"Mau kemana, Mas?" tanyaku pada Mas Amran yang justru berbelok ke kanan, tak langsung menuju gerbang rumah Lala sepertiku dan mama. "Tunggu sebentar," ucapnya dengan senyum tipis.Aku pun terdiam sejenak, memperhatikan apa yang akan dilakukan suamiku yang kini berdiri di depan tong sampah itu. Mas Amran membuka kotak sampah di depannya lalu mengambil gumpalan kertas di sana. Aku memang penasaran apa sebenarnya isi kertas itu, hanya saja aku tak sepenasaran Mas Amran yang memungutnya dari tempat sampah. "Amran! Kamu ngapain malah ngorek-ngorek sampah begitu? Kurang kerjaan. Bau itu, mama mual." Mama mulai mengomel, tapi Mas Amran hanya mendongak lalu kembali tersenyum tipis. Robekan-robekan kertas lecek itu disatukannya hingga mulai membentuk lembaran. Perlahan Mas Amran mulai membaca kertas yang diletakkan di trotoar itu. Dahinya mulai mengernyit lalu menggelengkan kepalanya perlahan. Berulang kali kutanya apa isinya, tapi Mas Amran hanya terdiam. Ditatanya kembali robekan-robekan
Lala tercekat lalu menoleh dengan tatapan tajam."Apa maksud pertanyaanmu, Mas? Kamu nuduh aku berzina sama lelaki lain?" tanya Lala dengan nada meninggi. Mas Amran pun tersenyum sinis lalu membuang pandangan ke arah lain. "Kamu boleh tak mencintaiku, Mas. Aku nggak akan paksa kamu untuk mencintaiku juga, tapi aku nggak akan menerima jika kamu nuduh aku berzina." Semua mendadak diam. Hanya terdengar isak Lala yang semakin keras, sementara mama berusaha menenangkannya. Sekalipun mama curiga, tapi tetap saja tak mengurangi kasih sayangnya pada Lala. Mama tetap mengasihi menantu kesayangannya itu sekalipun kesalahannya cukup fatal menurutku. "Sudahlah, La. Terlalu banyak kebohongan yang kamu lakukan. Apa kamu nggak berniat mengakhiri semua sandiwaramu ini?" Mas Amran menoleh lagi, lalu menatap tajam mantan istrinya itu. Lala terkesiap. Ekspresinya berbeda saat Mas Amran menyebutnya pembohong ulung. Seolah tak terima, dia kembali membela diri dengan berbagai alibi. "Apa perlu aku beb
"Mama benar-benar kecewa sama kamu, La. Nggak nyangka, sampai hati kamu membohongi kami semua. Jika Amran tak menemukan surat ini, kebohongan apalagi yang kamu rencanakan? Ya Allah, apa mama dan papamu tahu kebohonganmu ini?" Mama menitikkan air mata, sementara Lala masih berusaha mengelak. "Keterangan itu bohong, Ma. Palsu. Sengaja diberikan Gibran untukku agar aku tak kembali berharap pada Mas Amran yang memang mendambakan seorang anak. Gibran sengaja memalsukannya agar aku mau kembali sama dia yang tak pernah protes dengan kemandulan pasangannya. Percayalah, Ma. Gibran pelakunya. Dia yang merencanakan ini semua." Lala terus bercerita, meski mama tak membalas apapun yang dikatakannya. Mama hanya dan terus menangis lalu mengembalikan kertas itu pada Mas Amran kembali. Tak ada obrolan apapun yang terdengar kecuali tangisan. Isak mama dan Lala seolah bersahutan. "Sudahlah, La. Tak perlu terus bersandiwara. Aku tak akan percaya apapun yang kamu katakan," ucap Mas Amran. Wajah lelahny
"Benarkah yang kamu katakan itu, Ran?" Om Galih yang baru keluar dari kamar mandi menghentikan langkahnya lalu menatap Mas Amran tajam. "Benar, Pa. Ini bukti rekamannya saat Lala dan Gibran menceritakan semuanya di ruangan ini. Lala pula yang membeli mobil rental itu dengan harga lebih untuk memuluskan rencananya. Dia meminta Gibran segera menjualnya, tapi sampai sekarang belum juga terjual. Jika melihat sederet kesalahan Lala itu, apakah jahat jika aku menjebloskannya ke penjara, Pa? Tantu tidak bukan? Coba bayangkan jika rencana Lala untuk mencelakai Zilva berhasil, boleh jadi dia sudah nggak ada di sini bersama kita." Mas Amran menunjukku dengan wajah sendu. Ada kecewa dan nelangsa dalam tatap matanya yang tajam itu. "Astaghfirullah, La! Benar yang dikatakan Amran?!" sentak Om Galih garang. Lala kembali ketakutan tiap kali melihat papanya murka. Perempuan itu tak sekalipun berani mendongak apalagi menatap kedua mata papanya yang garang. "Aku-- "Aku, aku, apa, hah?! Benar-benar
