"Mas, kamu kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi?" Aku pun ikut panik melihatnya sekusut itu. "Ada sesuatu yang terjadi, Dek. Sebentar aku ambil minum dulu ya?" Mas Amran mengusap puncak kepalaku lalu buru-buru melangkah ke dapur. Aku masih mengikutinya dan duduk di kursi makan saat Mas Amran mengambil mengambil air dingin dari kulkas dan meminumnya hingga separuhnya. Keningnya berkeringat, sesekali mengacak rambutnya kasar. Sepertinya Mas Amran begitu frustasi, membuatku semakin cemas dan penasaran apa yang membuatnya seperti ini. "Mas, kalau sudah tenang, ceritakan semuanya padaku ya? Kalaupun ada masalah, kita bisa selesaikan sama-sama. Jangan kamu pendam sendiri, nanti bisa membuatmu sakit. Aku nggak mau kamu sakit, Mas. Aku mencintaimu dan membutuhkanmu." Entah mengapa, kalimat panjang itu meluncur begitu saja. Aku yang biasanya tak pandai bicara dan mengungkapkan rasa, mendadak seperti guru yang sedang menasehati anak muridnya. Mas Amran sampai tercekat lalu tersenyum tipis
"Sengaja melakukannya, Mas?" Mas Amran mengangguk. Dadaku kembali berdebar kuat. Apakah dunia bisnis memang sekejam itu? Bersaing tak sehat yang menghalalkan segala cara untuk membuat rivalnya jatuh. Namun, apakah kejadian di restoran kami murni karena persaingan bisnis? Bukan karena kebencian atau dendam yang lain? "Entahlah, Dek. Kenapa restoran kita saja yang terbakar sementara restoran lain yang tak jauh dari kita aman-aman saja. Polisi sudah menyelidiki kasus ini dan mereka bilang nggak ditemukan ledakan gas atau apa. Sepertinya memang murni dibakar." "Astaghfirullah." Aku menutup mulut dengan telapak tangan saking kagetnya. "Satpam kok nggak kasih tahu kita kalau cctvnya rusak sih, Mas? Mereka nggak cek tiap hari?" Aku mulai menduga-duga saking bingungnya. "Pak Burhan cuti pulang kampung, ibunya meninggal, Dek. Satpam yang baru itu mungkin agak sungkan mau lapor-lapor. Dia bilang masih berusaha memperbaiki cctvnya sebelum kebakaran terjadi." Aku mengernyit. Satpam itu
Suasana depan AmRaz cafe mendadak riuh. Petugas pemadam kebakaran telah selesai menjalankan pekerjaannya dengan baik. Api yang sebelumnya berkobar kini telah padam. Seperti dugaanku, restoran itu habis dilalap si jago merah. Tak ada yang tersisa, kecuali puing-puing runtuh menjadi arang dan abu yang bertebaran di lokasi kejadian. Mas Amran masih berkeliling, mengamati jerih payahnya yang dulu megah kini tinggal puing-puing. Kulihat ada duka dalam tatapnya, tapi saat bersirobok denganku, laki-laki itu mencoba tersenyum lalu seolah memiliki kekuatan baru dia berjalan tergesa menghampiriku. "Polisi akan usut semuanya, Dek. Jadi, kita tunggu saja apakah cafe kita benar-benar murni kebakaran atau karena sengaja dibakar." "Soal itu serahkan sama pihak berwajib saja, Mas. Sengaja dibakar atau tidak, tak akan mengembalikan cafe kita. Jadi, lebih baik kita fokus sama karyawan untuk kasih gaji dan pesangonnya. Kita nggak mungkin membawa mereka semua ke cafe baru kita. Di sana sudah ada kar
"Saya minta maaf jika selama menjadi atasan kalian cukup sering membuat kalian tak nyaman. Namun, di balik sikap tegas itu, saya hanya berharap kalian lebih bertanggungjawab atas pekerjaan kalian masing-masing. Tak hanya saat bekerja dengan saya, tapi juga saat bekerja di tempat lain." Mas Amran menatap karyawan cafe kami satu persatu. Mereka semua terlihat lesu dan tak bersemangat dua hari belakangan. Sejak cafe terbakar, mereka memang tak lagi bekerja. Makanya Mas Amran meminta mereka datang untuk membicarakan kontrak kerja mereka. "Ibu juga minta maaf jika banyak salah sama kalian selama ini. Ibu harap kalian bisa lebih sukses setelah ini. Kalian tahu sendiri keadaan cafe sudah ludes terbakar. Tak adalagi yang tersisa. Kalaupun bangun ulang, nggak mungkin instan. Saya dan Pak Amran masih memikirkan lokasi yang pas untuk pembangunan cafe yang baru. Kalian nggak mungkin menganggur sampai cafe launching kan?" Aku sebenarnya tak sanggup jika harus bilang pada mereka soal pemberhentia
