"Ran, kamu harus ke rumah mama sekarang juga!" Mama terdengar gugup dan sedikit membentak saat menelpon. Bahkan sampai lupa mengucapkan salam saat kuangkat panggilannya. "Maaf, Ma. Ini, Zilva. Mas Amran ada perlu sebentar ke rumah tetangga makanya handphonenya tertinggal. Kalau penting banget, Zilva bisa antar handphonenya ke sana, Mas, tapi kalau sekadar ngobrol biasa nanti biar Mas Amran telepon balik ya." Aku berusaha selembut mungkin agar mama tak lagi tersulut emosi. Namun, selembut dan seramah apapun, tetap saja tak terlalu penting baginya. Mama tetap pada pilihannya untuk membenciku sebagai menantu. "Ngapain kamu angkat? Lancang sekali kamu jadi istri!" sentak mama membuatku semakin tercekat. Bisa-bisanya menerima panggilan mertuanya dari handphone suami disebut sebagai istri yang lancang. Entah doktrin darimana yang mama dapatkan detik ini. Terlalu aneh dan mengada-ada. "Aku pikir ada yang penting makanya menerima telepon ini. Bukannya mama bakal marah-marah kalau panggila
"Ngapain ajak istrimu ke sini, Ran? Mama mau bicara sama kamu saja," ucap Mama saat aku dan Mas Amran sampai ke teras rumahnya. Mas Amran menghentikan langkahnya seketika, aku pun begitu. Cukup kaget mendengar penolakan mama lagi dan lagi. "Zilva istriku, Ma. Jadi, sebisa mungkin aku akan ajak dia ke manapun, apalagi ke rumah ini. Mama kenapa sih belum bisa menerima Zilva sebagai menantu? Padahal dia sudah menjadi istri yang terbaik buat anak lelaki mama. Nggak ada kurangnya, yang ada justru banyak lebihnya." Mas Amran mulai meradang saat melihat mama terang-terangan menolakku singgah ke rumahnya. "Kamu ini nggak ngerti perasaan mama, Amran. Selalu saja begitu dari dulu. Kamu lebih mementingkan istrimu daripada mamamu sendiri." Mama menghela napas sebelum akhirnya membuang pandangan. "Maafkan aku, Ma. Aku memang nggak pernah ngerti apa yang sebenarnya mama pikirkan dan inginkan. Sebagai satu-satunya anak lelaki mama, aku memang nggak peka apa yang mama rasakan. Hanya saja, aku beru
"Lala memperlihatkan tespeknya ke mama dan mama percaya kalau itu anakku?" tanya Mas Amran lagi. "Terus anak siapa, Ran? Dia masih sah istrimu saat hamil kan? Lala bilang usia kehamilannya menginjak empat minggu dan jelas itu saat masih bersamamu," tekan mama lagi. Wanita yang berusia lebih dari setengah abad itu kembali menatap Mas Amran lekat. "Meski dia masih sah menjadi istriku, belum tentu dia anakku, Ma. Mama tahu sendiri bagaimana pergaulannya di luar sana seperti apa. Terlalu bebas, jadi wajar dong kalau aku curiga jika janin yang ada dalam kandungannya itu bukanlah darah dagingku? Apalagi dia juga sudah nggak virgin saat menikah denganku, Ma. Jadi-- "Jadi, kamu tak mengakui janin yang ada dalam kandungan Lala itu sebagai anakmu?" cecar mama lagi. Mas Amran kembali menghela napas lalu mengalihkan pandangannya pada mama. "Apa kurang banyak bukti pergaulan bebas Lala di luar rumah, Ma? Bukankah sudah aku jelaskan dan buktikan waktu itu apa saja yang dilakukan menantu mama di
"Gimana, Ma? Lala pasti nggak mau aku ajak ke dokter kandungan kan? Dia pasti berusaha mengelak dan memberikan alasan agar tak pergi ke sana," ucap Mas Amran dengan senyum tipisnya setelah melihat mama mengakhiri obrolannya dengan Lala. "Sudah kuduga." Mas Amran tersenyum sinis sembari menghela napas kasar. "Bukan begitu, Amran. Kondisi tiap ibu hamil berbeda dan sekarang Lala mabuk berat. Kamu harus memaklumi itu. Kebanyakan ibu yang hamil muda memang mabuk, pusing dan lelah seperti itu. Zilva pasti juga mengalami hal yang sama, meski mungkin dengan kadar yang berbeda. Kamu nggak bisa over thinking hanya karena Lala menolak kontrol sore ini sama kamu. Kontrol ke dokter kandungan nggak harus sekarang kan? Bisa kapan saja." Mama terus membela mantan menantunya itu. Entahlah. Aku tak tahu apa alasan mama masih tetap membelanya setelah bukti-bukti pengkhianatan dan pergaulan bebasnya di luar sana dibeberkan Mas Amran kala itu. "Memang benar kontrol bisa kapan saja, asalkan dia mau. K
