[Kami bertiga aman, Bos. Mereka semua masih di dalam. Mungkin masih pesta pora atau pembagian uang saku. Kenapa, Bos? Sudah dapat alamat Tarno?] Tak selang lama pesan dari Roby membuat Amran menghela napas panjang. Lega karena semua membalas hal yang sama. Aman. Satu kata yang dia harapkan detik ini. [Sudah, By. Ini otw sama Pak Burhan. Jalan Ahmad Dahlan nomor 62, katanya. Kalian tunggu di sana. Kalau sampai alamat itu zonk, aku akan minta tolong Boim untuk ke basecamp mereka. Biar saja mereka semua meringkuk di hotel prodeo!] Balasan dari Amran terkirim. Roby setuju dengan rencana yang Amran kirimkan. Tangan kanan Amran itu akan tetap di basecamp mereka sampai ada perintah Amran selanjutnya. "Sudah sampai jalan Ahmad Dahlan, Mas," ujar Burhan setelah membelokkan mobilnya. Amran memasukkan handphonenya kembali ke saku jaket lalu mengamati rumah sekitar. Perumahan sederhana itu tampak rapi. Suasana tak terlalu hening, mungkin karena menjelang subuh. Jadi, sebagian dari mereka sud
"Jangan bergerak!" Boim dan beberapa anak buahnya melakukan penggrebekan di basecamp para pemabuk dan penipu Amran itu. Mereka kocar-kacir sampai ada yang menabrak pintu kamar segala. Namun, sekuat apapun keinginan untuk kabur, tak bisa terlaksana karena rumah sederhana itu sudah dikepung. Mereka semua terperangkap di tempat yang sama. Anak buah Amran ikut membantu menjegal mereka satu persatu lalu Boim memberikan borgol untuk mengamankan para pelaku. Ada enam orang yang tertangkap. Permainan judi, minuman keras dan uang dari Amran yang sudah berceceran di sana-sini menjadi bukti kejahatan mereka. Sekaligus untuk menjerat mereka di pengadilan. "Kamu!" sentak salah seorang lelaki saat Amran muncul dari belakang deretan polisi. Amran tersenyum sinis. Dia tak mengenali laki-laki itu, tapi sebaliknya, laki-laki itu cukup mengenal Amran. Dia benar-benar tak menyangka jika Amran akan menjebaknya dengan cara seperti ini. Rupanya ancamannya selama ini tak membuahkan hasil. "Kenapa? Kaget
"Mas, Mbak Selly sama Ruri akhirnya mau ketemu istrinya Mas Emil. Mbak Selly sudah cek rekeningnya yang lama, ternyata memang benar kalau selama ini Mas Emil kirim uang bulanan buat Ruri. Mungkin karena itu pula Mbak Selly sedikit luluh. Setidaknya, Mas Emil nggak seburuk yang dia kira." Zilva memijit kaki Amran yang pegal-pegal sembari menceritakan kakak iparnya. Selly memang ikut bersama Emil ke kampung halamannya. Dia tak tega melihat Yunda yang begitu mengharapkan kedatangannya. Walau bagaimanapun, Selly sadar jika semua sakit yang dialaminya selama ini karena keegoisannya sendiri. Cinta butanya pada Emil membuatnya salah langkah dan menghalalkan segala cara. Namun, selama ini pula dia gengsi untuk mengakui kesalahannya sendiri. Selly merasa paling tersakiti, padahal Emil dan Yunda pun mengalami sakit yang sama. Saat cinta mereka tumbuh bahkan rencana menikah sudah tercipta, mereka terpaksa berpisah karena sandiwara palsu Selly untuk menjebak Emil sebagai suaminya. "Syukurlah,
"Deswita itu siapa, Mas? Kenapa dia sepertinya tahu banyak tentang kamu?" ulang Zilva membuat Amran kembali mengerjapkan kedua matanya. Amran mengernyit lalu bergeming. Dia masih berpikir dan benar-benar belum mengingat siapa yang dimaksud Zilva hingga membuat istrinya cemberut dan mencebik kesal. "Siapa sih, Sayang? Beneran nggak ingat? Apa dia karyawan di cafe kita?" tanya Amran sembari menatap lekat istrinya. "Mana ada karyawan kita yang bernama Zilva, Mas. Kamu ini aneh-aneh saja." Zilva mulai mengomel karena ingatan suaminya cukup payah menurutnya. "Beneran nggak ingat, Zilva Sayang. Biasanya kalau namanya tak kuingat itu berarti nggak terlalu penting untuk hidupku. Ngapain kamu cemberut begitu? Cemburu?" goda Amran sembari mencolek dagu Zilva yang terus bersungut kesal. "Dia paham kamu banget kok, Mas. Masa iya nggak kenal dan nggak ingat.""Memangnya kamu ketemu dia dimana, Sayang?" tanya Amran masih dengan lembut dan sabar. Dia berusaha tak terpancing emosi istrinya. "Ak