"Va, cafenya kebakaran?" Mama dan Ruri tiba-tiba muncul di teras rumah dengan tergesa saat aku dan Rafka melihat ikan koi di kolam. "Ya Allah, Va. Kok bisa?" Mama masih saja gugup. Sepuluh hari belakangan mama dan Mbak Selly sedang umrah bersama dan hari ini baru pulang. Aku tak menyangka jika mama buru-buru ke sini untuk melihat keadaanku pasca kebakaran itu terjadi. Mas Amran sengaja tak memberi tahu mama saat di Mekkah, takut mengganggu ibadahnya. Mungkin saat menjemput mama dan Mbak Selly ke bandara tadi dia baru jujur soal cafe itu pada mama. "Padahal mama berdoa supaya kalian selalu bahagia dan usaha-usaha kalian laris dan berkah." Mama tertunduk di kursi teras sembari meletakkan tas kecil dan satu kantong kresek entah isinya apa. Mungkin oleh-oleh yang mama beli dari Tanah Haram sana. Perlahan kugendong Rafka kembali, lalu menyalami mama dan mencium kedua pipinya. Ruri pun mencium punggung tanganku lalu mengajak Rafka ke ruang tengah. Aku duduk di kursi teras sebelah mam
"Ada apa, VA? Siapa yang mengirimi pesan?" Melihat ekspresiku yang terkejut, Mama ikut penasaran dengan pesan yang kini kubaca. Tanpa berkata apapun, aku memperlihatkan pesan dari Mas Amran barusan pada mama. "Tarno? Siapa itu, Va? Mama nggak pernah dengar kalian punya karyawan bernama Tarno." Mama mengernyit sembari berpikir. "Iya, Ma. Dia memang satpam baru yang Mas Amran pekerjakan dua minggu lalu sebelum mama umrah. Sebenarnya Tarno bekerja di bagian kurir atau antar pesanan. Hanya saja Pak Burhan belum pulang karena masih mengurus ibunya yang sakit, makanya sementara waktu kami minta Tarno untuk menggantikan Pak Burhan. Zilva juga tak habis pikir kenapa Mas Amran bilang Tarno terlibat dalam pembakaran cafe itu." Aku kembali beristighfar lalu mengusap wajah pelan. Rasanya seperti mimpi karena mendapatkan kejutan bertubi-tubi. Belum kelar masalah kebakaran cafe, kini kembali dikejutkan soal Tarno yang terlibat dalam insiden itu. Selama ini dia bekerja dengan baik, nyaris tak p
[Jadi, maksud kamu Tarno karyawan baru kita itu terlibat pembakaran cafe kita, Mas?] Meski pesan yang dikirimkan Mas Amran sudah menjurus ke nama itu. Namun, tetap saja aku merasa perlu diyakinkan kembali jika pesan yang Mas Amran kirimkan tak keliru. Laki-laki yang sempat memohon pekerjaan padaku dan Mas Amran untuk biaya berobat sakit kanker ibunya itu memang benar-benar terlibat dalam hancurnya cafe pertama kami. [Iya, Sayang. Dia terlibat, makanya menghilang pasca kebakaran. Ternyata dia memanfaatkan rasa iba dan peduli kita] Kubaca kembali pesan dari Mas Amran. Dari kalimatnya seolah menyesal sudah peduli dan iba dengan Tarno. Semoga saja hanya pada Tarno saja penyesalannya dan tetap peduli dengan yang lainnya. Namanya juga kehidupan, pasti akan ada yang baik dan ada pula yang buruk, ada yang jujur ada yang dusta. Seperti peribahasa air susu dibalas dengan air tuba, ada pula perbuatan baik yang dibalas dengan perbuatan buruk. Mungkin inilah yang terjadi padaku dan Mas Amran s
"Mi ... kamu masih mendengar suaraku kan?" Arumi kembali berdehem. "Memangnya Mas Radit itu pro poligami? Apa dia sengaja memancingmu untuk membahas itu?" Aku kembali bertanya. "Aku nggak tahu dia pro poligami atau nggak, Va. Cuma dia bilang kalau lelaki boleh memiliki istri sampai empat. Itu saja yang dia ucapkan. Kadang keyakinanku luruh saat mengingat ucapannya itu. Aku takut kejadian kamu dan Lala menimpa padaku juga. Apa aku bakal sekuat dan setengah kamu jika itu terjadi?!" Arumi kembali terdiam. Aku tahu saat ini dia kembali bimbang. Saat akan melangkah ke jenjang lebih serius, kebimbangan dan ketakutan itu kadang memang muncul dan tenggelam. Syetan sengaja mengaduk-aduk perasaan calon pengantin agar membatalkan pernikahan dan menjadikan keduanya saling curiga satu sama lain. Namun, jika memang istikharah dilakukan dan mantap dengan orang yang sama, tak perlu ditunda terlalu lama. Pasrahkan dan selimuti dengan doa agar Allah menjaga pasangan-pasangan kita untuk tetap di jal