"Aku dijodohkan dengan cowok yang kucinta, tapi dia pacar sahabat dekatku." Kehidupan Safia harus berupa total saat dia harus menikah dengan Jevin, pacar Embun sahabat akrabnya. Tentunya, persahabatan kedua gadis itu berada di ujung tanduk. Meskipun Safia dan sevin menolak perjodohan itu tak terelakkan. Mampukah Safia menghadapi sikap dingin Jevin padanya. Makan setelah menikah lelaki itu masih menunggu Embun di belakangnya.
View MoreSeorang gadis mungil tampak sedang memacu motor matic dengan kecepatan yang lumayan tinggi. Nama gadis itu adalah Safia. Dirinya harus mengebut karena baru saja mendapat pesan dari sang kekasih.
Kekasih Safia yang bernama Vino menyuruh ceweknya untuk segera datang ke taman yang selalu mereka datangi kala berkencan. Entah hanya untuk nongkrong atau sekedar joging bersama.
Setelah memarkir motor kesayangan, Safia bergegas menuju tempat di mana Vino sudah menunggu. Gadis itu mendekati pemuda yang sedang duduk di bangku taman dengan pandangan yang menerawang.
"Vin!"
Panggilan Safia menyadarkan Vino dari lamunannya. Cowok berhidung bangir itu tersenyum pada sang gadis.
"Fia, maaf kalau selama ini sudah buat kamu bingung dan bertanya-tanya," ucap Vino pelan ketika ceweknya telah duduk di sampingnya.
"Ya nih, tiba-tiba saja kamu menghindar, ada apa?" tanya Safia dengan polosnya.
Tiga bulan ini tiba-tiba Vino sangat susah dihubungi oleh Safia. Jangankan jalan berdua, menerima telepon darinya saja susah. Alasannya adalah sibuk dengan projek barunya.
"Ini mungkin berat, tapi aku harus jujur," ujar Vino dengan tatapan sendu.
"Ada apa sih?" Safia sendiri hanya bisa memicingkan mata.
"Kayaknya sudah saatnya kita mengakhiri ini semua, Fia," ucap Vino dengan berat hati.
Safia mengernyitkan dahi tak paham. "Kamu ngomong apa sih?"
"Selama ini aku udah berusaha berbuat baik di depan Ibu kamu, tapi sama sekali gak pernah dianggap."
Vino memegang tangan Safia, lalu mengeluarkan sebuah kertas undangan dari saku kemejanya.
"Setelah berpikir cukup lama dan masak-masak, aku udah bisa membuat keputusan dan aku memilih untuk meninggalkanmu."
Safia terkesima mendengarnya.
"Carilah penggantiku!" suruhnya dengan tatapan serius, "seseorang yang tepat di mata ibumu!"
Mulut Safia menganga mendengar penuturan Vino. Kini matanya mulai berkaca-kaca. "Vin, kamu bercanda kan?" cecar gadis itu masih tidak percaya.
Sayangnya Vino justru menggeleng tegas.
"Minggu depan aku akan menikahi Gea," terang Vino sambil menyodorkan sepucuk undangan untuk Safia.
"A-a-apa ini?" tanya Safia dengan terbatas. Rasa sakit di hati membuat suaranya bergetar. Gadis itu tengah sekuat tenaga menahan air mata agar tidak menetes.
"Maaf Fia, maafkan aku," ucap Vino sambil menggenggam jari gadis itu, "aku lelah meminta restu dari ibumu."
"Enggak, Vin." Safia menggeleng-gelengkan kepalanya. Hatinya begitu sakit. Kini pertahannya mulai jebol.
"Tiga tahun kita bersama, dan kamu akan pergi begitu saja? Ja-hat kamu, Vin!"
Makian dari Safia membuat Vino menghela napas dengan berat. Pemuda itu pun tengah berupaya membendung air mata yang siap membanjiri pipinya.
