Tiga hari sejak datang ke rumah Lala, Mas Amran meminta Bi Lasmi untuk tidur di rumah. Dia takut terjadi sesuatu padaku saat dia sibuk di kantor. Urusan renovasi cafe pun kupantau dari rumah saja sebab belum diizinkan berpergian sendirian tanpanya. "Setelah papanya Lala sembuh, aku akan meminta perempuan itu membuat perjanjian hitam di atas putih," ujar Mas Amran setelah menyelesaikan sarapannya. Aku mendongak, menatap lekat kedua netranya. "Perjanjian apa, Mas?" Laki-laki yang sudah bersamaku dua tahun belakangan itu menghela napas kasar lalu balik menatapku. "Tadi mamanya Lala meminta kita untuk memberi Lala satu kesempatan lagi. Mama Risma takut suaminya kenapa-kenapa jika Lala benar-benar di penjara. Meski papa Galih begitu kecewa dengan putrinya, tapi tetap saja dia akan kepikiran jika putrinya di penjara. Setelah berpikir lagi dan lagi akhirnya aku pun menyetujui permintaan Mama Risma. Keputusan ini bukan semata-mata karena Lala melainkan kesehatan papanya. Kamu tahu itu kan?
"Mama kenapa, Mas?" tanyaku sedikit gugup. "Masuk mobil, Sayang. Kita ke rumah mama sekarang. Mbak Selly teriak-teriak histeris katanya. Mama bingung harus gimana soalnya Mbak Selly nggak mau cerita apapun." Tak ingin membantah, aku pun buru-buru pamit pada Bi Lasmi yang masih jemur baju di belakang. Wanita paruh baya itu pun mengikutiku ke teras untuk menutup gerbang setelah mobil Mas Amran meninggalkan garasi. "Mbak Selly kenapa, Mas? Kok sampai histeris begitu?" Mas Amran hanya mengedikkan bahu sembari mengetuk-ngetuk gagang stir dengan telunjuknya. Teringat kembali pertemuan tak sengajaku dengan Mas Emil beberapa hari lalu. Termasuk pesan dan foto yang dikirimkan Arumi kemarin. Foto Mas Emil dengan istri barunya yang cantik dan anggun. Mereka tampak begitu bahagia seolah dunia milik berdua sampai tak melihatku dan Arumi yang sempat makan di tempat yang sama dengan mereka. "Kenapa diam?" Mas Amran balik bertanya. Aku sedikit gugup saat mendengar pertanyaannya barusan. "Nggak
"Kamu paham maksudku kan, Sayang?" Mas Amran kembali menghela napas panjang. "Iya, Mas. Aku tahu dan paham sekali posisimu saat ini. Kamu memang punya hak untuk membela kakakmu sendiri, tapi ada yang harus kamu ingat. Jadilah penengah di antara mereka. Jika Mbak Selly yang salah, kamu tak boleh membenarkannya hanya karena dia kakak kandungmu. Namun, kalau memang mereka bisa menyelesaikan masalah rumah tangga mereka sendiri, baiknya kita nggak terlalu ikut campur, Mas. Semua sudah dewasa dan bisa memilih mana yang baik dan mana yang buruk." Mas Amran mengiyakan lalu melajukan mobilnya kembali. Tak lama kemudian, kami sampai di depan rumah mama yang sudah cukup banyak orang. Para tetangga banyak yang datang dengan beragam dugaan. Aku dan Mas Amran menyapa dengan seulas senyum sebelum masuk ke rumah. Di ruang keluarga, sudah ada mama dan Prilly yang mencoba menenangkan Mbak Selly. Ruri, anak semata wayangnya itu digendong oleh Bu RT, sementara Fika anak Prilly duduk di pangkuannya se
"Prilly!" Mbak Selly tiba-tiba membentak adik perempuannya. Dia pasti tak terima disudutkan Prilly sekalipun ucapannya itu benar. "Maaf, Mbak. Tak bermaksud menyudutkanmu. Aku kadang hanya pusing aja lihat sikap Mbak Selly dan mama yang begitu membenci Mbak Zilva. Padahal aku lihat dia sudah berusaha sempurna menjadi anggota baru di keluarga kita. Memangnya dia pernah menyakiti hati mama atau Mbak Selly? Nggak kan? Dia berusaha menjadi yang terbaik, tapi tetap saja selalu salah di mata kalian. Nyatanya apa? Sekarang terbukti kalau Lala tak akan pernah bisa disandingkan dengan Mbak Zilva. Bedanya terlalu jauh." Prilly beranjak dari sofa lalu melangkah ke kamar mama. Dia tak seolah peduli saat Mbak Selly memanggil namanya berulang kali untuk duduk kembali. "Semua gara-gara kamu, Zilva! Sejak dulu Prilly tak pernah seberani itu sama kakaknya sendiri. Pasti kamu yang mengajari dia untuk memberontak dan membelamu kan? Kamu sengaja meracuni pikirannya!" sentak Mbak Selly tiba-tiba.Aku cu