"Mau kemana, Mas?" tanyaku pada Mas Amran yang justru berbelok ke kanan, tak langsung menuju gerbang rumah Lala sepertiku dan mama. "Tunggu sebentar," ucapnya dengan senyum tipis.Aku pun terdiam sejenak, memperhatikan apa yang akan dilakukan suamiku yang kini berdiri di depan tong sampah itu. Mas Amran membuka kotak sampah di depannya lalu mengambil gumpalan kertas di sana. Aku memang penasaran apa sebenarnya isi kertas itu, hanya saja aku tak sepenasaran Mas Amran yang memungutnya dari tempat sampah. "Amran! Kamu ngapain malah ngorek-ngorek sampah begitu? Kurang kerjaan. Bau itu, mama mual." Mama mulai mengomel, tapi Mas Amran hanya mendongak lalu kembali tersenyum tipis. Robekan-robekan kertas lecek itu disatukannya hingga mulai membentuk lembaran. Perlahan Mas Amran mulai membaca kertas yang diletakkan di trotoar itu. Dahinya mulai mengernyit lalu menggelengkan kepalanya perlahan. Berulang kali kutanya apa isinya, tapi Mas Amran hanya terdiam. Ditatanya kembali robekan-robekan
Lala tercekat lalu menoleh dengan tatapan tajam."Apa maksud pertanyaanmu, Mas? Kamu nuduh aku berzina sama lelaki lain?" tanya Lala dengan nada meninggi. Mas Amran pun tersenyum sinis lalu membuang pandangan ke arah lain. "Kamu boleh tak mencintaiku, Mas. Aku nggak akan paksa kamu untuk mencintaiku juga, tapi aku nggak akan menerima jika kamu nuduh aku berzina." Semua mendadak diam. Hanya terdengar isak Lala yang semakin keras, sementara mama berusaha menenangkannya. Sekalipun mama curiga, tapi tetap saja tak mengurangi kasih sayangnya pada Lala. Mama tetap mengasihi menantu kesayangannya itu sekalipun kesalahannya cukup fatal menurutku. "Sudahlah, La. Terlalu banyak kebohongan yang kamu lakukan. Apa kamu nggak berniat mengakhiri semua sandiwaramu ini?" Mas Amran menoleh lagi, lalu menatap tajam mantan istrinya itu. Lala terkesiap. Ekspresinya berbeda saat Mas Amran menyebutnya pembohong ulung. Seolah tak terima, dia kembali membela diri dengan berbagai alibi. "Apa perlu aku beb
"Mama benar-benar kecewa sama kamu, La. Nggak nyangka, sampai hati kamu membohongi kami semua. Jika Amran tak menemukan surat ini, kebohongan apalagi yang kamu rencanakan? Ya Allah, apa mama dan papamu tahu kebohonganmu ini?" Mama menitikkan air mata, sementara Lala masih berusaha mengelak. "Keterangan itu bohong, Ma. Palsu. Sengaja diberikan Gibran untukku agar aku tak kembali berharap pada Mas Amran yang memang mendambakan seorang anak. Gibran sengaja memalsukannya agar aku mau kembali sama dia yang tak pernah protes dengan kemandulan pasangannya. Percayalah, Ma. Gibran pelakunya. Dia yang merencanakan ini semua." Lala terus bercerita, meski mama tak membalas apapun yang dikatakannya. Mama hanya dan terus menangis lalu mengembalikan kertas itu pada Mas Amran kembali. Tak ada obrolan apapun yang terdengar kecuali tangisan. Isak mama dan Lala seolah bersahutan. "Sudahlah, La. Tak perlu terus bersandiwara. Aku tak akan percaya apapun yang kamu katakan," ucap Mas Amran. Wajah lelahny
"Benarkah yang kamu katakan itu, Ran?" Om Galih yang baru keluar dari kamar mandi menghentikan langkahnya lalu menatap Mas Amran tajam. "Benar, Pa. Ini bukti rekamannya saat Lala dan Gibran menceritakan semuanya di ruangan ini. Lala pula yang membeli mobil rental itu dengan harga lebih untuk memuluskan rencananya. Dia meminta Gibran segera menjualnya, tapi sampai sekarang belum juga terjual. Jika melihat sederet kesalahan Lala itu, apakah jahat jika aku menjebloskannya ke penjara, Pa? Tantu tidak bukan? Coba bayangkan jika rencana Lala untuk mencelakai Zilva berhasil, boleh jadi dia sudah nggak ada di sini bersama kita." Mas Amran menunjukku dengan wajah sendu. Ada kecewa dan nelangsa dalam tatap matanya yang tajam itu. "Astaghfirullah, La! Benar yang dikatakan Amran?!" sentak Om Galih garang. Lala kembali ketakutan tiap kali melihat papanya murka. Perempuan itu tak sekalipun berani mendongak apalagi menatap kedua mata papanya yang garang. "Aku-- "Aku, aku, apa, hah?! Benar-benar