"Maaf Fia, aku sudah berusaha, tapi selalu salah di mata ibumu," ujar Vino tetap berusaha tegar, "sedang Gea ... dia adalah pilihan orangtuaku, jadi biarkan aku menjadi anak yang berbakti, Fia."
Vino lantas menghapus tetesan air mata yang mulai menitik. Dia bangkit dari duduknya. Dengan langkah gontai, pemuda berdada bidang itu pergi meninggalkan Safia yang masih terisak sedih.
" Vinooo!" teriak Safia.
Namun, separuh nafasnya itu, tetap melangkah pergi tanpa menghiraukan. Akhirnya tangis Safia pun pecah. Gadis itu mulai meratapi nasibnya.
Ada satu jam Safia tersedu-sedu di bangku taman sendirian. Setelah puas menumpahkan air mata, gadis itu melangkah pergi meninggalkan taman.
Saking galaunya Safia sampai melupakan motor yang dibawa. Dengan berurai air mata gadis itu berjalan pulang. Sesekali tangannya mengusap bulir bening di pipi tirus itu.
Lelah melangkah membuat Safia berhenti di sebuah jembatan yang menuju ke arah rumahnya. Tubuhnya terasa lemah. Dia berjongkok untuk menyembunyikan wajah yang penuh air mata pada kedua lututnya. Kembali dia terisak sedih dengan bahu yang terguncang.
"Apakah kamu baik-baik saja?"
Tiba-tiba seorang pemuda menyembul dari pintu mobil SUV berwarna putih.
Safia menoleh ke arah suara itu. Dirinya merasa tidak asing dengan pemuda itu.
"Apakah kamu perlu bantuan?"
Safia masih tidak menyahut. Otaknya masih berpikir siapa pemuda itu. Setelah memeras otak, akhirnya Safia ingat pemuda itu siapa.
Jadi sebelum datang ke taman untuk menemui Vino, Safia itu tengah sibuk berbelanja kebutuhan sehari-hari di Swalayan. Namun, telepon dari Vino yang menyuruhnya untuk cepat datang membuat dia tergesa-gesa berbelanja. Sehingga dirinya bertabrakan dengan pemuda itu saat menuju ke meja kasir.
"Sepertinya kamu sedang ada masalah. Eum ... kamu lagi gak ingin terjun ke bawah sana kan?" Kembali pemuda bermata teduh itu bertanya.
Safia menghapus air matanya, kemudian berdiri tegak. "Enggak. Saya baik-baik saja kok."
"Syukurlah, tapi aku lihat kamu kacau sekali, menangis tersedu-sedu tanpa malu di jembatan yang ramai ini."
Safia hanya menunduk mendengar penuturan cowok itu.
"Aku akan mengantarkan kamu pulang."
"Tidak usah!" tolak Safia.
"Aku takut kamu menerjunkan diri ke sungai itu atau menabrakkan tubuhmu ke mobil yang lalu lalang."
" Tapi--"
Belum sempat Safia meneruskan ucapan, tangannya sudah ditarik si cowok bertampang maskulin itu masuk ke mobil.
"Orang yang patah hati biasanya suka aneh-aneh," ujar pemuda itu sambil menghidupkan mobilnya.
Safia menatap cowok di sampingnya. Batinnya heran, bagaimana pemuda ini bisa tahu kalau dirinya sedang patah hati.
Di dalam mobil sepasang anak manusia itu tak saling bicara, Safia bersuara saat menuturkan alamatnya.
Mobil itu berhenti di sebuah Toko kue yang berbentuk ruko.
"Mau membeli kue?" tanya sang pemuda.
"Saya tinggal di situ," jawab Safia menunjuk bangunan di atas toko kue. Gadis itu membuka pintu mobil dan keluar.
"Terima kasih sudah mengantar saya," ucap Safia kemudian berlalu pergi.
"Tunggu!" cegat pemuda berbadan atletis itu, dia melangkah keluar mobil lalu membuka bagasi.
"Belanjaan kita tertukar saat tabrakan," ujarnya sambil menyodorkan dua kantong plastik putih ke arah Safia. Gadis itu membuka isinya, ternyata benar belanjaan mereka tertukar.
