Safia diam termangu dalam kamarnya. Kepalanya pusing memikirkan keruwetan hidup yang tengah menimpa. Tetiba saja telepon pintarnya bergetar. Diraihnya benda tipis itu. Ada sebuah chat masuk. Pesan dari Jevin.
[ Datang ke taman dekat tempat tinggalmu. Aku menunggu!]
'Ada apa Jevin ingin bertemu dengan aku lagi?' batin Safia heran.
Safia menengok jam kotak kecil yang bertengger di atas nakas kamar. Baru pukul tiga sore, tetapi awan sejak lepas dhuhur tadi tampak kelabu. Diprediksi hujan bisa turun kapan saja. Udara juga semilir lembap. Makanya hari Minggu ini ia gunakan untuk bermalas-malasan saja di kamar. Bergelung seharian di kasur sembari terus memikirkan nasibnya ke depan.
Ponselnya bergetar lagi. Chat dari Jevin masuk lagi. Gadis itu hendak mengetik balasan. Namun, belum sempat dia menjawab pesan, sang ibu berteriak memanggil namanya dari bawah.
"Fiaaa! Cepetan turun!"
Gadis itu melempar ponsel yang dipegang ke ranjang. Dia urung membalas chat Jevin. Segera Safia menuruni tangga untuk menemui ibunya yang ternyata sudah rapi.
"Temani Ibu belanja," ajak Ibu begitu melihat Safia mendekati. "Besok kita mau ke rumah Bu Jenni lagi." Bu Ratih menambahkan.
"Untuk apa?" sahut Safia malas. "Bu ... aku malas ke rumah Bu Jenni." Safia menggeleng. "Tekadku sudah bulat. Aku tidak mau menikah dengan-"
"Sudahlah, keburu hujan nanti!" potong ibu cepat.
Wanita paruh baya itu menarik lengan sang anak ke luar rumah tanpa minta persetujuan anaknya. Safia tidak mampu menolak. Dia hanya terdiam menuruti perintah sang ibu. Dengan berat hati, Safia mengeluarkan motor matic kesayangan dari garasi.
Usai memakai helm dan ibu telah nangkring di jok belakang, Safia memacu kuda besinya perlahan. Gadis itu mengarahkan motornya menuju sebuah pusat perbelanjaan. Di jalan taman, Safia melihat Jevin baru turun dari mobilnya. Dengan memasukkan kedua tangan di saku, terlihat Jevin berjalan ke arah bangku taman.
"Lihat awan sudah mendung," ujar ibu di belakang. "Kencangkan laju motormu!" Ibu memerintah. Safia menurut. Gadis itu kembali fokus menatap ke depan, tidak meleng seperti tadi. Dia pun menambah kecepatan laju motornya.
Begitu sampai di tujuan, Safia lekas memarkirkan motornya. Dia dan ibunya masuk ke pusat perbelanjaan itu. Bu Ratih mengajak Safia ke toko baju. Wanita itu tampak memilah-milah dress yang cocok untuk dikenakan anak gadisnya. Tidak tanggung-tanggung ada enam dress manis yang ia ambil.
"Banyak sekali," tegur Safia begitu heran melihat ibunya jadi gila belanja seperti itu.
"Dua untuk Sabira dan selebihnya buat kamu," terang ibu disertai senyuman semringah.
"Tapi dalam rangka apa, Bu? Fia kan sedang tidak berulang tahun." Safia masih menegur heran. Uang yang ada di dompetnya tinggal beberapa selip saja. Gadis itu takut uang ibu kurang nantinya.
"Ssttt ... gak usah bawel gitu! Kamu tinggal nemenin ibu belanja saja kok," tukas ibu masih dengan wajah yang semringah.
Ibu Ratih membopong belanjanya sampai ke meja kasir. Wajah dengan rasa heran, Safia mengikuti langkah ibu. Gadis itu melongo menatap angka yang tertera di layar. Lalu dia menelan saliva melihat ada banyak lembaran merah pada dompet ibu.
Setelah membayar semua belanjaan, ibu mengajak Safia masuk ke salon kecantikan. Lagi-lagi dia tidak bisa menolak. Dan gadis itu juga diam pasrah saat para pelayan salon memanjakan tubuhnya.
