Muhammad Rafka Al-Ghifari. Nama yang akhirnya kami pilih untuk malaikat kecil itu. Berharap kelak bisa menjadikan Rasullulah sebagai suri tauladannya, menjadi anak lelaki yang bersinar dengan sikap terpuji dan senantiasa bersemangat mencari rezeki halalNya. Syukuran kecil-kecilan digelar untuk memperingati aqiqah Rafka. Banyak tetangga yang datang untuk meramaikan acara dan memberikan doa-doa. Keluarga Mbak Selly dan Prilly pun datang dengan senyum bahagia. Mereka bersyukur memiliki keponakan laki-laki yang kini di pangkuan Mbak Selly. Mama pun menyiapkan nasi kotak yang sudah dikirim oleh pihak catering. Aneka camilan dan minuman kemasan disiapkan untuk jamuan. Semakin lama tamu semakin banyak yang datang. Tetangga sekitar dan beberapa teman Mas Amran saja yang diundang karena memang hanya syukuran kecil-kecilan. "Selamat ya, Zilva. Setelah sekian lama akhirnya kamu dan Amran punya buah hati tampan dan sholeh. Penantian yang membuahkan hasil sempurna," ucap Mbak Hanum dengan senyu
Waktu terus bergulir. Tepat tiga bulan usia Rafka, akhirnya aku dan Mas Amran berhasil membuka AmRaz Resto cabang kedua. Restoran ini bersebelahan dengan taman kota yang cukup strategis. Konsepnya sama dengan restoran utama, menu seafood sebagai andalan. Bedanya di sini ada beragam menu gurita mulai dari gurita asam pedas manis, gurita saos Padang, sambal baby gurita, gurita crispy dan lain sebagainya, sementara di resto pertama belum ada menu ini. Soal Tempat makan, di sini juga sama saja. Ada yang lesehan, ada pula yang duduk di kursi dengan nuansa instagramable banget sehingga cocok untuk berfoto ria. Anak-anak muda biasanya gemar mengunduh foto-foto mereka ke sosial media. Dengan begitu secara tak langsung mereka juga akan mempromosikan resto ini di dunia maya. "Aku benar-benar nggak menyangka jika di balik ujian itu ada hikmah luar biasa yang bisa kita petik detik ini, Sayang. Kamu dan Rafka adalah anugerah terbesar untuk hidupku. Jangan pergi, menua dan berbahagialah selalu d
"Kamu beneran mau ta'aruf, Mi?" tanyaku pada Arumi yang baru saja datang dengan semringahnya. "Serius, Va. Masa bohong sih?" Aku manggut-manggut. "Ta'aruf sama siapa? Zikri? Mas Zain atau siapa?" Aku pun penasaran sebab selama ini Arumi tak cerita apapun, tapi sekarang justru kudengar kabar membahagiakan seperti ini darinya. Dia terlihat santai dan menikmati, jadi kurasa Arumi tak menolak proses ini. "Sebenarnya nggak ta'aruf-ta'aruf banget sih, Va. Soalnya aku mau dijodohkan dengan saudara jauh mama. Namanya Radit. Usianya 27 tahun, cuma beda setahun dariku." Arumi kembali menjawab pertanyaanku dengan senyum tipis. "Kalian sudah kenal sebelumnya?" "Kenal banget sih nggak ya. Cuma beberapa kali sempat ketemu di acara keluarga besar." Aku manggut-manggut lagi. "Dia seorang wakil kepala sekolah." Arumi kembali menatapku. "Waw, karir yang bagus di usianya yang masih tergolong muda." Aku pun tersenyum tipis lalu menidurkan Rafka ke ranjangnya. "Mau tahu fotonya?" Arumi kembali sen
[Va, aku mau menikah] Setelah sekian lama menunggu jawaban istikharah Arumi, akhirnya kudapatkan kabar membahagiakan itu darinya. Dia akan menikah di usianya yang menginjak dua puluh enam tahun. Akhirnya sahabat terbaikku itu sadar juga jika memiliki pasangan akan membuat hidupnya yang kelabu lebih berwarna. Arumi harus mengontrol dirinya sendiri untuk tak melulu melanglang buana dan pergi ke sana-sini dengan bebas. Dia juga harus memikirkan masa depan, salah satunya memiliki pasangan. [Serius sama Mas Radit? Jadi ibu wakil kepala sekolah dong nanti. Selamat ya, Mi. Aku senang sekali mendengar kabar ini. Akhirnya sahabatku laku juga] Kububuhi emoticon tawa di bagian akhir pesan yang kukirimkan. Aku dan Arumi biasa bercanda soal itu, asalkan tak terlalu membuatnya sakit hati. Namun, jika ada yang mengoloknya sebagai perawan tua secara terang-terangan, aku maju untuk membela. Meski Arumi menanggapinya dengan santai, tapi aku tahu dalam hatinya sedikit kecewa dan terluka. [Iya sa
"Mas, kamu kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi?" Aku pun ikut panik melihatnya sekusut itu. "Ada sesuatu yang terjadi, Dek. Sebentar aku ambil minum dulu ya?" Mas Amran mengusap puncak kepalaku lalu buru-buru melangkah ke dapur. Aku masih mengikutinya dan duduk di kursi makan saat Mas Amran mengambil mengambil air dingin dari kulkas dan meminumnya hingga separuhnya. Keningnya berkeringat, sesekali mengacak rambutnya kasar. Sepertinya Mas Amran begitu frustasi, membuatku semakin cemas dan penasaran apa yang membuatnya seperti ini. "Mas, kalau sudah tenang, ceritakan semuanya padaku ya? Kalaupun ada masalah, kita bisa selesaikan sama-sama. Jangan kamu pendam sendiri, nanti bisa membuatmu sakit. Aku nggak mau kamu sakit, Mas. Aku mencintaimu dan membutuhkanmu." Entah mengapa, kalimat panjang itu meluncur begitu saja. Aku yang biasanya tak pandai bicara dan mengungkapkan rasa, mendadak seperti guru yang sedang menasehati anak muridnya. Mas Amran sampai tercekat lalu tersenyum tipis
"Sengaja melakukannya, Mas?" Mas Amran mengangguk. Dadaku kembali berdebar kuat. Apakah dunia bisnis memang sekejam itu? Bersaing tak sehat yang menghalalkan segala cara untuk membuat rivalnya jatuh. Namun, apakah kejadian di restoran kami murni karena persaingan bisnis? Bukan karena kebencian atau dendam yang lain? "Entahlah, Dek. Kenapa restoran kita saja yang terbakar sementara restoran lain yang tak jauh dari kita aman-aman saja. Polisi sudah menyelidiki kasus ini dan mereka bilang nggak ditemukan ledakan gas atau apa. Sepertinya memang murni dibakar." "Astaghfirullah." Aku menutup mulut dengan telapak tangan saking kagetnya. "Satpam kok nggak kasih tahu kita kalau cctvnya rusak sih, Mas? Mereka nggak cek tiap hari?" Aku mulai menduga-duga saking bingungnya. "Pak Burhan cuti pulang kampung, ibunya meninggal, Dek. Satpam yang baru itu mungkin agak sungkan mau lapor-lapor. Dia bilang masih berusaha memperbaiki cctvnya sebelum kebakaran terjadi." Aku mengernyit. Satpam itu
Suasana depan AmRaz cafe mendadak riuh. Petugas pemadam kebakaran telah selesai menjalankan pekerjaannya dengan baik. Api yang sebelumnya berkobar kini telah padam. Seperti dugaanku, restoran itu habis dilalap si jago merah. Tak ada yang tersisa, kecuali puing-puing runtuh menjadi arang dan abu yang bertebaran di lokasi kejadian. Mas Amran masih berkeliling, mengamati jerih payahnya yang dulu megah kini tinggal puing-puing. Kulihat ada duka dalam tatapnya, tapi saat bersirobok denganku, laki-laki itu mencoba tersenyum lalu seolah memiliki kekuatan baru dia berjalan tergesa menghampiriku. "Polisi akan usut semuanya, Dek. Jadi, kita tunggu saja apakah cafe kita benar-benar murni kebakaran atau karena sengaja dibakar." "Soal itu serahkan sama pihak berwajib saja, Mas. Sengaja dibakar atau tidak, tak akan mengembalikan cafe kita. Jadi, lebih baik kita fokus sama karyawan untuk kasih gaji dan pesangonnya. Kita nggak mungkin membawa mereka semua ke cafe baru kita. Di sana sudah ada kar
"Saya minta maaf jika selama menjadi atasan kalian cukup sering membuat kalian tak nyaman. Namun, di balik sikap tegas itu, saya hanya berharap kalian lebih bertanggungjawab atas pekerjaan kalian masing-masing. Tak hanya saat bekerja dengan saya, tapi juga saat bekerja di tempat lain." Mas Amran menatap karyawan cafe kami satu persatu. Mereka semua terlihat lesu dan tak bersemangat dua hari belakangan. Sejak cafe terbakar, mereka memang tak lagi bekerja. Makanya Mas Amran meminta mereka datang untuk membicarakan kontrak kerja mereka. "Ibu juga minta maaf jika banyak salah sama kalian selama ini. Ibu harap kalian bisa lebih sukses setelah ini. Kalian tahu sendiri keadaan cafe sudah ludes terbakar. Tak adalagi yang tersisa. Kalaupun bangun ulang, nggak mungkin instan. Saya dan Pak Amran masih memikirkan lokasi yang pas untuk pembangunan cafe yang baru. Kalian nggak mungkin menganggur sampai cafe launching kan?" Aku sebenarnya tak sanggup jika harus bilang pada mereka soal pemberhentia