"Ohh ... tadi saya buru-buru, maaf." Gadis itu merutuk yang dibalas senyuman oleh sang pemuda.
"Belanjaanmu ada di motor saya yang masih tertinggal di taman, tapi saya bisa menyuruh adik untuk mengambilkannya."
"Nanti saja, aku akan menyuruh supir untuk mengambilnya. Sekarang sedang terburu-buru, jadi aku permisi dulu ya." Usai berpamitan cowok itu masuk ke mobil dan melaju pergi meninggalkan Safia.
Dengan langkah yang pelan gadis bergigi kelinci itu membuka pintu toko, lalu menaiki anak tangga menuju kamarnya yang ada di lantai atas. Dia tidak mempedulikan ibunya yang menatap heran.
Setelah menaruh barang bawaannya ke dapur Safia masuk kamar. Menjatuhkan diri di atas ranjang, kembali menangis. Hatinya terasa sakit diputuskan begitu saja oleh seorang yang telah mengisi hatinya selama tiga tahun terakhir ini.
Safia masih saja menangisi takdir cintanya, sampai sebuah ketukan menghentikan tangisnya. Setelah menghapus air mata, dia membuka pintu kamar. Di hadapan berdiri sang ibu, yang memperhatikan raut muka anak sulungnya itu.
"Ada apa? Kenapa menangis seperti itu?" tanya ibu yang kemudian duduk di tepi ranjang.
"Vino memutuskan aku, Bu." Safia menjawab setelah terlebih dulu menutup pintu.
"Dia memang tak pantas untukmu," ujar ibu datar.
"Apanya yang tak pantas, Bu? Agamanya bagus, orangnya sopan. Dia juga punya usaha."
"Apanya yang bagus? kalau masih suka jalan bareng dengan gadis lain, padahal sudah punya kekasih."
"Mereka itu hanya temannya, Bu ...," ucap Safia sengit.
"Pelan kan suara! Tak pantas bicara keras dengan orang yang telah melahirkanmu," perintah ibu dingin, Safia terdiam menunduk hatinya terasa pedih kembali.
"Oh ... ya dimana motormu? Sabira minta dijemput Sabiru di rumah temannya," tanya ibu kemudian. Safia mengelap matanya yang mulai berkaca-kaca dan menghela nafas.
"Ada di taman. Nanti kalau ada orang yang datang menanyakan kantong belanjaan, tolong kasih yang ada di motor!" ujar Safia sambil menyerahkan kunci motor ke ibunya.
" Simpan air matamu! Allah sudah mempersiapkan jodoh yang tepat untukmu," ucap ibu sambil menepuk bahu anaknya , lalu wanita itu bergegas keluar dari kamar.
Safia hanya mampu menarik nafas yang terasa berat. Sebenarnya dia sudah menyangka hal ini akan terjadi, mengingat bagaimana hubungan mereka yang tak kunjung mendapatkan restu dari ibu. Tanpa alasan yang jelas.
***
Pagi ini Safia bangun kesiangan karena menangis semalam, bergegas dia pergi mandi dan bersiap menuju ke kantor. Dia adalah seorang Admin di sebuah perusahaan telekomunikasi.
Ketika hendak mengeluarkan motor di garasi, motor kesayangannya sudah tidak ada. Safia berdecak kesal karena kendaraan pribadinya dibawa kedua adik kembarnya ke sekolah tanpa minta ijin dulu padanya, terpaksa dia harus naik bis ke kantor. Safia semakin kesal mengingat hari ini adalah hari senin pasti lalu lintas kota Jakarta akan padat sekali.
Karena saking terburunya menuju halte bis, Safia tersandung batu sehingga membuatnya terjatuh.
"Auwww ...," keluhnya meringis kesakitan sambil mengusap - usap lututnya yang terasa perih.
"Ada masalah?"
