Mbak Selly pingsan saat melihat adik madunya. Perempuan cantik dengan gamis dan kerudung panjangnya. Dia benar-benar tak menyangka jika perempuan itulah yang menjadi istri kedua suaminya. "Syukurlah kalau Mbak sudah siuman." Mas Amran yang tadi menggendong Mbak Selly ke kamar cukup lega saat melihat kakaknya sudah sadar. Kakak iparku itu memijit keningnya beberapa kali. Dia masih berusaha membuka matanya perlahan, melihat sekeliling kamar yang hanya ada keluarga besarnya saja. Tetangga sudah pulang sebelum adzan dzuhur berkumandang. Mereka hanya mendoakan yang terbaik untuk Mbak Selly dan keluarga kecilnya. Berita poligami itu pasti sudah tersebar ke seantero kampung. Selama ini Mbak Selly selalu menampilkan image sebagai ratu keluarga yang begitu dicintai dan dimanja suami. Setelah mendengar kabar ini, mungkin image perempuan paling bahagia itu akan luntur perlahan. Apalagi saat mereka melihat penampilan Mbak Selly dengan pakaian seksinya yang cukup kontras dengan penampilan ist
Mama masih saja terdiam. Kusikut lengan Mas Amran yang terbungkus kemeja salurnya. Dia pun mendadak pias saat dia sadar jika mama tak baik-baik saja setelah mendengar kejujurannya. "Maaf, Sayang. Keceplosan." Kudengar lirih suara Mas Amran saat kuangsurkan segelas air putih di samping piringnya. "Iya, mama tahu, Ran. Sekarang mama juga mulai sadar kalau tindakan mama saat itu salah besar. Mama terlalu ambisius untuk menjadikan Lala sebagai menantu. Seolah tak peduli apapun yang terjadi, mama tetap berambisi untuk memiliki menantu sepertinya. Ternyata semua yang kamu khawatirkan sebelumnya benar adanya. Lala yang sekarang tak sepolos dan sebaik yang kita kira." Mama menatapku dan Mas Amran bergantian. Ada sendu di wajahnya yang menua. Ada penyesalan yang terlukis di kedua matanya yang berkaca. "Mama janji setelah ini nggak akan mengusik rumah tangga kalian lagi. Semakin hari mama semakin sadar jika keterlibatan mama selama ini memang salah. Mama terlalu mencampuri urusan kalian berd
"Nenek, cepet ke sini. Mama berdarah!" Teriakan Ruri membuat semua yang tengah makan siang berhamburan ke kamar. Kamu saling pandang satu sama lain, tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi sebab tadi Mbak Selly masih istirahat saat kami tinggal makan makan siang. Sesampainya di kamar, benar ucapan Ruri jika mamanya memang berdarah. Mbak Selly menggores pergelangan tangannya dengan pisau. Darah menetes dan berceceran di lantai sementara dia terbaring lemah di atas ranjang dengan wajah kesakitan. "Ya Allah, Selly! Apa yang kamu lakukan! Kenapa kamu bisa seperti ini, Shelly!" Mama berteriak cukup kencang dan histeris saat melihat keadaan Mbak Selly yang nyaris pingsan. Tanpa kata, Mas Amran segera membopong kakaknya lalu memintaku untuk membuka pintu mobil. Mama pun buru-buru mengambil beberapa baju ganti untuk Mbak Selly lalu memasukkannya ke bagasi. "Pril, jaga keponakanmu. Kalian di rumah saja. Biar mama sama Zilva yang ikut ke rumah sakit," perintah mama dengan tergesa yang diiy
Jujur saja, selama dua tahun menjadi bagian keluarga itu, tak sekalipun aku tahu bagaimana masa lalu kedua saudara Mas Amran. Mereka tak pernah terbuka padaku, jangankan berbagi kisah, sekadar menatapku saja rasanya enggan. Aku tak menyangka jika saat ini mama menceritakan semuanya padaku."Mama sudah menasehatinya sejak awal agar melupakan Emil. Sepertinya dia belum bisa sepenuhnya melupakan mantannya itu, tapi lagi-lagi Selly merajuk. Cinta butanya membuat mama tak bisa berkutik. Mama takut dia melakukan hal-hal yang membahayakan jika menolak permintaannya untuk bersama lelaki itu. Ternyata dugaan mama benar, kini ketakutan mama saat itu benar-benar terjadi. Selly bahkan nyaris menghilangkan nyawanya sendiri hanya karena laki-laki itu." Mama kembali menyeka kedua pipinya yang banjir air mata. Kembali kuusap punggung dan lengannya. Berharap mama akan lebih tenang dan nyaman saat bersamaku. Mungkin saat ini kesempatanku untuk kembali mencuri hati mama yang sebelumnya sekeras batu."S