Mas Amran memintaku dan mama untuk pulang dengan taksi sebab dia harus mengantar Om Galih ke rumah sakit. Ancaman Lala buatku tak ada artinya sebab kapan saja aku bisa menjebloskannya ke penjara. Aku dan Mas Amran sudah memegang kartu merahnya, jika dia kembali berbuat macam-macam mungkin memang ingin berlama-lama di penjara. "Ke rumah mama dulu, Va. Nanti biar dijemput Amran ke sana." Entah mengapa mama mulai melunak saat aku dan dia sudah duduk di bangku penumpang taksi online yang kupesan. Apa karena mama sudah muak dengan ulah Lala hingga dia mau menerimaku sebagai menantu? Aku pun tak tahu. Namun, aku cukup bersyukur jika mama benar-benar mau menerima kehadiranku dalam keluarga besarnya. Ingin kunikmati masa kehamilan ini dengan bahagia, tanpa tekanan batin dari pihak manapun juga. "Baik, Ma." Aku hanya menjawab singkat. Tak ingin besar kepala karena disapa mama lebih dulu, aku tetap harus waspada. Takutnya mama berubah pikiran dan kembali membenciku seperti sebelumnya. Aku
Tiga hari sejak datang ke rumah Lala, Mas Amran meminta Bi Lasmi untuk tidur di rumah. Dia takut terjadi sesuatu padaku saat dia sibuk di kantor. Urusan renovasi cafe pun kupantau dari rumah saja sebab belum diizinkan berpergian sendirian tanpanya. "Setelah papanya Lala sembuh, aku akan meminta perempuan itu membuat perjanjian hitam di atas putih," ujar Mas Amran setelah menyelesaikan sarapannya. Aku mendongak, menatap lekat kedua netranya. "Perjanjian apa, Mas?" Laki-laki yang sudah bersamaku dua tahun belakangan itu menghela napas kasar lalu balik menatapku. "Tadi mamanya Lala meminta kita untuk memberi Lala satu kesempatan lagi. Mama Risma takut suaminya kenapa-kenapa jika Lala benar-benar di penjara. Meski papa Galih begitu kecewa dengan putrinya, tapi tetap saja dia akan kepikiran jika putrinya di penjara. Setelah berpikir lagi dan lagi akhirnya aku pun menyetujui permintaan Mama Risma. Keputusan ini bukan semata-mata karena Lala melainkan kesehatan papanya. Kamu tahu itu kan?
"Mama kenapa, Mas?" tanyaku sedikit gugup. "Masuk mobil, Sayang. Kita ke rumah mama sekarang. Mbak Selly teriak-teriak histeris katanya. Mama bingung harus gimana soalnya Mbak Selly nggak mau cerita apapun." Tak ingin membantah, aku pun buru-buru pamit pada Bi Lasmi yang masih jemur baju di belakang. Wanita paruh baya itu pun mengikutiku ke teras untuk menutup gerbang setelah mobil Mas Amran meninggalkan garasi. "Mbak Selly kenapa, Mas? Kok sampai histeris begitu?" Mas Amran hanya mengedikkan bahu sembari mengetuk-ngetuk gagang stir dengan telunjuknya. Teringat kembali pertemuan tak sengajaku dengan Mas Emil beberapa hari lalu. Termasuk pesan dan foto yang dikirimkan Arumi kemarin. Foto Mas Emil dengan istri barunya yang cantik dan anggun. Mereka tampak begitu bahagia seolah dunia milik berdua sampai tak melihatku dan Arumi yang sempat makan di tempat yang sama dengan mereka. "Kenapa diam?" Mas Amran balik bertanya. Aku sedikit gugup saat mendengar pertanyaannya barusan. "Nggak
"Kamu paham maksudku kan, Sayang?" Mas Amran kembali menghela napas panjang. "Iya, Mas. Aku tahu dan paham sekali posisimu saat ini. Kamu memang punya hak untuk membela kakakmu sendiri, tapi ada yang harus kamu ingat. Jadilah penengah di antara mereka. Jika Mbak Selly yang salah, kamu tak boleh membenarkannya hanya karena dia kakak kandungmu. Namun, kalau memang mereka bisa menyelesaikan masalah rumah tangga mereka sendiri, baiknya kita nggak terlalu ikut campur, Mas. Semua sudah dewasa dan bisa memilih mana yang baik dan mana yang buruk." Mas Amran mengiyakan lalu melajukan mobilnya kembali. Tak lama kemudian, kami sampai di depan rumah mama yang sudah cukup banyak orang. Para tetangga banyak yang datang dengan beragam dugaan. Aku dan Mas Amran menyapa dengan seulas senyum sebelum masuk ke rumah. Di ruang keluarga, sudah ada mama dan Prilly yang mencoba menenangkan Mbak Selly. Ruri, anak semata wayangnya itu digendong oleh Bu RT, sementara Fika anak Prilly duduk di pangkuannya se