Safia menoleh ke sumber suara, ternyata itu suara cowok yang kemarin mengantar dia pulang. Bergegas Safia memberesi isi tasnya yang tumpah ruah, sedang cowok itu keluar dari mobilnya.
"Sepertinya kita satu arah, aku bisa memberimu tumpangan," ujar cowok itu lagi sambil mengulurkan tangannya membantu Safia berdiri.
"Safia ...." Seorang pemuda membuka kaca helm motornya memanggil gadis itu. Lantas pemuda itu turun dari motor dan mendekati Safia.
"Elo gak papa?" tanya cowok itu lagi.
" Yuki ... ini aku telat, jalanku buru-buru jadi tadi kesandung batu," jawab Safia kepada pemuda yang bernama Yuki itu.
"Oh ya udah sini gua anterin."
Safia mengangukan kepalanya, lalu dia kembali menghadap ke pemuda yang sudah menolongnya tadi.
" Kayaknya saya mau ikut teman saya saja, terima kasih ya udah nolongin," ucap Safia. Pemuda di depannya itu hanya tersenyum mengangukan kepalanya.
" Belanjaanmu belum diambil kemarin," kata Safia membuat pemuda yang hendak menuju mobilnya itu berhenti.
"Oh iya kemarin aku lupa, mungkin nanti atau besok akan aku ambil. Permisi," pamit cowok itu kemudian masuk ke mobilnya dan melaju pergi.
Safia bergegas membonceng motor Yuki, gadis itu meminta Yuki untuk sedikit mengebut karna hari yang sudah siang.
" Makasih Ki dah nganterin aku," ucap Safia begitu mereka sampai.
"Iya. Eh salam gua buat Embun udah lo sampein belum?"
"Udah ... tapi Embun mana mau ama pengangguran kek kamu."
"Ini juga lagi nyari. Eh buruan masuk katanya telat, jangan lupa salam buat Embun ya!" suruh Yuki pada sahabatnya.
Safia bergegas masuk ke dalam kantor, setelah melambaikan tangan pada Yuki.
Embun adalah teman sekantornya Safia, sudah empat tahun dia berteman dengan gadis manis tinggi semampai itu. Sesuai dengan namanya Embun, gadis itu begitu menyejukkan dan tenang pembawaannya berbeda dengan Safia yang sedikit ceroboh. Maka tak heran kalau banyak cowok yang naksir padanya.
Seperti siang ini, tiba-tiba saja Embun mentraktir Safia makan siang. Ternyata dia baru balikan lagi sama sang mantan, Safia turut senang mendengarnya karna Embun bertemu kembali dengan cinta pertamanya.
***
Saatnya pulang kantor, Embun mendekati meja kerja Safia.
"Main dulu yuk, Fi!" ajak Embun pada Safia yang tengah berkemas pulang.
"Gak bisa, Ibu sendirian di toko karna si kembar lagi sibuk les tambahan. Ini juga mau mampir belanja lagi, kemarin ada yang lupa kebeli."
"Sibuk banget ya. Ya udah besok aku main ke toko rotimu sekalian mau ngenalin cowokku."
"Ya udah main aja. Sorry ya Bun, aku pergi dulu buru-buru nih," pamit Safia meninggalkan sahabatnya itu.
Gadis itu segera berjalan menuju sebuah Swalayan yang hanya sekitar dua ratus meter dari kantornya. Dia membuka ponselnya dan membaca apa saja yang harus dibelinya sesuai intrusi ibu.
Setelah merasa semua yang dibutuhkan sudah diambil, Safia pun bergegas menuju meja kasir. Ketika hendak membayar semua belanjaan, gadis itu tak mendapati dompet di dalam tasnya.
"Aduh ... gimana nih?"gumannya sambil terus mengaduk isi tas.
"Dompetnya gak ada, apa jatuh tadi pagi? Atau ketinggalan di meja kantor karna tadi buru-buru? Dasar ceroboh kamu, Fi!" Safia merutuki dirinya sambil terus meraba-raba saku celana sapa tahu ada uang di dalamnya. Namun, hasilnya nihil.
