"Pergi kamu dari sini dan jangan pernah ganggu anakku lagi!" sentak mama sembari menunjuk pintu gerbang. Aku beranjak dari kursi lalu mengusap lengan mama perlahan. Jangan sampai mama shock dan hipertensi lagi gara-gara masalah ini. Mas Amran bisa makin pusing jika mama sakit. Dia pasti juga aman emosi saat tahu sakit mama karena kedatangan Mas Emil. Aku tak ingin menambah masalah baru padanya. Dia sudah cukup pusing mengurus masalah restoran yang terbakar. "Istighfar, Ma. Kita dengarkan penjelasan Mas Emil dulu. Sebenarnya dia mau apa," ujarku lirih sembari menenangkan mama yang mulai merah padam. "Buat apa?! Toh selama ini dia nggak pernah mengurusi Nuri. Jangankan datang untuk menjenguk, kasih nafkah saja nggak." Mama berucap sengit. Mas Emil sempat akan menjawab, tapi mama kembali memberondongnya dengan pertanyaan. "Apa? Mau membantah? Selly sekarang kerja kantoran lagi. Dia makin cantik dan punya banyak teman. Dunianya berubah jauh lebih baik dibandingkan saat bersamamu. Jadi
Mama bergeming saat Mas Emil izin mengajak Mbak Selly bertemu dengan istrinya, Ayu. Namun, tak selang lama mama mengangguk. "Terserah Selly saja dia mau atau nggak bertemu dengan istrimu, Mil. Kalau dia mau ya silakan, tapi kalau nggak mau jangan pernah memaksanya." Mas Emil mengangguk lalu menghela napas lega. "Apa Selly sudah punya calon suami lagi, Ma?" Mama menoleh lagi."Ngapain tanya soal begitu? Sudah ada atau belum bukan hak kamu untuk tahu.""Saya tahu, Ma. Cuma kalau sudah ada calon, takutnya dia akan cemburu kalau saya bertemu kembali dengan Selly apalagi mengajaknya pergi bertemu Ayu. Apa sebaiknya saya izin sama calonnya juga?" Mas Emil mendongak, menatap mama beberapa saat. "Mama rasa nggak perlu. Toh kalian nggak ada hubungan apa-apa dan Selly pasti bisa menjelaskan sama calonnya.""Berarti Selly memang sudah punya calon, Ma?" Lagi, pertanyaan yang sama terulang dari bibir Mas Emil. Aku hanya memperhatikan mama dan mantan menantunya itu ngobrol tanpa ikut menyela. "
Aku nggak akan membiarkan Mbak Selly di sini sendirian. Rasanya trauma saat membayangkan kakak iparku itu nyaris bu nuh diri karena kepergian Mas Emil dulu. Kejadian mengerikan itu masih saja terbayang di benakku hingga kini. Meski Mbak Selly telah berubah, tapi kutahu jika luka dan sakit hatinya masih belum sepenuhnya sembuh apalagi saat ini bertemu kembali dengan pemantik luka itu sendiri."Ngapain kamu datang ke sini setelah dua tahun menghilang, hah?!" Mbak Selly meradang. Dia menunjuk Mas Emil dengan garang. "Ada banyak hal yang tak kamu ketahui, Sel." "Memang, Mas. Banyak sekali hal yang nggak aku tahu tentangmu, bahkan saat dulu kamu menyembunyikan istri keduamu." Mbak Selly bersedekap lalu menatap lurus ke depan, tanpa menoleh sedikitpun ke arah mantan suaminya itu. "Maafkan aku, Sel. Tak bermaksud mengkhianatimu, tapi-- "Tapi memang berkhianat. Sudahlah. Tak perlu membahas hal memuakkan itu. Jawab saja pertanyaanku, kenapa baru datang setelah nyaris dua tahun menghilang?
