"Mas!" Terdengar suara benda pecah, entah apa. Aku tak peduli. Perlahan membuka pintu dengan perasaan berdebar tak karuan. Baru melongokkan kepala, dikagetkan dengan teguran Prilly yang membawa dua gelas susu, mungkin untuk Ruri dan Fika. "Mbak, ngapain ngintip-ngintip begitu? Eh, itu tespek kan?" tunjuk Prilly dengan dagunya. Aku buru-buru menyembunyikan tespek yang kubawa, bingung mau memulai cerita dari mana saking bahagianya. "Hasilnya apa, Mbak? Positif kan?" tanyanya penasaran. Aku hanya diam saja bahkan saat dia meletakkan kembali dua gelas susu itu ke meja makan lalu melangkah perlahan ke arahku."Lihat dong, Mbak." Lagi-lagi adik iparku itu minta izin melihat garis di layar tespekku. Tak ingin menutupi sesuatu yang seharusnya tak kusimpan sendiri, aku pun memberikan tespek itu padanya. Prilly tersenyum menatapku lalu mengusap tangan. Dilihatnya garis di tespek yang dia pegang saat ini. "MasyaAllah, Mbak. Ini garis dua jadi kamu positif hamil! Alhamdulillah, Mbak Zilva ben
Kedua orang tua Lala membawa anak perempuannya itu ke mobil. Ada raut kecewa di wajah Tante Risma, hanya saja dia mungkin memaklumi keputusan Mas Amran. Wanita tengah baya itu juga sempat minta maaf pada mama dan Mas Amran atas sikap Lala yang mungkin di luar batas. Dia tak menyangka jika anak perempuannya senekat itu, bahkan pergaulannya di luar rumah pun dia tak tahu. "Maafkan kami, Rat. Kami tak bisa mendidik Lala dengan baik. Amran tentu kecewa dan itu wajar, kami mengerti. Karena itu pula kami tak menuntut macam-macam," ujar Tante Risma di sela isaknya. "Nggak apa, Ris. Aku juga minta maaf kalau hubungan kita berakhir kurang harmonis begini, tapi kamu harus janji jangan dimasukin hati ya? Kita masih bersahabat seperti biasanya kan?" Tante Risma mengangguk pelan lalu keduanya berpelukan. Mereka tak peduli dengan Lala yang masih mengomel nggak jelas di dalam mobilnya bersama sang supir. Om Galih pun mengucapkan maaf yang sama. Terutama pada Mas Amran yang memang bertanggungjawa
"siapa yang akan menjamin? Yang menjamin Allah. Kalau orang yang Mbak Selly maksud itu takut sama Allah, tentu dia nggak akan pura-pura baik seperti itu. Topeng hanya dipakai oleh orang-orang munafik dan tak sadar kalau Allah Maha Melihat. Dia tak peduli dengan sifat-sifat Allah yang memang berbeda dengan makhluk, yang penting baginya tetap terlihat baik dan setia meski hanya pandangan mata manusia belaka. Aku yakin orang-orang seperti itu memang masih banyak, tapi orang-orang yang takut sama Allah juga tak kalah banyak." Mas Amran menimpali perdebatan kedua saudara perempuannya. Prilly tersenyum tipis mendengar jawaban Mas Amran yang secara tak langsung membelanya. Lebih tepatnya mematahkan ucapan Mbak Selly yang terlalu menyebalkan. "Mas Amran memang sekeren itu. Cocoklah sama Mbak Zilva yang tak perlu pakai topeng hanya untuk dianggap baik oleh mata manusia. Sejatinya dia memang baik, jadi buat apa berpura-pura baik. Orang baik nggak suka bersandiwara atau berpura-pura. Dalam kon
"Jangan senang dan bangga dulu, Ran! Memangnya kamu yakin kalau janin itu darah dagingmu? Bukankah dia sempat bertemu dengan laki-laki itu saat di Bandung dulu?!" Suara Mbak Selly kembali terdengar. Cukup halus, tapi kata-kata yang diucapkannya begitu tajam menghunus jantung. Mas Amran menghentikan langkah lalu membalikkan badan dengan cepatnya. Sorot matanya tajam, menjurus kakaknya yang masih duduk di samping mama. Mbak Selly yang ditatap seperti itu tetap bersikap seperti semula yang seolah tanpa dosa. "Apa mbak bilang? Coba ulangi lagi?" Mas Amran semakin mengeratkan genggamannya. "Jangan bangga dulu, belum tentu darah dagingmu. Belum tentu anak itu berasal dari spermamu! Ada banyak kemungkinan yang nggak kamu tahu, Amran. Tak perlu sepolos itu, apalagi dia sempat bertemu dengan rivalmu si Zain itu saat liburan kan?" Mbak Selly menatapku sinis. Aku kembali menggelengkan kepala melihat kebusukan hatinya. "Maksud Mbak Selly nuduh Zilva zina dengan Zain?" terang Mas Amran tanpa b