"Ada masalah?" sebuah suara yang tak asing di telinga Safia, suara si cowok eksotis itu.
"Ini ... Emmm sepertinya dompetku terjatuh atau kelupaan, gak tau nih," jawab Safia sedikit malu.
Cowok itu tersenyum begitu manis di mata Safia, dia membayarkan semua belanjaan Safia dan belanjaannya sendiri.
"Terima kasih ya. Mari ikut ke rumah biar saya ganti uangnya, sekalian kamu ambil barangmu yang masih tertinggal di rumahku!" ajak Safia begitu mereka keluar.
"Kayaknya besok saja aku ambil barangku, sekarang mau jemput seseorang nih," tolak cowok itu. Dia berlalu meninggalkan Safia.
"Tunggu ...!" panggil Safia. Cowok itu menghentikan langkahnya dan memutar badan, Safia berjalan pelan kearahnya.
"E emmm anu ...,"ucap Safia terbata, dia malu kalau bilang tidak ada ongkos pulang. Gadis itu nyengir dan menggaruk- garukkan kepalanya yang tak gatal.
"Gimana yah ...?"
Cowok itu tersenyum melihat tingkah Safia. Seakan tahu apa yang tengah Safia pikirkan, dia mengeluarkan dompet di sakunya. Diambilnya selembar uang seratus ribuan dan disodorkan ke Safia.
"Buat ongkos pulang, maaf tak bisa mengantar."
"Terima kasih, beneran besok dateng ya! Biar saya ganti semua," pinta Safia sambil menerima uang itu.
Cowok di depannya hanya mengganguk kepala lalu dia melihat jam di tangannya. Setelah pamit cowok itu pun pergi melajukan mobilnya.
Safia bergegas menuju halte bis, tak lama dia menunggu bis sudah datang. Gadis itu masuk dan duduk di jok tengah. Wajah cowok yang selalu saja menolongnya itu, terlintas di mata Safia. Dia merasa tak asing dengan cowok itu, mata teduhnya, hidung yang bangir sampai belahan dagu seperti pernah melihatnya. Namun, kapan dan di mana ia tak tahu.
"Besok akan kubuatkan brownis coklat sebagai ucapan terima kasih," gumannya sambil tersenyum manis.
"Woi ... Senyum-senyum sendiri, kek orang setress tahu!" sebuah tepukan bahu membuat Safia terkejut.
"Yuki ... Sejak kapan ada di bis? Mana motormu?"
"Satu-satu dong nanyanya! Gua udah dari tadi di sini, elunya aja yang gak sadar. Ngelamun terus, tapi bukan ngelamunin Vino kan? Kalo iya gak mungkin senyum-senyum gaje gitu."
"Udalah gak usah bahas dia! Oya mana motormu kok bisa naik bis bareng aku?" tanya Safia.
"Motor gua di bengkel, dan gua abis casting nih, Fi. Alhamdulillah dapet peran,"jawab Yuki ceria, kemudian cowok itu menautkan jari jempol dan telunjuknya di dagu membentuk angka tujuh.
"Udah mirip Adipati Dolken belum?" tanya Yuki sambil berlagak sok kecakepan, Safia yang melihat ulah sahabat kentalnya hanya mampu mencibir.
"Mana ada Adipati kerempeng gitu."
"Tar kalo gua udah kaya, gua akan rajin nge-gym. Anyway, lo udah sampein salam gua untuk Embun belum?"
"Yah telat, dia baru aja balikan ama mantan terindahnya. Eh turun yuuk sampai tuh!" ajak Safia.
Kedua sahabat karib itu turun dari bis dan berjalan pulang menuju ke rumahnya masing-masing.
***
Safia tengah asyik memandangi brownis coklat buatannya, terlihat sempurna dan menggoda. Brownis yang sengaja dibuat untuk cowok yang selalu jadi dewa penolongnya, hari ini cowok itu berjanji mengambil barangnya yang masih ada pada Safia.