Rambut Safia dicuci dan di-creambath. Mukanya di-facial. Badannya di pijat dan lulur. Serta kuku tangan dan kaki pun tak lupa untuk dirawat.
Ibu Ratih sendiri meninggalkan anak gadisnya untuk berbelanja kebutuhan dapur dan kebutuhan roti. Wanita itu kembali ke salon tepat setelah Safia merampungkan seluruh treatment-nya.
Merasa lelah Safia merengek minta pulang. Namun, rupanya hujan telah membungkus kota ini sedari beberapa waktu lalu. Terpaksa mereka menunda jadwal pulang. Perut yang keroncong membuat Bu Ratih mengajak Safia makan sembari menunggu hujan reda.
Namun, rasanya alam masih ingin berlama menumpahkan air langitnya. Hanya saja curahnya sudah mulai menyurut. Karena merasa bosan menunggu, ibu mengajak Safia pulang walau masih gerimis.
Hati-hati Safia melakukan motornya di jalanan yang begitu licin. Lalu ketika melewati jalan taman, gadis itu melihat Jevin masih duduk setia di bangku berwarna merah itu. Tampak Jevin duduk dengan memeluk kedua pundaknya. Tubuhnya bergetar. Terlihat sekali pemuda itu menggigil kedinginan.
'Apakah dia menungguku?' Safia membatin. Gadis itu menghela napas. Namun, ia tidak berucap apa-apa. Dirinya mempercepat laju motornya sampai ke rumah.
***
Keesokan harinya, begitu Safia pulang dari kantor, Bu Ratih langsung mendadani anaknya sedemikian rupa. Tangan Bu Ratih lincah melukis wajah Safia dengan kuas dan sapu kecantikan. Semuanya pas dan tidak berlebihan. Dengan dress putih selutut yang baru dibeli kemarin, penampilan Safia paripurna cantiknya.
"Memangnya kita mau ke mana, Bu?" tanya Safia sembari mengikuti Ibu menuruni tangga.
"Rumahnya Jevin," sahut Bu Ratih singkat.
"Mau apa, Bu?" tanya Safia terkejut. Gadis itu menghentikan langkah. Bu Ratih pun membalikkan badan menghadap sang putri.
"Kita mau membahas rencana pernikahan kalian." Ibu menjawab dengan semangat.
Safia menggeleng tegas. "Bu ... sudah berapa kali Fia bilang, Fia menolak perjodohan ini," tutur gadis itu bertekad. "Fia tidak mau menyakiti hati Embun. Dan yang terlebih lagi, Jevin tidak mencintai Fia. Fia gak mau terluka nantinya, Bu." Safia beralasan dengan memelas.
"Tapi ... ini atas kemauan Nak Jevin sendiri," balas Ibu tenang. Dan Safia melongo tidak percaya. "Jangan sampai air matamu merusak make-up ya!" Ibu berucap lagi dengan datar.
Lalu tanpa bersuara lagi, wanita itu melangkah menuju pintu luar. Safia menggeleng. Sungguh ia heran dibuatnya. Jevin yang menentang keras perjodohan ini, tiba-tiba membuat kabar yang mengejutkan. Setelah beberapa kali menarik napas lamat-lamat, Safia menderap langkah mengekor ibunya.
Seperti biasa, Bu Ratih sengaja memesan taksi online untuk mengantar dirinya berserta sang anak ke rumah calon besan. Wanita itu membiarkan anaknya diam termenung sepanjang perjalanan. Baru ketika sampai, Bu Ratih mengingatkan sang putri yang masih terdiam di taksi untuk lekas turun.
Safia turun dari taksi dengan gontai. Sungguh ia malas menginjakkan kaki di rumah ini lagi Begitu Bu Ratih memencet bel, pelayan membuka pintu dengan ramah. Lalu ibu dan anak itu disambut hangat oleh Bu Jenni di ruang tamu.
Bu Jenni dan Bu Ratih saling berpelukan dan cipika-cipiki khas basa-basi. Begitu juga dengan Safia. Gadis itu menyambut pelukan hangat Bu Jenni dengan senyum yang dipaksakan. Tampak Jevin duduk santai di sofa tamu dengan wajah yang pucat. Pemuda itu hanya melempar senyum tipis guna beramah tamah palsu pada Bu Ratih.