Dua hari Emil berada di Jakarta demi mewujudkan permintaan istrinya. Yunda benar-benar ingin bertemu bahkan sering mengigau nama Selly, makanya mau tak mau Emil berusaha mengabulkan permintaan sang istri yang dia bilang sebagai permintaan terakhirnya.Selama dua hari itu, Emil berusaha keras meyakinkan Selly agar mau ikut dengannya ke kampung halamannya di Jogjakarta. Sebenarnya Emil tak bisa menunggu terlalu lama di kota metropolitan itu karena istri dan anaknya menunggu di rumah. Kedua perempuan yang begitu disayangi Emil itu terpaksa dia titipkan pada tetangga karena nggak mungkin meninggalkan mereka berdua tanpa ada yang menjaganya. Selama di Jakarta, Emil lebih sering menghabiskan waktunya bersama Ruri, anak pertamanya dengan Selly yang kini berusia tujuh tahun. "Pa, kenapa papa baru jenguk Ruri sekarang? Padahal Ruri kangen sekali sama papa." Gadis kecil itu kembali memeluk papanya. Kerinduannya membuncah, Ruri sangat bahagia bisa bertemu dengan sang papa kembali setelah sekia
[Saya tahu dimana Tarno berada] Pesan singkat muncul di layar handphone Amran. Laki-laki itu terkesiap. Gegas meletakkan cangkir kopinya lalu fokus mengamati nomor dan pesan baru yang baru saja terbaca. Tak membalas, Amran masih bergeming di tempatnya. Dia heran kenapa pengirim pesan itu bisa tahu nomor handphonenya. Nomor yang jelas cukup privat dan nggak sembarang orang tahu. "Jangan-jangan dia tahu nomorku dari Tarno dan mereka bersekongkol menjebakku untuk mendapatkan uang." Amran mulai menerka-nerka. Tak lama, senyumnya mengembang seketika. [Dimana dia?]Balasan singkat itu sengaja Amran kirimkan untuk menjebak balik mereka. [Kalau kamu kasih aku tiga puluh juta saja, aku akan memberitahukan keberadaan Tarno padamu. Jika tidak, maaf, aku nggak bisa membantu]Amran hanya tersenyum tipis saat membaca balasan itu. Sebuah balasan yang sudah dia prediksi sebelumnya. Nyatanya benar jika ada udang di balik batu. Ada motif tersendiri dari pengirim pesan misterius itu. [Aku bukan ba
[ingat, jangan pernah lapor polisi jika nggak mau istri dan anak lelakimu kenapa-kenapa! Masukkan uang itu ke kantong kresek hitam dan buang di tong sampah samping apotek Husada. Setelah anak buahku berhasil mengambilnya, aku akan memberitahumu dimana Tarno berada.] Pesan dari nomor tak dikenal itu kembali muncul di WhatsApp Amran. Saat ini, Amran masih mengikuti ancaman laki-laki itu untuk tak lapor polisi, tapi dia memiliki rencana lain untuk menjebak pelakunya. Joko, Burhan dan Roby akan siap membantu. Bahkan Roby meminta dua anak buahnya untuk turut serta. Mereka diam-diam melakukan rencana sesuai perintah Amran untuk mengawasi sekitar apotek Husada. Amran sendiri yang akan ke sana untuk mengirimkan uangnya. Setelah uang diambil anak buah pengancam itu, anak buah Amran akan mengikuti kemanapun pengambil uang itu akan pergi. Dengan begitu, semua akan terbongkar perlahan. Jikalaupun nanti laki-laki pengancam itu ingkar dan tak memberitahu keberadaan Tarno, setidaknya Amran sudah
Suasana terlihat sangat sepi saat Amran sampai di lokasi yang sudah ditentukan, apotek Husada. Kedua matanya sibuk mencari tong sampah yang dimaksud pengirim pesan misterius itu. Sembari menjinjing kantong kresek hitam, Amran mengamati sekitar. Hening. Tak ada seorang pun yang dia temukan di tempat itu. Amran yakin anak buahnya sudah datang dan kini mereka sedang mengawasinya. Tak hanya anak buahnya, mungkin bos dan anak buah pengirim pesan itu pun sudah datang. Hanya saja mereka diam danengawasi Amran dari jauh. Mereka tentu mengantisipasi semuanya. Jika dikira gagal, mereka akan segera pergi tanpa meninggalkan jejak lagi di sana. Di tengah keheningan, Amran sedikit kaget saat handphone di saku celananya bergetar. Tak menunggu lama, dia segera mengambil benda pipih itu dan membaca pesan yang masuk ke WhatsAppnya. [Jangan kebanyakan mikir. Lekas masukkan uang itu ke tong sampah di belakangku dan pergi dari sini secepatnya. Ingat, aku nggak akan memberitahumu soal Tarno jika ada ya
Laki-laki berjaket hitam itu buru-buru melewati jalan-jalan sempit di sana untuk sampai ke basecamp. Dia sengaja jalan kaki agar lebih aman, tak terdengar dan tak terlihat siapapun. Sayangnya, anak buah Amran sudah mengawasinya sejak laki-laki itu belum muncul di depan apotek. Jalanan teramat sepi saat laki-laki misterius itu melangkahkan kaki menuju tempat yang ditentukan bosnya. Sedikit khawatir dan merasa diikuti, dia sering menghentikan langkah lalu menoleh ke kanan, kiri dan ke belakang. Perasaannya tak tenang dan merasa benar-benar diawasi segala gerak-geriknya. Namun, tiap kali menoleh suasana tetap sama. Hening. Hanya terdengar deru kendaraan di kejauhan karena kini dia mulai masuk ke gang-gang sempit yang tak cukup dilewati mobil. "Sial! Kaya ada yang mengawasiku!" gumamnya sembari mempercepat langkah. Mendadak dia punya ide untuk bersembunyi di belakang tembok. Sengaja ingin memergoki siapapun yang mengikutinya. Cukup lama laki-laki itu diam. Tak selang lama, muncul seor