"Kak ... ada Kak Embun tuh," ujar Sabiru adik kembarnya yang laki-laki. Safia bergegas menemui teman kantornya yang juga sudah berjanji main ke toko rotinya.
Ternyata Embun datang dengan seorang laki-laki, mereka berdua duduk menghadap ke depan sehingga tak menyadari kedatangan Fia.
"Hai ...." Safia menyapa, kedua orang itu menoleh.
Betapa terkejutnya Fia melihat siapa yang datang bersama Embun, adalah cowok yang akan diberinya brownis.
"Fia ... kenalin ini yang namanya Jevin, pacar aku." Embun mengenalkan kekasihnya dengan wajah berbinar, ada yang berdenyut di hati Fia, terasa sakit.
Cowok itu tersenyum dan mengulurkan tangannya. Safia menerima uluran tangan itu dengan tangan yang bergetar.
"Safia ...," ucapnya lirih dan serak.
Resepsi pernikahan Yuki dan Embun dilaksanakan pada keesokan malam harinya. Masih bertempat di gedung yang sama. Gaun pengantin Embun dan tuxedo Yuki masih hasil dari endorse-nya Ibu Jenni.Sebagai sahabat yang baik dan setia, Safia tentu hadir di acara penting kawan kecilnya itu. Walau sebenarnya keadaan tubuhnya sudah tidak memungkinkan. Bahkan berungkali Jevin melarang, tetapi Safia bersikeras untuk datang. Apalagi di pesta tersebut dia akan berjumpa dengan teman-teman lamanya saat masih ngantor. Keras kepala Safia tidak bisa dibendung. Akhirnya, dengan berat hati Jevin mengizinkan dengan syarat tidak terlalu lama. Safia menyanggupi syarat itu dengan riang. Selama dalam perjalanan wanita itu bersenandung kecil.Ketika dia dengan suaminya sampai di gedung pernikahan Yuki, kedua mempelai menyambutnya dengan hangat. Suasana pesta sudah mulai ramai. Safia mengedarkan pandangan. Dekorasi pelaminan penuh dengan bunga-bunga mawar. Aroma bunga sedap malam mendominasi ruangan berkonsep ser
Hari ini adalah momen tersakral pada hidup Embun. Pasalnya hari ini ia akan menanggalkan status lajangnya. Tiga jam lagi dia akan duduk berdampingan dengan Yuki menghadap sang penghulu. Mereka berdua akan mengikrarkan janji suci di depan para wali dan saksi.Kini di kamarnya, Embun tengah dirias oleh MUA rekomendasi dari Safia. Karena Embun berasal dari daerah Jawa makan gadis itu akan mengenakan kebaya Jawa Solo. Sedangkan Yuki memakai beskap Jawa.Busana pengantin tersebut dibuat langsung oleh Ibu Jenni sebagai hadiah perkawinan mereka. Jadi baik Yuki maupun Embun tidak mengeluarkan rupiah sepersepun. Tentu saja kedua calon mempelai tersebut merasa amat bahagia.Terutama Embun. Karena kebaya yang akan membalut tubuh moleknya itu terlihat sangat indah dan mewah. Kebaya beludru hitam itu berpotongan leher V. Kombinasi brokat dan aksen yang serba keemasan membuat kebaya tersebut terlihat mewah. Sementara ekor panjangnya menambah kesan anggun.*"Cantik," puji sang MUA usai melukis waja
Safia tengah mematutkan diri di cermin. Siang ini dia akan pergi periksa kandungan. Usia kandungannya sudah memasuki minggu ketiga puluh lima.Detik-detik menanti kelahiran. Dirinya sudah harus cek kandungan seminggu sekali. Beruntung Jevin selalu bersedia menemaninya untuk check up. Sesibuk apapun dirinya tidak pernah absen.Ketika Safia baru saja memoles bibirnya dengan lipstik terdengar derit pintu kamar. Safia menoleh. Seraut wajah kusut datang. Jevin sang suami melangkah gontai, lalu melempar begitu saja tubuhnya ke ranjang dengan tengkurap. Wajah pria itu terbenam pada bantal bersarung warna putih tersebut. Mau tak mau Safia harus menghampiri Jevin."Ayang Mbep, ada apa ini?" tanya Safia lembut. Ia memegang pundak suaminya pelan. "Dateng-dateng kok mukanya ditekuk gitu?" tegur Safia perhatian.Jevin membalikkan badan. Wajah pria yang sehari-hari tampak tenang kini terlihat keruh. "Pak Budi hari ini banyak melakukan kesalahan, Fi," curhat Jevin lemah.Pria itu menyebut nama seker
