[Sayang, pulangnya aku jemput ke cafe ya? Motor simpan di sana saja. Kita ke rumah mama. Bukti soal Lala kurasa sudah cukup dan mama harus tahu secepatnya. Lagipula sakit jantung itu hanya pura-pura kan? Buat apa ditunda-tunda. Sekalian Mbak Selly dan Prilly kuminta datang untuk jadi saksi] Pesan Mas Amran muncul di WhatsApp. Aku membacanya sekilas sembari sesekali memejamkan mata karena pusing. Badan rasanya lesu dan tak bertenaga, padahal jelas aku sudah sarapan dan makan siang. Bahkan minum susu segala. Sebelum jam satu siang aku diantar pulang oleh Fani dan Ida. Fani memakai motor maticku, pulangnya dia berboncengan dengan Ida. Mereka khawatir melihatku pucat dan lemas. Tadinya akan diantar ke klinik, hanya saja aku menolak. Kurasa ini hanya kecapekan biasa dan aku cuma butuh istirahat.[Aku sudah di rumah, Mas. Jadi, kalau mau jemput nanti ke rumah saja ya? Entah mengapa mendadak nggak enak badan. Mungkin kecapekan karena akhir-akhir agak terforsir, tapi kamu nggak perlu khawat
"Mama dan semua yang di sini bisa mendengarkan dan melihat video ini. Setelah selesai, silakan beri tanggapan. Apakah pantas dipertahankan atau lebih baik diceraikan," ucapnya tenang, tapi membuat perempuan-perempuan di sampingnya itu tercekat seketika. Mereka saling pandang tak mengerti lalu Mbak Selly buru-buru memutar video di handphone Mas Amran. Semua video dibukanya, termasuk video pengakuan Lala yang hanya menginginkan harta Mas Amran saja. Bahkan mama sangat shock saat mendengar Lala meminta empat puluh juta sebagai denda kontrak padahal jelas atasannya bilang tak ada denda sebab dia memaklumi keputusan Lala untuk hijrah. Kebetulan atasannya pun dalam proses hijrah dengan menutup aurat. "Gimana, Ma? Masih bersikukuh kalau menantu mama itu yang terhebat dan terbaik? Atau mama masih tetap yakin jika dia bisa menjadi istri shalehah buat Amran?" tanya Mas Amran dengan tenang. "Setelah melihat semua video itu, apakah mama masih berharap dia menjadi istri sholehah yang patuh pada
"Sayang ... kamu nggak apa-apa kan?" Mas Amran kembali bertanya dengan khawatir. Perlahan kubuka pintu setelah cuci muka dan merasa baik-baik saja. Mencoba untuk tersenyum menatapnya agar tak terlalu mengkhawatirkan keadaanku. Aku harus bertahan di sini, setidaknya sampai masalah ini selesai. Ingin kutahu keputusan apa yang akan diambil Mas Amran setelah topeng istri keduanya terbongkar. Jangan sampai keputusan akhirnya tertunda karena dia terlalu mengkhawatirkan keadaanku yang tak baik-baik saja. "Aku oke kok, Mas. Jangan terlalu khawatir. Ayo dilanjutkan, aku mau ikut mendengarkan keputusan terbaik untuk masalah ini," balasku lagi dengan seulas senyum.Mas Amran mengusap wajahku yang masih sedikit basah lalu mencium keningku begitu saja. Seolah tak peduli ada beberapa pasang mata yang sedang mengawasinya. Kulirik Lala yang melengos saat melihat Mas Amran mulai mengusap kepalaku lalu membawaku ke dalam dekapannya. Aku tahu dia cemburu. "Bener kamu nggak kenapa-kenapa, Sayang?" ta
"Mas, aku keluar sebentar ya? Mau cari sesuatu di minimarket," pamitku pada Mas Amran. Daripada menunggu kedua orang tua Lala yang mungkin masih lama sampainya, lebih baik aku beli camilan dan minuman dingin biar lebih seger. Kebetulan di samping menimarket itu ada apotek mini, rencananya sekalian beli tespek. Meski sangat khawatir hasilnya tak berbeda dengan tes-tes sebelumnya, setidaknya aku tak lagi penasaran dengan rasa mual yang menyerangku beberapa hari terakhir. Jika memang hasilnya nanti benar-benar negatif, biarlah aku yang kecewa duluan sebelum Mas Amran. "Minimarket mana? Biar kuantar, nggak mungkin jalan kaki kan?" Mas Amran nyaris beranjak dari sofa, tapi kutarik untuk duduk kembali. "Mini market samping pos satpam itu, Mas. Mau beli camilan sama minuman dingin." Tiap kali aku ke rumah ini, memang tak pernah disiapkan camilan atau minuman. Biasanya Mas Amran yang buatkan minum untukku. Hanya saja, kali ini dia sibuk dengan masalahnya dan aku nggak mau mengganggu. Se
"Astaghfirullah, Mas! Kamu beneran talak aku? Serius, kamu ceraikan aku, Mas?!" Lala membulatkan kedua matanya sembari menggeleng pelan. Dia sangat shock mendengar talak itu benar-benar keluar dari bibir Mas Amran. "Iya. Aku talak kamu, La. Semua sudah jelas dan mama pun tak menolak. Pernikahan ini digelar juga bukan karena cinta, melainkan karena aku hanya gjjqingin menuruti permintaan mama yang konon sakit jantung, tapi ternyata hanya sandiwara." Mas Amran bicara lagi dengan tenang. Mama hanya melirik sekilas lalu menghela napas. Tak ada pembelaan apapun yang dia lakukan. Hanya diam saja mendengarkan obrolan demi obrolan. Om Galih terlihat merah padam menahan amarah yang mungkin mulai memuncak, sementara Tante Risma hanya menangis saja, sama seperti mama. "Mama yakin membiarkan Mas Amran menceraikanku? Mama tahu sendiri kalau perempuan itu mandul kan? Memangnya mama nggak pengin punya cucu?" Lala terus mencecar mama yang masih menunduk sembari sesekali menyeka kedua pipinya yang
"Mas!" Terdengar suara benda pecah, entah apa. Aku tak peduli. Perlahan membuka pintu dengan perasaan berdebar tak karuan. Baru melongokkan kepala, dikagetkan dengan teguran Prilly yang membawa dua gelas susu, mungkin untuk Ruri dan Fika. "Mbak, ngapain ngintip-ngintip begitu? Eh, itu tespek kan?" tunjuk Prilly dengan dagunya. Aku buru-buru menyembunyikan tespek yang kubawa, bingung mau memulai cerita dari mana saking bahagianya. "Hasilnya apa, Mbak? Positif kan?" tanyanya penasaran. Aku hanya diam saja bahkan saat dia meletakkan kembali dua gelas susu itu ke meja makan lalu melangkah perlahan ke arahku."Lihat dong, Mbak." Lagi-lagi adik iparku itu minta izin melihat garis di layar tespekku. Tak ingin menutupi sesuatu yang seharusnya tak kusimpan sendiri, aku pun memberikan tespek itu padanya. Prilly tersenyum menatapku lalu mengusap tangan. Dilihatnya garis di tespek yang dia pegang saat ini. "MasyaAllah, Mbak. Ini garis dua jadi kamu positif hamil! Alhamdulillah, Mbak Zilva ben
Kedua orang tua Lala membawa anak perempuannya itu ke mobil. Ada raut kecewa di wajah Tante Risma, hanya saja dia mungkin memaklumi keputusan Mas Amran. Wanita tengah baya itu juga sempat minta maaf pada mama dan Mas Amran atas sikap Lala yang mungkin di luar batas. Dia tak menyangka jika anak perempuannya senekat itu, bahkan pergaulannya di luar rumah pun dia tak tahu. "Maafkan kami, Rat. Kami tak bisa mendidik Lala dengan baik. Amran tentu kecewa dan itu wajar, kami mengerti. Karena itu pula kami tak menuntut macam-macam," ujar Tante Risma di sela isaknya. "Nggak apa, Ris. Aku juga minta maaf kalau hubungan kita berakhir kurang harmonis begini, tapi kamu harus janji jangan dimasukin hati ya? Kita masih bersahabat seperti biasanya kan?" Tante Risma mengangguk pelan lalu keduanya berpelukan. Mereka tak peduli dengan Lala yang masih mengomel nggak jelas di dalam mobilnya bersama sang supir. Om Galih pun mengucapkan maaf yang sama. Terutama pada Mas Amran yang memang bertanggungjawa
"siapa yang akan menjamin? Yang menjamin Allah. Kalau orang yang Mbak Selly maksud itu takut sama Allah, tentu dia nggak akan pura-pura baik seperti itu. Topeng hanya dipakai oleh orang-orang munafik dan tak sadar kalau Allah Maha Melihat. Dia tak peduli dengan sifat-sifat Allah yang memang berbeda dengan makhluk, yang penting baginya tetap terlihat baik dan setia meski hanya pandangan mata manusia belaka. Aku yakin orang-orang seperti itu memang masih banyak, tapi orang-orang yang takut sama Allah juga tak kalah banyak." Mas Amran menimpali perdebatan kedua saudara perempuannya. Prilly tersenyum tipis mendengar jawaban Mas Amran yang secara tak langsung membelanya. Lebih tepatnya mematahkan ucapan Mbak Selly yang terlalu menyebalkan. "Mas Amran memang sekeren itu. Cocoklah sama Mbak Zilva yang tak perlu pakai topeng hanya untuk dianggap baik oleh mata manusia. Sejatinya dia memang baik, jadi buat apa berpura-pura baik. Orang baik nggak suka bersandiwara atau berpura-pura. Dalam kon