"Zilva!" Gadis itu memanggilku sembari melambaikan tangannya. Senyum lebarnya itu sering kali membuat rasa berbeda dalam dada. Aku bersyukur bisa mengenalnya dalam hidupku. Arumi, sahabat terbaik dan terhebat yang aku miliki. "Hei, jangan lari-lari kenapa sih? Kaya anak kecil aja," cerocosku setelah Arumi sampai di kursi sebelah. Napasnya masih naik turun tak beraturan karena setengah berlari saat menghampiriku tadi. Aku tunggu dia bicara setelah napasnya teratur kembali."Kangeeennn, Va! Seminggu kita nggak bertemu kan?" Dia kembali mengedipkan mata sembari meringis kecil."Hello ... aku bukan suami kamu ya, baru nggak ketemu seminggu aja udah kangen begitu. Makanya jangan jomblo terus, jadi ada tempat buat kangen-kangenan." Aku mencebik."Aku juga bukan istrimu. Kamu pikir aku jeruk makan jeruk? Maunya nggak jomblo, cuma kalau masih ditakdirkan jomblo gimana. Hufttt." Aku terkekeh melihat ekspresi kesalnya."Pokoknya aku kangen berat sama kamu, Va! Apalagi saat baca pesan kamu, mau
"Va, bukannya itu Mas Emil suaminya Mbak Selly? Kenapa semesra itu sama perempuan lain?" Aku dan dia masih sama-sama tercekat. Tak ada sepatah katapun yang terucap. Aku masih bengong menyaksikan pemandangan tak mengenakkan di depan mata lalu perlahan mengambil handphone dan menyimpannya sebagai bukti. Barang kali esok atau lusa memang dibutuhkan. "Va ..." Arumi kembali menyenggol sikuku. "Apa sih, Mi?" Aku pun membalasnya setengah berbisik. Masih kurekam adekan pasangan itu dari tempat dudukku. Mas Emil yang gagah itu tengah asyik bermesraan dengan seorang perempuan dengan hijab dan gayanya yang modis. Wajahnya cantik, senyumnya menawan dan tubuhnya langsing. Sepertinya Mas Emil memang sangat nyaman saat bersama perempuan itu. Entah siapa aku pun tak tahu. Kebersamaan dan keromantisan mereka, mengingatkanku pada Mas Amran. Dia yang memperlakukanku begitu sistimewa sebagai tanda cintanya. Mungkinkah tanda itu pula yang diperlihatkan Mas Emil pada perempuan itu? "Mereka selingkuh,
"Mas, gimana soal kecelakanku itu? Apa sudah ada titik terangnya? Aku penasaran sebenarnya siapa dalang semua itu." Aku kembali mengingatkan Mas Amran tentang kasus itu sembari menyiapkan makan siangnya, nasi dengan timlo dan telur asin. "Belum, Sayang. Mobil itu ternyata rental, bukan mobil pribadi. Penyewanya saat itu pakai KTP palsu sepertinya. Aku udah lacak ke alamatnya, ternyata nggak jelas. Nggak ada nama itu di sana." Mas Amran menatapku beberapa saat lalu mengusap lenganku pelan. "Tenang saja ya? Aku masih berusaha mencarinya," sambungnya dengan senyum tipis. Aku pun mengangguk pelan. "Nggak minta bantuan polisi saja, Mas?" "Belum perlu, Sayang. Pemilik rentalnya bilang, kalau penyewa mobil itu sempat tiga kali menyewa mobil di sana sebulan terakhir. Misal dia balik lagi, nanti langsung ngabari kita. Kalau minta bantuan polisi sekarang, takutnya kamu dimintai keterangan ini dan itu, Sayang. Aku nggak mau kamu banyak pikiran dan kecapekan karena masalah ini. Jadi, soal tr
"Itu Gibran kan, Mas?" tanyaku pada Mas Amran yang baru melepaskan seat belt. "Iya, Sayang. Itu Gibran. Apa mungkin yang nabrak kamu waktu itu Gibran atas perintah Lala?" Mas Amran menatapku lekat penuh dengan kecurigaan. Ingin kukatakan mungkin, bisa jadi atau bahkan iya, tapi aku hanya menjawab dengan mengedikkan bahu. Pikiranku benar-benar kalut. Apakah dugaan Mas Amran itu benar? Lala yang menyuruh Gibran untuk mencelakakanku saat itu? Entahlah. Gerbang rumah Lala terbuka sebagian. Laki-laki itu pun masuk ke dalam. Mas Amran buru-buru memarkirkan mobil di halaman masjid yang ada di seberang jalan. Perlahan dia mengajakku untuk ke rumah Lala. Meski aku menolak, tapi dia tetap memaksa. "Ini kesempatan langka, Sayang. Kita harus tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jika memang Lala biang keroknya, dia harus mendapatkan balasan setimpal karena sudah membuatmu celaka," ujarnya sembari menarik perlahan tanganku. "Kamu mau menjebloskan dia ke penjara, Mas?" Mas Amran kembali menghela n