Safia dan Jevin tengah jalan pagi mengitari komplek. Safia memang teratur melakukan olahraga tersebut semenjak hamil trimester pertama. Selain mudah, murah, juga kaya manfaat.Jevin sendiri berusaha menjadi suami siaga. Jadi setiap pagi sebelum berangkat kerja, dirinya menyempatkan diri menemani sang istri. Selain itu juga sekalian berolahraga untuk kebugaran tubuh.Jalan kaki dipilih karena dapat menjaga berat badan, menurunkan kadar kolesterol, serta menyeimbangkan tingkat tekanan darah. Sehingga mengurangi resiko kelahiran prematur.Satu jam berlalu. Safia merasa cukup berolahraga. Peluh juga mulai membanjiri badan. Wanita itu mengajak pulang suaminya.Di jalan Safia menyempatkan diri membeli bubur ayam. Kebetulan ada tukang bubur ayam lewat yang merupakan langganan. Tidak tanggung-tanggung, Safia memesan tiga porsi sekaligus."Yang satu buat siapa, Fi?" tanya Jevin sembari mengerutkan kening. Pasalnya di rumah cuma ada mereka berdua."Buat baby dong," sahut Safia seraya mengelus p
Enam bulan kemudianPukul empat sore. Embun telah menyelesaikan semua tugas dengan baik. Gadis itu lekas merapikan berkas-berkas. Usai merasa semua sudah beres, gadis yang tahun ini genap menginjak angka dua puluh lima tahun itu gegas menyangklong tas kecil bermerk Hermes itu.Sejak insiden berdarah beberapa waktu lalu Embun masih kerja di perusahaan yang sama. Namun, tidak dengan Safia. Wanita itu memilih resign dari perusahaan beberapa bulan lalu atas desakan sang suami. Kini dirinya sibuk membantu mertuanya mengelola bisnis."Aku cabut dulu ya, Genk," pamit Embun pada rekan-rekan kerjanya.Vani dan Mania yang duduk tidak jauh dari mejanya mengacungkan jempol pada Embun.Tersenyum semringah Embun melangkah kaki. Bersama rekan yang lain dia masuk lift untuk turun ke lobby. Matanya langsung menangkap bayangan Yuki yang tengah duduk santai di kursi lobby. Dengan penuh keanggunan dan senyum yang selalu tersunging, dara itu menderap mendekati sang bujang."Hai ... udah lama?" sapa Embun
❤️❤️Tujuh bulan kemudianTengah malam buta sekitar jam dua dini hari. Safia yang terbangun dari tidur. Wanita mungil berperut besar itu menggeliat pelan. Matanya melirik sosok lelaki yang tengah terlelap damai di samping. Jevin tidur dengan mulut yang sedikit terbuka. Menimbulkan bunyi dengkuran halus. Safia senang mendengarnya. Merasa gemas wanita itu mengecup lembut bibir bersih bebas nikotin itu.Padahal Safia hanya mengecup ringan bibir sang suami. Namun, Jevin yang sensitif segera sadar. Masih dengan memejam Jevin balas mencium Safia dengan ganas."Lagi, yuk!" ajak Jevin setelah mereka melepas ciuman untuk mengambil pasokan oksigen. Pria itu mengedipkan satu mata nakal. Ketika Safia menggeleng, Jevin justru menarik sang istri untuk didekap rapat."Tadi jam sepuluh waktu mo bobok kan udah," ujar Safia sembari melepas dekapan sang suami. "Kasihan dedek bayi ini kalo mamanya digoyang mulu," lanjut Safia mencubit gemas pipi suaminya."Salah sendiri malam-malam bangun terus nyiumin