"Sepertinya ibu harus tahu, jika yang diucapkan anak ibu itu tak semuanya benar. Bahkan jika mau, saya bisa menuntut dan menjebloskannya ke penjara." Perempuan itu kembali tersenyum tipis lalu menggamit lengan Mas Emil. Mereka terlihat begitu romantis. "Apa maksudmu ngomong begitu, heh?! Jangan sok paling benar dan mengajari kami macam-macam!" sentak mama dengan mata menyalang garang. "Ibu jangan marah-marah dulu. Biar Mas Emil saja yang menjelaskan semuanya." Perempuan bernama Ayunda itu pun meminta Mas Emil untuk menggantikannya. Keduanya saling pandang lalu tersenyum tipis seakan menguatkan satu sama lain. "Cepat jelaskan apa yang dimaksud selingkuhanmu itu, Mil. Mama nggak banyak waktu meladeni sandiwara kalian berdua," ucap Mama dengan ketus. Emosi Mas Amran mulai mereda. Mungkin dia juga merasa ada yang tak beres dengan cerita kakak kandungnya. Jika terus ngotot dan ternyata memang Mbak Selly yang keliru, tentu dia akan malu begitu getol membelanya. Seperti yang kutahu, Mbak
Mama masih begitu percaya jika anak perempuannya tak mungkin seburuk yang diceritakan menantunya. Aku paham bagaimana perasaan mama saat ini. Mana mungkin percaya dengan ucapan menantunya yang jelas-jelas sudah mendua, tapi selama ini Mbak Selly memang terlalu pandai menyimpan sesuatu. Tak hanya itu saja, dia juga pintar bersandiwara. "Aku hanya memberi tahu mama apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang selama ini selalu Shelly tutupi. Terserah mama percaya atau tidak, aku pun tak memaksa. Untuk berbohong demi mendapatkan simpati dari mama, kurasa nggak perlu sih, Ma. Shelly memang sering ke rumah mama bersama Ruri, tapi dia juga sering keluar dengan teman-temannya. Datang ke rumah mama kuyakin hanya alibinya saja supaya ada yang membela jika nanti ketahuan belangnya. Seperti saat ini, mama tetap percaya jika Selly tak seburuk yang kuceritakan bukan?" Mama hanya menggeleng pelan. Tak percaya dan tak mau membenarkan cerita Mas Emil. Jangankan mama, aku pun cukup kaget dengan semua ce
"Ma ...." Lirih kudengar suara Mbak Selly memanggil mama. Kedua matanya menatap tajam lalu meminta mama untuk duduk di sampingnya. "Mas Emil nggak ke sini, Ma?" lirihnya lagi. Entah mengapa ada rasa nyeri yang menggores dada ini. Aku tahu Mbak Selly tak sepenuhnya benar, hanya saja cinta yang bertepuk sebelah tangan itu memang menyakitkan. Meski aku belum pernah mengalaminya sendiri, tapi aku tahu bagaimana mereka yang depresi hanya karena cintanya yang tak pernah dihargai. "Datang. Dia ada di luar dengan Amran," balas Mama dengan suara yang lirih pula. Ada kelegaan yang terpancar di wajah kakak iparku itu. Namun, di sisi lain kulihat luka yang sengaja dia sembunyikan. "Ma, boleh panggilkan Mas Emil sekarang? Apa dia bawa perempuannya itu ke sini?" Mbak Selly bertanya lagi membuat mama sedikit kebingungan saat akan menjawab pertanyaannya. "Dia sama istri barunya, Sel. Sudahlah, lupakan dia. Ada mama yang akan selalu di samping kamu. Buktikan sama dia kalau kamu bisa mandiri dan h
"Mas, aku nyicil belanja buat peralatan baby, boleh?" Mas Amran yang masih sibuk di depan laptopnya menoleh ke arahku. Dia berpikir sejenak lalu mengangguk pelan. Senyum tipis terukir di kedua sudut bibirnya, membuatku semangat menyusun list belanjaan. "Kapan belanjanya, Sayang?" tanyanya kemudian. "Sebentar lagi, Mas. Aku belanja sama Arumi saja nggak apa-apa ya, Mas? Jadi, kamu nggak harus antar aku ke sana. Aku tahu kamu masih sibuk. Tiga hari belakangan nggak masuk kerja karena ngurus masalah Mbak Selly tentu membuat pekerjaan kantormu menumpuk kan?" Aku menghidangkan secangkir kopi untuknya. Kepulan asap itu tampak mengudara, membuat aromanya tercium ke mana-mana. "Makasih, Sayang. Kamu memang istri yang pengertian dan perhatian. Arumi sudah datang atau masih di jalan?" Mas Amran menatapku lekat sembari mengusap lengan lalu menyeruput kopi buatanku perlahan. "Sudah datang kok, Mas. Sekarang dia di ruang tengah." Laki-laki yang sudah membersamaiku dua tahun lebih itu pun menga