"Kenapa kamu diam saja, Sel? Masih marah atau kesal karena masa lalu kita yang terlalu rumit?" tanya Emil saat dalam perjalanan menuju tempat tinggalnya di Jogjakarta. "Marah atau kesal juga nggak ada guna. Aku cuma berharap pertemuan ini semakin cepat dan usai." Selly membalas sekenanya sembari mengusap pelan Ruri yang terlelap di pangkuannya. "Maafkan aku karena sudah membuatmu sakit hati." Kata-kata itu terdengar kembali dan Selly hanya membalas dengan helaan napas. Tatapannya ke luar jendela bus yang kini ditumpanginya. Selly malas ngobrol lebih jauh dengan mantan suaminya itu, apalagi tentang masa lalu mereka. "Ayunda pasti senang sekali melihat kedatanganmu bersama Ruri. Sejak pagi dia menelepon dan menanyakan jawabanmu." Tak ada balasan, Selly tetap fokus dengan pemandangan yang menyejukkan matanya. "Ada banyak hal yang ingin diceritakannya padamu, Sel." Lagi-lagi Selly hanya diam lalu menoleh sekilas. "Aku malas membahas masa lalu." Selly berujar lirih. "Bukan mas
"Itu rumah kami," tunjuk Emil pada Selly yang baru turun dari taksi. Rumah minimalis dengan warna abu muda itu terlihat asri dengan beberapa tanaman menghiasi halaman kecilnya. Selly mengangguk lalu membantu Ruri mengambil ranselnya. "Itu rumah papa dan Tante Yunda?" tanya Ruri kemudian. Gadis kecil itu nggak mau memanggil bunda sekalipun Emil sudah mengajarinya berulang kali. Dia tetap senang dengan sebutan Tante untuk istri kedua papanya itu. Selly tak pernah mengajari hal-hal buruk pada anaknya sekalipun sakit di dadanya masih jelas terasa, tapi Ruri memiliki keputusan sendiri yang tak bisa dipaksa oleh siapapun, termasuk papanya. "Kalau di rumah papa, Ruri juga tetap nggak mau memanggil bunda?" tanya Emil saat itu dengan senyum tipisnya. Namun, Ruri menatap lekat papanya yang masih begitu berharap jika Ruri bisa memanggil bunda pada Yunda. Bukan tanpa alasan harapan itu muncul, sebab Yunda merasa bahagia jika kehadirannya bisa diterima oleh Selly dan anak semata wayangnya
"Aku di sini." Hanya itu ucapan Selly saat muncul di ambang pintu rumah sederhana itu. Yunda tersenyum. Saat menatap sahabatnya itu, ada rasa sesak dalam hati Selly. Benar yang diucapkan Emil, Yunda yang sekarang memang sangat berbeda dengan Yunda yang dikenal Selly dulu. Tubuh kurus dan sedikit berkeriput makin membuatnya terlihat berbeda. "Kamu pasti kaget kan, Sel? Nggak menyangka kalau aku seperti ini?" Ada tawa mengejek yang terlukis di bibir Yunda. Dia sedang menertawakan dirinya sendiri justru membuat batin Selly terasa perih. Walau bagaimanapun, Yunda pernah menjadi tempatnya bercerita dan berkeluh kesah, tempatnya mencari tawa dan bahagia saat mendapatkan masalah di rumah. Yunda pernah menjadi bagian dari hari-harinya yang membahagiakan. Dulu, iya dulu. Sebelum semuanya hancur berantakan karena pengkhianatan Selly sendiri. Argh! Mengingat semua itu Selly merasa malu, tapi tiap kali mengingat Yunda berhasil merebut Emil kembali, membuat Selly tersulut emosi lagi dan lagi.
"Maafkan aku, Sel," lirih Yunda di pundak sahabatnya. Selly menggeleng cepat. "Bukan kamu yang seharusnya minta maaf, Yun, tapi aku. Aku yang terlalu banyak salah sama kamu. Aku yang ambisius tiap kali menginginkan sesuatu. Aku yang nggak pernah mau mengalah. Aku yang egois dan mau menang sendiri. Aku yang nggak peduli dengan perasaan orang lain yang penting aku sendiri bahagia. Aku yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan sesuatu yang kusuka. Maafkan aku, Yun. Aku memang senorak itu dulu," ujar Selly di sela isak yang sedari tadi ditahannya setengah mati."Kamu nggak seburuk itu, Sel. Kamu tetap menjadi sahabat terbaikku. Cuma kamu sahabat yang kupunya selama ini. Kamu tahu itu. Sekalipun ada masalah di antara kita, aku tetap tak bisa membencimu sepenuhnya. Hanya kecewa saja sampai akhirnya aku sadar jika pernikahanmu dengan Mas Emil waktu itu bagian dari takdirmu. Kini, barulah aku merasakan takdirku." Yunda mencoba tersenyum meski setengah terpaksa. Perlahan Selly menyeka k