Malam beranjak larut. Namun, Jevin masih saja berkutat dengan layar monitor. Pria itu membawa pekerjaan yang belum tuntas di kantor ke rumah. Sedari sejam lalu matanya tidak lepas dari layar laptopnya.Keadaan itu membuat Safia gusar. Ini malam Jumat. Wanita itu ingin bermanja-manja dengan suaminya. Tetapi sang suami seperti tidak peka. Membuat dirinya bergelung di ranjang seorang diri.Untuk membunuh waktu menunggu suaminya merampungkan pekerjaan, Safia memainkan ponselnya. Wanita itu memilih bermain dengan assiten google. Dirinya terkikik geli saat suara perempuan di ponselnya memberikan guyonan-guyonan ringan.Jevin yang duduk di meja kerja dalam ruangan itu merasa sedikit terganggu mendengar cekikikan Safia. Pria itu mengerutkan kening melihat Safia terpingkal-pingkal di ranjang seorang diri. Merasa penasaran lelaki itu lekas menutup laptopnya untuk kemudian mendekati istrinya."Lagi ngapain sih?" tanya Jevin penasaran. Pria itu duduk menempel pada sang istri."Lagi pacaran," sahu
Embun telah tiba di hunian sang bibi. Rumah tampak lenggang. Sepertinya para pegawai katering sang bibi telah pulang. Gadis itu sendiri lekas masuk kamar tanpa menghadap sang tante.Ia melemparkan begitu saja sling bag kepunyaan ke ranjang. Lalu disusul dengan pelemparan tubuh lelahnya. Mata Embun menerawang jauh. Pikirannya tidak terlepas dari kejadian seharian ini. Ghea yang culas seketika mendapatkan karmanya dengan dibayar tunai.Embun pun menilai diri sendiri. Gadis itu mulai mengingat semua. Dia sudah tahu siapa jati diri dan orang-orang terdekatnya. Ketika peristiwa insiden penusukan perut Safia mengulang di mata, Embun menangis. Dia merasa amat menyesal."Tidak akan pernah ada habisnya jika aku terus mengejar Jevin. Tidak!" Embun bergumam sendiri. "Aku lelah. Safia dan Jevin pun sama lelahnya dengan aku." Embun membesit hidungnya yang kini terasa mampat akibat isakannya. "Aku pasrah. Jevin bukanlah jodohku." Akhirnya Embun bertekad.Kini gadis itu bangkit dari duduk. Diraihny
"Arghhhh!"Ghea terus saja mengerang. Wanita itu merasakan sakit yang teramat pada perutnya. Seperti ada ribuan tangan yang meremas kencang perut ratanya.Mendengar itu spontan Safia dan Embun kian cemas. Apalagi darah terus saja mengalir dari diri Ghea. Safia berjalan menjauh. Suara riuh dari orang-orang yang merubung membuatnya susah mendengar. Safia kini tengah mencoba menghubungi Vino.Embun sendiri tiba-tiba merasa pusing melihat darah merah menggenang di lantai. Gadis itu merasa ngeri. Melihat darah banyak dan wajah-wajah panik membuat otaknya mengirim sinyal memori. Mendadak peristiwa penusukan perut Safia yang ia lakukan terbayang di mata. Sekelebat wajah panik dari Jevin, Yuki, dan juga Tania menghiasai matanya."Arghhhh!" Embun ikut mengerang.Gadis itu melepaskan begitu saja pangkuan Ghea padanya. Embun merasakan kepalanya berdenyut pening jika mencoba mengingat semua."Embun!"Safia yang mendengar Embun menjerit kesakitan refleks mendekati gadis itu."Kamu kenapa, Bun?" ta
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments