dia.
Lala kembali pulang karena janji mama untuk menikahkanku dengannya. Dia pun menerima dengan senang hati meski hanya dijadikan yang kedua.
"Jangan cinta buta, Lala. Kamu cantik dan pintar. Jangan merendahkan harga dirimu sendiri seperti ini!" sentak Om Galih pada anak bungsunya. Seketika Lala terisak lalu memeluk sang mama.
Dengan matanya yang memerah, mama kembali mencubit punggungku dari belakang. Tak ingin mengulangi kesalahan yang sama, akhirnya mama memilih duduk di sampingku sembari menatapku tajam saat kembali menjabat tangan Om Galih untuk ketiga kalinya.
"Saya beri kesempatan sekali lagi, jika gagal, pernikahan ini batal!" ancam Om Galih lagi.
"Jangan begitulah, Lih. Kamu tahu sendiri kalau aku sama Risma bersahabat dekat. Sejak dulu kami ingin besanan. Tolong maafkan Amran. Dia memang kepikiran istri pertamanya itu karena tak ada kabar sejak kemarin. Harap dimaklumi ya? Saya yakin kesempatan ketiga ini akan dimanfaatkan sebaik mungkin olehnya," ucap mama dengan sedikit gugup. Mama pasti takut jika Om Galih murka dan benar-benar mencabut izinnya untuk menikahkan Lala denganku.
"Iya, Pa. Harap dimaklumi, yang penting kan anak kita akan bahagia hidup bersama orang yang dicintainya," sambung Tante Risma sembari mengusap pipi anak bungsunya dengan tissu.
"Sekali saja, Amran," tekan Om Galih lagi, aku pun mengiyakan.
Baru mengucapkan Basmallah, tiba-tiba terdengar salam dari luar. Aku menoleh ke sumber suara. Di depan pintu utama, kulihat kembali senyum tipis dari bibir perempuan cantik itu. Perempuan yang sudah membuatku tak fokus saat mengucapkan qabul sedari tadi. Zilva, akhirnya dia datang juga.
***
Zilva. Istri tercintaku itu akhirnya datang dengan gamis terbarunya. Pakaian syar'i yang membuatnya semakin terlihat cantik dan mempesona. Sungguh, dia memang istri terbaik dan nyaris sempurna andai bisa segera memberikan keturunan untukku. Namun, takdir berkata lain dan aku tak berhak menyalahkannya. Bukankah tiap manusia memang digariskan memiliki dua sisi hingga tak ada satupun yang utuh dan sempurna? "Silakan dilanjutkan, Mas. Aku akan di sini dan ikut menyaksikan pernikahan keduamu." Zilva tersenyum tipis lalu duduk di deretan paling ujung bersama tamu yang lain. Mama melotot tajam ke arahnya, tapi Zilva masih tetap tenang seolah tak ada kesedihan yang dia rasakan. Mungkinkah dia sudah berdamai dengan keputusanku ini? Entah mengapa, ketenangan Zilva justru membuatku semakin tak tenang. Aku tahu bagaimana dia yang terlalu mencintaiku. Bagaimana bisa saat aku ingin berbagi hati dengan perempuan lain, dia bisa setenang ini? Aku yakin ada sesuatu yang terjadi padanya hingga bi
"Sayang, mau ke mana?" Aku mencegah Zilva yang akan pergi begitu saja setelah mama mengusirnya dari gedung yang kusewa untuk acara pernikahan ini. Mama memang keterlaluan dan seolah tak memiliki perasaan.Seharusnya mama menyambut Zilva dengan tangan terbuka karena dia sudah merelakanku untuk menikah lagi. Itu artinya dia rela dimadu demi mengabulkan impian mama yang berharap segera mendapatkan cucu pada pernikahan keduaku ini. Zilva menghentikan langkah lalu membalikkan badan. Sesaat dia bergeming, menatapku cukup lekat lalu tersenyum tipis sembari menunjuk ke belakangku dengan dagunya. Aku tahu di belakang sana ada pesta penuh tawa dan bahagia setelah para saksi dan penghulu mengatakan pernikahan ini sah di mata agama. Aku mengerti jika masih banyak tamu yang begitu euforia dengan pernikahan keduaku ini. Mungkin mereka mengira aku juga sebahagia itu. Menikah dengan perempuan cantik dan seksi yang disetujui bahkan disaksikan oleh istri pertamanya sendiri tentu menjadi hal yang ber