Kakak iparku itu sebelumnya memang wanita karir. Dia memiliki penghasilan cukup besar saat awal-awal pernikahanku dengan Mas Amran. Mungkin karena itu pula dia sangat menolak jika adiknya menikah denganku yang dia pikir pengangguran. Padahal dulu aku pun pekerja meski belum sementereng dia. Kini kutahu alasannya berhenti bekerja karena ancaman poligami dari Mas Emil. Mas Emil selalu beralasan ingin diperhatikan dan dilayani saat pulang kerja. Hal yang mungkin sangat sulit dilakukan Mbak Selly saat dia sibuk bekerja. Setelah Mbak Selly benar-benar resign dan menjadi ibu rumah tangga biasa, nyatanya laki-laki itu tetap pada pilihannya untuk berpoligami. Dia seolah tak peduli dengan pengorbanan dan bukti cinta dari Mbak Selly selama ini. Benar-benar keterlaluan."Soal bukti hubungan Mas Emil dengan istri mudanya tak perlu dipikir pusing, Mbak." Mas Amran kembali menghela napas lalu mengalihkan pandangannya pada Ruri, keponakannya yang kini di pangkuan mama. "Maksudmu apa, Ran? Kamu pun
Mbak Selly pingsan saat melihat adik madunya. Perempuan cantik dengan gamis dan kerudung panjangnya. Dia benar-benar tak menyangka jika perempuan itulah yang menjadi istri kedua suaminya. "Syukurlah kalau Mbak sudah siuman." Mas Amran yang tadi menggendong Mbak Selly ke kamar cukup lega saat melihat kakaknya sudah sadar. Kakak iparku itu memijit keningnya beberapa kali. Dia masih berusaha membuka matanya perlahan, melihat sekeliling kamar yang hanya ada keluarga besarnya saja. Tetangga sudah pulang sebelum adzan dzuhur berkumandang. Mereka hanya mendoakan yang terbaik untuk Mbak Selly dan keluarga kecilnya. Berita poligami itu pasti sudah tersebar ke seantero kampung. Selama ini Mbak Selly selalu menampilkan image sebagai ratu keluarga yang begitu dicintai dan dimanja suami. Setelah mendengar kabar ini, mungkin image perempuan paling bahagia itu akan luntur perlahan. Apalagi saat mereka melihat penampilan Mbak Selly dengan pakaian seksinya yang cukup kontras dengan penampilan ist
Mama masih saja terdiam. Kusikut lengan Mas Amran yang terbungkus kemeja salurnya. Dia pun mendadak pias saat dia sadar jika mama tak baik-baik saja setelah mendengar kejujurannya. "Maaf, Sayang. Keceplosan." Kudengar lirih suara Mas Amran saat kuangsurkan segelas air putih di samping piringnya. "Iya, mama tahu, Ran. Sekarang mama juga mulai sadar kalau tindakan mama saat itu salah besar. Mama terlalu ambisius untuk menjadikan Lala sebagai menantu. Seolah tak peduli apapun yang terjadi, mama tetap berambisi untuk memiliki menantu sepertinya. Ternyata semua yang kamu khawatirkan sebelumnya benar adanya. Lala yang sekarang tak sepolos dan sebaik yang kita kira." Mama menatapku dan Mas Amran bergantian. Ada sendu di wajahnya yang menua. Ada penyesalan yang terlukis di kedua matanya yang berkaca. "Mama janji setelah ini nggak akan mengusik rumah tangga kalian lagi. Semakin hari mama semakin sadar jika keterlibatan mama selama ini memang salah. Mama terlalu mencampuri urusan kalian berd
"Nenek, cepet ke sini. Mama berdarah!" Teriakan Ruri membuat semua yang tengah makan siang berhamburan ke kamar. Kamu saling pandang satu sama lain, tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi sebab tadi Mbak Selly masih istirahat saat kami tinggal makan makan siang. Sesampainya di kamar, benar ucapan Ruri jika mamanya memang berdarah. Mbak Selly menggores pergelangan tangannya dengan pisau. Darah menetes dan berceceran di lantai sementara dia terbaring lemah di atas ranjang dengan wajah kesakitan. "Ya Allah, Selly! Apa yang kamu lakukan! Kenapa kamu bisa seperti ini, Shelly!" Mama berteriak cukup kencang dan histeris saat melihat keadaan Mbak Selly yang nyaris pingsan. Tanpa kata, Mas Amran segera membopong kakaknya lalu memintaku untuk membuka pintu mobil. Mama pun buru-buru mengambil beberapa baju ganti untuk Mbak Selly lalu memasukkannya ke bagasi. "Pril, jaga keponakanmu. Kalian di rumah saja. Biar mama sama Zilva yang ikut ke rumah sakit," perintah mama dengan tergesa yang diiy