"Kenapa Nak Jevin terlihat begitu puas? Sakit kah?" tanya Bu Ratih peduli sembari meletakan sebuah kotak besar. Kotak putih itu berisi red velvet buatan tangannya sebagai oleh-oleh untuk calon besan.
"Dia sedikit demam." Bu Jenni yang menjawab. "Sudah gede masih suka hujan-hujanan," lanjut wanita itu berkelakar.
Bu Ratih tersenyum mendengarnya. Sementara Safia menatap Jevin dengan seksama. Gadis itu teringat kejadian kemarin. Jevin duduk sendiri di bangku taman berguyur air hujan. Jevin sendiri melengos ditatap sedemikian rupa oleh Safia.
" Begini Safia ...." Bu Jenni memulai obrolan. "Jevin meminta tante untuk segera menentukan hari pernikahan kalian," lanjut Bu Jenni dengan binar kebahagiaan. Begitu juga Bu Ratih.
Safia menganga mendengar kalimat yang diucapkan Bu Jenni. Sungguh ia tidak menduga sama sekali. Gadis itu menatap Jevin guna meminta penjelasan. Akan tetapi yang ditatap justru diam tak menggubrisnya.
"Jevin minta pernikahan kalian dilangsungkan di bulan ini juga," lanjut Bu Jenni semangat, "iyakan Je?" Mata Bu Jenni mengerling pada sang putra.
"Iya," sahut Jevin datar. "Tapi ingat! Tidak ada yang namanya pesta, honeymoon dan tetek bengek lainnya." Jevin mengajukan syarat dengan nada dingin.
"Oke," sahut Bu Jenni semringah bahagia.
"Tante ... bisakah tinggakan kami berdua sebentar?" Safia memberanikan diri bersuara
"Oh tentu," sahut Bu Jenni menganguk semangat. "Mari Ratih! Kita biarkan kedua anak muda ini saling bicara dari hati ke hati," ajak Bu Jenni pada Bu Ratih. Bu Ratih pun mengangguk setuju. Kedua wanita itu berlalu ke belakang.
"Apa maksudnya ini, Je?" tanya Safia bingung begitu ibu dan calon mertuanya pergi.
"Bukankah ini yang kamu inginkan?" Jevin balik tanya dengan datar. Matanya enggan menatap Safia.
"Maksud kamu apa, Jevin?!" Safia sedikit berseru. Hatinya merasa agak emosi. Jujur Safia merasa terhina.
"Entah apa yang dibilang ibumu pada mamaku dua hari yang lalu," tutur Jevin masih tanpa mau menatap Safia, "sehingga membuat wanita yang paling kusayangi itu menangis tersedu-sedu dan memohon untuk segera menikahimu," terang Jevin dingin. Pada kalimat 'menikahimu' dia menatap tajam Safia.
"Bahkan ketika aku bilang bahwa kau menolak, mama tidak percaya. Dia justru mengancam hendaj bunuh diri jika aku tak mau menikahimu," papar Jevin dengan suara yang terdengar bergetar.
Pemuda itu berusaha keras meredam emosinya. Tangannya meremas celana di pahanya guna menyalurkan kegelisahan yang ia rasa. Safia sendiri tercekat tak percaya mendengar penuturan Jevin.
"Kemarin aku menunggumu di taman." Jevin bicara lagi. "Aku bermaksud mengajakmu untuk menemui dan membujuk Mama, tapi kamu malah tiadk datang." Jevin tersenyum miris.
"Kemarin ... ibu memintaku menemaninya belanja. Mafkan aku,"sesal Safia tidak enak hati.
"Dalam chat sudah kubilang, kalo kamu tidak datang ... berarti kamu menerima perjodohan ini." Safia terbelalak kaget mendengar penuturan Jevin. Ekspresi sedih Jevin pun semakin membuat hatinya diliputi perasaan tidak nyaman.
"Tiga jam aku menunggumu dalam hujan," desis Jevin sembari mengacungkan ketiga jarinya ke udara. Senyum getir pemuda itu membuat Safia kian merasa tidak enak hati.
Safia yang semakin bingung gegas mengambil ponselnya dari dalam tas. Dirinya langsung membaca pesan Jevin yang belum sempat ia baca kemarin.
Kalo kamu tidak datang, berarti kamu menyetujui perjodohan ini.
Gadis itu menitikkan air matanya membaca isi pesan itu.
"Jevin ...." Lirih Safia memanggil. "Aku minta maaf," ucap gadis itu parau, "sungguh aku tak bermaksud untuk ...."
"Sudahlah!" sergah Jevin cepat "Mungkin inilah takdirku. Harus menikah dengan orang yang sama sekali tidak kucinta," lanjut Jevin dingin dan lemah.
Namun, terasa begitu menyakitkan hati Safia. Dalam diam Jevin berlalu, meninggalkan Safia masih terisak sedih tidak enak hati.
Bersambung.
Setelah pertemuan terakhir Bu Ratih dan Bu Jenni seminggu yang lalu, keluarga Jevin datang ke kediaman Safia guna meminang gadis itu. Bu Jenni tidak banyak membawa rombongan. Hanya keluarga terdekat saja yang turut serta. Begitu juga dengan Bu Ratih. Wanita itu hanya mengundang keluarga dan tetangga terdekat saja. Salah satunya keluarga Yuki. Bu Ratih dan ibunya Yuki bersahabat baik sejak dirinya baru pindah ke daerah itu. Bahkan ibu Lili-bundanya Yuki, didaulat oleh Bu Ratih menjadi pembawa acara pada malam lamaran itu.Acara berlangsung khidmat. Acara demi acara terlampau dengan baik. Tiba di sesi jawaban calon mempelai perempuan menanggapi pinangan dari calon mempelai pria. Safia berdiri dari duduknya. Dengan tangan yang gemetar memegang mikrofon gadis itu memandang Jevin yang terduduk lesu di kursi seberang. Jevin tampak begitu tampan dengan kemeja batik motif sido mukti cokelat terang. Sayang aura kegantengannya tertutup wajah muramnya.Ada lima menit Safia diam mematung sembar
Masjid pun bergema oleh suara doa seluruh hadirin. Hati Safia terasa sejuk mendengarnya. Kemudian matanya pun menangkap sesosok gadis yang tengah mengusap air mata menyaksikan upacara sakral tersebut. Embun datang di acara pernikahan pacarnya itu.Acara semakin berlanjut. Sang juru kamera menyuruh Safia dan Jevin untuk foto bersama. Lelaki itu menyuruh kedua mempelai untuk berdiri saling menempel sambil menunjukkan buku nikah mereka. Pengantin baru itu hanya menurut saja. Lalu ketika sang photografer menyuruh sang mempelai pria untuk mencium kening istrinya, Jevin dan Safia terlihat begitu gugup dan canggung."Ayo Jevin buruan cium bini, Lo!" perintah Yuki yang turut menjadi saksi pada acara sakral itu.Jevin memandang Safia dan Safia hanya bisa menunduk. Hati-hati, Jevin menunduk menempel bibirnya di kening istrinya. Safia memejamkan mata. Sang juru kamera membidik momen itu dengan baik. Usai Jevin mencium dahi Safia, kini sang istri mencium punggung tangan Jevin. Bukti tanda bakti
Keesokan paginya, Safia membuka mata. Wanita itu melirik bantal yang ada disamping. Kosong. Matanya menyapu ruangan. Tidak ada Jevin.'Sudah bangunkah dia? Atau dia tidak tidur disini?' Safia membatin.Safia menggeliat beberapa kali. Memutar kepala ke kiri dan kanan guna melemaskan otot. Lantas matanya melirik jam kotak digital di nakas. Sudah pukul lima kurang lima menit.Bergegas Safia menuju kamar mandi yang ada dalam kamar. Wanita itu membersihkan badan dengan berendam air hangat di bathtub. Ada sekitar dua puluh menit dirinya memanjakan diri di air hangat dan wangi itu. Setelah mandi dan berganti pakaian biasa, Safia bergegas menggelar sajadah guna melaksanakan kewajiban dua rakaatnya. Walau sedikit telat, tetapi pikirnya tidak mengapa. Dari pada tidak sama sekali. Di sujud terakhir, wanita itu memohon kepada Allah agar pernikahannya ini langgeng dan senantiasa diberkahi. Dalam doa, wanita itu juga berharap agar cintanya pada Jevin mendapat sambutan. Tidak lupa ia berdoa agar p
Hari ini Safia sudah mulai masuk kerja lagi. Dirinya sengaja berangkat agak telat agar langsung bekerja. Tanpa beramah-tamah dulu dengan teman sejawat. Pasalnya dia belum siap mendapat julidan dari rekan-rekannya. Makanya wanita itu menyuruh Jevin mengantarnya di waktu mepet. Jevin sendiri tidak masalah karena dia memang pemilik perusahaan tempat ia bekerja.Mobil Jevin sampai di lobi kantor Safia lima menit sebelum waktu kerja. Begitu turun dari mobil Safia gegas berlari masuk ke kantor karena takut terlambat. Dan benar saja ketika dia sampai di meja kerja, semua rekannya sudah mulai sibuk menatap layar monitor di belakang meja kubikal mereka. Safia mengatur napasnya yang masih terengah. Menit berikutnya, wanita itu mulai duduk dan lekas mengeluarkan botol plastik berisi air mineral. Baru setelah merasa tenang Safia memulai aktivitas kerjanya.*Empat jam berlalu, waktu makan siang tiba. Para rekan kantor Safia datang mendekat untuk memberikan ucapan selamat. Safia memang sengaja t
Embun terkaget saat menyadari kedatangan Safia. Gadis itu segera menyenggol lengan Jevin. Matanya memberi tahu siapa yang datang. Sebenarnya ada rasa terkejut pada diri Jevin. Akan tetapi, pria itubdapat dengan cepat menguasai keadaan. Sehingga ekspresi wajahnya tampak datar biasa saja melihat kedatangan sang istri."Maaf kalo kedatanganku mengganggu kalian," ucap Safia pelan dan berusaha tetap tenang. Walau jauh di lubuk hati, ia sungguh terluka dan merasa dibohongi."Bagaimana keadaanmu, Bun?" tanya Safia tanpa mau memandang muka Jevin. Wanita itu menaruh parcel buah pada nakas kamar "Emm ... aku ... aku masih harus menginap dua ato tiga hari lagi," jawab Embun canggung dan sedikit terbata."Oh ... begitu," sahut Safia pendek ,"ya sudah ... sebaiknya aku pulang saja. Toh sudah ada Jevin di sini buat temani kamu," pamit Safia kemudian. Embun menyeringai tidak enak hati. "Permisi," ucap Safia. Kali ini sebelum berlalu dia menatap sang suami dan Jevin sendiri hanya bisa terdiam.Maka
Kehidupan pernikahan Safia dan Jevin masih sama. Dingin dan hambar. Jevin yang masih belum bisa melupakan Embun dan Safia yang diam pasrah.Tiga hari lepas kejadian kemarin, Safia kembali tidak dijemput lagi oleh Jevin. Suaminya memang belum memberikan kabar jika dia tidak menjemput. Namun, menunggu selama hampir satu jam membuat Safia jemu.Safia mencoba menghubungi ponsel suaminya, tetapi tidak ada jawaban. Hanya suara operator saja yang menjawab. Safia mendengkus lelah. Akhirnya, wanita itu terpaksa memutuskan pulang dengan menaiki bus saja.Rasa lelah dan pikiran yang lumayan kacau membuat langkah Safia gontai. Sore itu moodnya benar-benar buruk. Ketika dirinya tengah melangkah pelan menuju halte, terasa titik hujan menimpa rambutnya. Wanita itu mendongak. Tiba-tiba air langit seperti tertumpah begitu saja menerpa parasnya. Rasanya kulit Safia seperti tertusuk ribuan jarum.Safia bergegas melindungi diri dari air hujan itu. Sambil berlari dia menggunakan tas kerjanya untuk menutup
"Aku ... a-aku kedinginan,"bisik Safia lembut ke telinga Jevin. Seketika bulu kuduk Jevin meremang saat napas hangat Safia menyentil telinganya. Pria itu menatap istrinya yang terlihat begitu sayu."Sepertinya a-aku demam," lanjut Safia masih dengan tatapan sayu nan merayu. Wanita itu sedikit berbohong. Sebenarnya dia tidak demam. Hanya saja Safia ingin menarik perhatian dari Jevin. Walaupun jarang mengikuti kajian agama, tetapi Safia tahu jika seorang istri menawarkan diri pada suami maka Allah menjanjikan surga pada wanita tersebut.Safia tidak mengapa dicap sebagai wanita agresif. Toh itu berlaku pada lelaki halalnya sendiri. Apa lagi itu semua ia lakukan demi kelangsungan rumah tangganya. Agar tidak terasa hambar dan gersang, tanpa adanya kehangatan cinta dan kasih di dalamnya.Melihat mata sendu Safia dan bibir ranumnya yang sedikit terbuka seperti ingin disentuh, Jevin menelan Saliva. Safia semakin menarik lengan panjang Jevin mendekat hingga kini jarak mereka sudah sangat deka
Sang pengendara mobil segera menghentikan laju mobilnya begitu merasa telah menyerempet seseorang. Lalu seorang pria tampak ke luar dari mobil Pajero diamond black. Sepertinya dia ingin melihat siapa orang yang diserempetnya. Dan ternyata sang penabrak itu adalah Vino bersama Ghea istrinya."Safiaaa!" Vino berseru kaget begitu melihat siapa wanita yang ditabraknya. Melihat pelipis Safia mengalir darah, ketakutan langsung melanda jiwa pria berusia dua puluh delapan tahun itu."Fiaaa!" Vino mencoba membangunkan Safia dengan mengguncang tubuh kecil itu."Ya udah bawa ke rumah sakit aja pingsan gitu!" Ghea yang ikut turun dari mobil memberi perintah pada suaminya.Vino menganguk cepat. Lekas dengan cekatan pria itu mengangkat tubuh Safia. Pria itu berjalan sembari membopong tubuh lemas Safia, sedangkan Ghea sudah mendahului untuk membuka pintu mobil belakang. Pelan Vino merebahkan tubuh mungil Safia di jok belakang. Dan Ghea ikut membantu dengan menaruh bantal pada kepala Safia.Kedua s
Resepsi pernikahan Yuki dan Embun dilaksanakan pada keesokan malam harinya. Masih bertempat di gedung yang sama. Gaun pengantin Embun dan tuxedo Yuki masih hasil dari endorse-nya Ibu Jenni.Sebagai sahabat yang baik dan setia, Safia tentu hadir di acara penting kawan kecilnya itu. Walau sebenarnya keadaan tubuhnya sudah tidak memungkinkan. Bahkan berungkali Jevin melarang, tetapi Safia bersikeras untuk datang. Apalagi di pesta tersebut dia akan berjumpa dengan teman-teman lamanya saat masih ngantor. Keras kepala Safia tidak bisa dibendung. Akhirnya, dengan berat hati Jevin mengizinkan dengan syarat tidak terlalu lama. Safia menyanggupi syarat itu dengan riang. Selama dalam perjalanan wanita itu bersenandung kecil.Ketika dia dengan suaminya sampai di gedung pernikahan Yuki, kedua mempelai menyambutnya dengan hangat. Suasana pesta sudah mulai ramai. Safia mengedarkan pandangan. Dekorasi pelaminan penuh dengan bunga-bunga mawar. Aroma bunga sedap malam mendominasi ruangan berkonsep ser
Hari ini adalah momen tersakral pada hidup Embun. Pasalnya hari ini ia akan menanggalkan status lajangnya. Tiga jam lagi dia akan duduk berdampingan dengan Yuki menghadap sang penghulu. Mereka berdua akan mengikrarkan janji suci di depan para wali dan saksi.Kini di kamarnya, Embun tengah dirias oleh MUA rekomendasi dari Safia. Karena Embun berasal dari daerah Jawa makan gadis itu akan mengenakan kebaya Jawa Solo. Sedangkan Yuki memakai beskap Jawa.Busana pengantin tersebut dibuat langsung oleh Ibu Jenni sebagai hadiah perkawinan mereka. Jadi baik Yuki maupun Embun tidak mengeluarkan rupiah sepersepun. Tentu saja kedua calon mempelai tersebut merasa amat bahagia.Terutama Embun. Karena kebaya yang akan membalut tubuh moleknya itu terlihat sangat indah dan mewah. Kebaya beludru hitam itu berpotongan leher V. Kombinasi brokat dan aksen yang serba keemasan membuat kebaya tersebut terlihat mewah. Sementara ekor panjangnya menambah kesan anggun.*"Cantik," puji sang MUA usai melukis waja
Safia tengah mematutkan diri di cermin. Siang ini dia akan pergi periksa kandungan. Usia kandungannya sudah memasuki minggu ketiga puluh lima.Detik-detik menanti kelahiran. Dirinya sudah harus cek kandungan seminggu sekali. Beruntung Jevin selalu bersedia menemaninya untuk check up. Sesibuk apapun dirinya tidak pernah absen.Ketika Safia baru saja memoles bibirnya dengan lipstik terdengar derit pintu kamar. Safia menoleh. Seraut wajah kusut datang. Jevin sang suami melangkah gontai, lalu melempar begitu saja tubuhnya ke ranjang dengan tengkurap. Wajah pria itu terbenam pada bantal bersarung warna putih tersebut. Mau tak mau Safia harus menghampiri Jevin."Ayang Mbep, ada apa ini?" tanya Safia lembut. Ia memegang pundak suaminya pelan. "Dateng-dateng kok mukanya ditekuk gitu?" tegur Safia perhatian.Jevin membalikkan badan. Wajah pria yang sehari-hari tampak tenang kini terlihat keruh. "Pak Budi hari ini banyak melakukan kesalahan, Fi," curhat Jevin lemah.Pria itu menyebut nama seker
Safia dan Jevin tengah jalan pagi mengitari komplek. Safia memang teratur melakukan olahraga tersebut semenjak hamil trimester pertama. Selain mudah, murah, juga kaya manfaat.Jevin sendiri berusaha menjadi suami siaga. Jadi setiap pagi sebelum berangkat kerja, dirinya menyempatkan diri menemani sang istri. Selain itu juga sekalian berolahraga untuk kebugaran tubuh.Jalan kaki dipilih karena dapat menjaga berat badan, menurunkan kadar kolesterol, serta menyeimbangkan tingkat tekanan darah. Sehingga mengurangi resiko kelahiran prematur.Satu jam berlalu. Safia merasa cukup berolahraga. Peluh juga mulai membanjiri badan. Wanita itu mengajak pulang suaminya.Di jalan Safia menyempatkan diri membeli bubur ayam. Kebetulan ada tukang bubur ayam lewat yang merupakan langganan. Tidak tanggung-tanggung, Safia memesan tiga porsi sekaligus."Yang satu buat siapa, Fi?" tanya Jevin sembari mengerutkan kening. Pasalnya di rumah cuma ada mereka berdua."Buat baby dong," sahut Safia seraya mengelus p
Enam bulan kemudianPukul empat sore. Embun telah menyelesaikan semua tugas dengan baik. Gadis itu lekas merapikan berkas-berkas. Usai merasa semua sudah beres, gadis yang tahun ini genap menginjak angka dua puluh lima tahun itu gegas menyangklong tas kecil bermerk Hermes itu.Sejak insiden berdarah beberapa waktu lalu Embun masih kerja di perusahaan yang sama. Namun, tidak dengan Safia. Wanita itu memilih resign dari perusahaan beberapa bulan lalu atas desakan sang suami. Kini dirinya sibuk membantu mertuanya mengelola bisnis."Aku cabut dulu ya, Genk," pamit Embun pada rekan-rekan kerjanya.Vani dan Mania yang duduk tidak jauh dari mejanya mengacungkan jempol pada Embun.Tersenyum semringah Embun melangkah kaki. Bersama rekan yang lain dia masuk lift untuk turun ke lobby. Matanya langsung menangkap bayangan Yuki yang tengah duduk santai di kursi lobby. Dengan penuh keanggunan dan senyum yang selalu tersunging, dara itu menderap mendekati sang bujang."Hai ... udah lama?" sapa Embun
❤️❤️Tujuh bulan kemudianTengah malam buta sekitar jam dua dini hari. Safia yang terbangun dari tidur. Wanita mungil berperut besar itu menggeliat pelan. Matanya melirik sosok lelaki yang tengah terlelap damai di samping. Jevin tidur dengan mulut yang sedikit terbuka. Menimbulkan bunyi dengkuran halus. Safia senang mendengarnya. Merasa gemas wanita itu mengecup lembut bibir bersih bebas nikotin itu.Padahal Safia hanya mengecup ringan bibir sang suami. Namun, Jevin yang sensitif segera sadar. Masih dengan memejam Jevin balas mencium Safia dengan ganas."Lagi, yuk!" ajak Jevin setelah mereka melepas ciuman untuk mengambil pasokan oksigen. Pria itu mengedipkan satu mata nakal. Ketika Safia menggeleng, Jevin justru menarik sang istri untuk didekap rapat."Tadi jam sepuluh waktu mo bobok kan udah," ujar Safia sembari melepas dekapan sang suami. "Kasihan dedek bayi ini kalo mamanya digoyang mulu," lanjut Safia mencubit gemas pipi suaminya."Salah sendiri malam-malam bangun terus nyiumin
Malam beranjak larut. Namun, Jevin masih saja berkutat dengan layar monitor. Pria itu membawa pekerjaan yang belum tuntas di kantor ke rumah. Sedari sejam lalu matanya tidak lepas dari layar laptopnya.Keadaan itu membuat Safia gusar. Ini malam Jumat. Wanita itu ingin bermanja-manja dengan suaminya. Tetapi sang suami seperti tidak peka. Membuat dirinya bergelung di ranjang seorang diri.Untuk membunuh waktu menunggu suaminya merampungkan pekerjaan, Safia memainkan ponselnya. Wanita itu memilih bermain dengan assiten google. Dirinya terkikik geli saat suara perempuan di ponselnya memberikan guyonan-guyonan ringan.Jevin yang duduk di meja kerja dalam ruangan itu merasa sedikit terganggu mendengar cekikikan Safia. Pria itu mengerutkan kening melihat Safia terpingkal-pingkal di ranjang seorang diri. Merasa penasaran lelaki itu lekas menutup laptopnya untuk kemudian mendekati istrinya."Lagi ngapain sih?" tanya Jevin penasaran. Pria itu duduk menempel pada sang istri."Lagi pacaran," sahu
Embun telah tiba di hunian sang bibi. Rumah tampak lenggang. Sepertinya para pegawai katering sang bibi telah pulang. Gadis itu sendiri lekas masuk kamar tanpa menghadap sang tante.Ia melemparkan begitu saja sling bag kepunyaan ke ranjang. Lalu disusul dengan pelemparan tubuh lelahnya. Mata Embun menerawang jauh. Pikirannya tidak terlepas dari kejadian seharian ini. Ghea yang culas seketika mendapatkan karmanya dengan dibayar tunai.Embun pun menilai diri sendiri. Gadis itu mulai mengingat semua. Dia sudah tahu siapa jati diri dan orang-orang terdekatnya. Ketika peristiwa insiden penusukan perut Safia mengulang di mata, Embun menangis. Dia merasa amat menyesal."Tidak akan pernah ada habisnya jika aku terus mengejar Jevin. Tidak!" Embun bergumam sendiri. "Aku lelah. Safia dan Jevin pun sama lelahnya dengan aku." Embun membesit hidungnya yang kini terasa mampat akibat isakannya. "Aku pasrah. Jevin bukanlah jodohku." Akhirnya Embun bertekad.Kini gadis itu bangkit dari duduk. Diraihny
"Arghhhh!"Ghea terus saja mengerang. Wanita itu merasakan sakit yang teramat pada perutnya. Seperti ada ribuan tangan yang meremas kencang perut ratanya.Mendengar itu spontan Safia dan Embun kian cemas. Apalagi darah terus saja mengalir dari diri Ghea. Safia berjalan menjauh. Suara riuh dari orang-orang yang merubung membuatnya susah mendengar. Safia kini tengah mencoba menghubungi Vino.Embun sendiri tiba-tiba merasa pusing melihat darah merah menggenang di lantai. Gadis itu merasa ngeri. Melihat darah banyak dan wajah-wajah panik membuat otaknya mengirim sinyal memori. Mendadak peristiwa penusukan perut Safia yang ia lakukan terbayang di mata. Sekelebat wajah panik dari Jevin, Yuki, dan juga Tania menghiasai matanya."Arghhhh!" Embun ikut mengerang.Gadis itu melepaskan begitu saja pangkuan Ghea padanya. Embun merasakan kepalanya berdenyut pening jika mencoba mengingat semua."Embun!"Safia yang mendengar Embun menjerit kesakitan refleks mendekati gadis itu."Kamu kenapa, Bun?" ta