"Amran! Kamu itu suami, kepala ruang tangga, harusnya kamu tegas sama istri mandulmu itu. Jangan menjadi budak cinta. Apapun yang Zilva inginkan selalu kamu turuti. Wajar kalau dia jadi ngelunjak dan manja!" Mama mulai mengomel lagi dan lagi. Seperti biasa, tiap kali aku menuruti permintaan Zilva, selalu aku yang menjadi sasaran amukannya. Padahal, bukankah hal wajar jika seorang suami menuruti permintaan istrinya? Apalagi dia tengah berduka dan sudah berkorban banyak hal untuk pernikahan keduaku ini. Wajar jika aku ingin memberikan sedikit hadiah untuknya bukan? "Siapa yang mandul, Ma? Zilva nggak mandul. Dia hanya ingin liburan, Ma. Sedikit refreshing supaya tak terus memikirkan masalah ini. Lagipula, sebelum jatah waktuku bersama Lala habis, dia juga sudah pulang. Zilva tahu tanggungjawabnya sebagai istri kok. Mama tak perlu risau. Berempatilah sedikit padanya, karena dia sudah rela dimadu demi menyenangkan hati mama. Tolong, kali ini jangan terus menyudutkan apalagi menyakiti ha
Rutinitas pengantin baru usai. Aku tak tahu apa yang kurasakan saat ini. Bahagiakah aku? Kurasa nggak begitu. Justru perasaan sedih lebih dominan dibandingkan bahagia yang hanya sesaat saja. Tiap kali melihat Lala, tiap itu juga rasa bersalah pada Zilva semakin kuat. Mengingat senyumnya yang penuh luka itu justru semakin membuatku tersayat. Aku yang berjanji membuatnya bahagia, tapi aku juga yang justru menancapkan luka di hatinya. Sesakit apapun itu, aku juga tak mungkin mengecewakan Lala dan mengabaikannya begitu saja di hari-hari pernikahanku dengannya. Seperti apapun jalannya, kini dia sudah sah menjadi istriku dan dia juga berhak atas hidupku. Momen ini tentu menjadi salah satu momen yang mendebarkan dan mungkin dia idamkan pasca akad itu. Setelah shalat subuh berjamaah di masjid, aku kembali ke kamar. Mama sepertinya juga belum bangun. Entahlah, selama ini aku sudah berusaha menasehati mama untuk rutin melaksanakan kewajiban, tapi tetap saja subuh adalah salah satu waktu shal
"Lala mana, Ran? Kenapa belum keluar?" Mama yang baru muncul dari kamar tiba-tiba duduk di sampingku. "Dia masih di kamar ganti baju, Ma." Mama kembali melirik penampilanku yang sudah cukup rapi, khas mau pergi keluar rumah. "Mau jalan-jalan ke mana memangnya?" Mama mencomot kue lapis di atas meja lalu mengunyahnya perlahan. "Ke mall beli baju." Aku membalas singkat lalu menatap mama beberapa saat. Terlihat jelas ekspresi terkejut di wajahnya bahkan Mama sempat menghentikan kunyahannya saat mendengar jawabanku.Mungkin terdengar cukup aneh bagi mama, karena baju-baju Lala memang sangat banyak. Jangankan baju yang lama, baju baru yang belum pernah dia pakai pun masih ada beberapa stel, katanya. Bahkan mama kemarin membelikannya lagi dua item dress selutut dan tiga buah lingerie dengan warna yang mencolok. "Lala nggak bawa baju?" Mama mulai menyelidik sembari melirikku. "Bawa, Ma. Ada satu koper.""Terus? Kenapa beli baju lagi jika masih ada satu koper?" Mama mulai menatapku inten
POV : ZILVADua tahun pernikahan, tak pernah sekalipun Mas Amran menghardik. Tak pernah pula menyakiti fisik dan batinku. Dia adalah lelaki yang nyaris sempurna di mataku. Aku bangga memilikinya dan aku pernah berjanji pada almarhum ibu untuk berbakti padanya sampai akhir hayat. Tak hanya padaku, Mas Amran juga begitu menyayangi ibu dan menganggapnya seperti ibu kandung sendiri. Cintanya yang tulus membuat ibu begitu mempercayainya, mengasihinya dan menjadi menantu kesayangannya. Tak hanya soal cinta yang terus tumbuh untukku, tapi Mas Amran juga bertanggungjawab lahir batin atas diriku. Tiada hari tanpa kata cinta darinya. Sejak aku membuka mata di pagi hari hingga terlelap di malam hari, Mas Amran seolah menjadikanku ratu dalam hati dan hidupnya. Dia bukan tipe suami yang hanya suka menyuruh ini dan itu, tapi dia ikut serta membantu banyak hal dalam urusan rumah tangga secapek apapun itu. Semua pekerjaan terasa ringan meski tak ada asisten di rumah ini karena ada dia yang selalu
Tak lama setelah mengancam, dua perempuan itu pergi begitu saja dari hadapanku. Kata-kata yang mama ucapkan tadi begitu menyakitkan, menancap tajam ke ulu hati dan membuat nyeri tak tertahankan. Entah sudah berapa banyak aku menangis dalam diam sejak pagi di kamar ini tiap kali mengingat kejadian itu kembali. Aku benar-benar tak menyangka jika mama tega akan mengirimkan madu untukku. Kupikir selama ini dia hanya memaksaku segera memiliki momongan saja, tapi dugaanku keliru. Mama benar-benar tak sabar memiliki cucu hingga melakukan banyak cara agar cinta Mas Amran tak lagi milikku.Mama berusaha keras agar anak lelaki semata wayangnya itu tak terlalu mencintaiku. Mama cemburu melihat tulus dan besarnya cinta Mas Amran padaku, perempuan biasa yang mama bilang tak pantas menjadi menantunya.Kecemburuan mama itulah hingga akhirnya merembet ke hal lain hingga sengaja mengompori anak lelakinya sendiri agar mau menikah lagi dengan alasan demi mendapatkan keturunan terbaik untuk keluarganya.
"Kenapa, Va? Mikirin Mas Amran lagi?" Arumi yang baru saja keluar dari kamar mandi ikut duduk bersamaku di balkon. Dia membawakanku secangkir kopi untuk sedikit menghalau gundah. "Entah, Mi. Aku memang mengizinkan dia menikah lagi, tapi rasa takut itu sering muncul tiba-tiba. Untuk saat ini, aku takut dia pergi dari hidupku selamanya. Kamu tahu kan, Mi? Bagaimana cintaku pada Mas Amran?" Arumi menghela napas lalu mengusap punggungku pelan."Cintai dia 20 % saja, Zilva. Selebihnya perkuat cintamu padaNya. Mungkin 99% laki-laki di dunia ini memang tak jauh beda, sama-sama buaya. Hanya saja ada versi brutal dan versi syar'i. Nah, Mas Amran itu versi syar'inya." Arumi mulai berceloteh. Aku hanya tersenyum tipis mendengar celotehannya, yang mungkin memang ada benarnya. "Aku benar-benar tak menyangka jika hubunganmu dengan Mas Amran yang membuat banyak orang cemburu karena terlalu romantis, harmonis dan manis itu harus berujung seperti ini, Va. Gimana nggak takut nikah coba, lihat Mas Amr