POV : AMRANZilva sudah cukup bagiku, wanita yang penurut, cantik, perhatian dan nyaris sempurna. Hanya satu yang membuatku was-was, dua tahun berumah tangga dia belum juga hamil. Jujur, aku juga menginginkan seorang buah hati, hanya saja aku rela menunggu benih itu lahir dari rahimnya. Sayangnya mama tak mau menunggu bahkan memaksaku menikah dengan Lala. Perempuan itu memang teman masa kecilku. Dia bahkan sudah kuanggap seperti adik sendiri saat itu. Namun, sejak dulu Lala memang memiliki rasa berbeda denganku. Aku tahu, hanya saja pura-pura tak tahu. Berulang kali mama menyarankan untuk berhubungan lebih dari sekadar teman, tapi aku menolak. Rasaku padanya tak bisa diubah begitu saja, hingga aku dipertemukan dengan Zilva. Adik kelasku saat kuliah dulu. Dia yang memiliki fans cukup banyak karena kecantikan wajah dan hatinya. Tak hanya itu saja, Zilva juga pintar dalam akademik bahkan dia mendapatkan beasiswa untuk kuliahnya itu. Aku tak tahu bagaimana perasaannya kala itu padaku, h
POV : AMRAN[Dia nggak mungkin menyebarkan video itu. Jika nekat, justru dia yang akan masuk penjara. Dia hanya menggertakmu, La. Jauhi dia. Kalau dia mengancam, ancam balik. Jangan berada di bawahnya karena dia akan semakin semena-mena. Kalau kamu mau, lebih baik lapor papa sekalian. Papa lebih tahu bagaimana menghadapi laki-laki itu]Balasanku saat itu pun masih kusimpan. Sebagai bukti jika aku tak membiarkannya begitu saja. Aku sudah berusaha menempatkan diri sebagai suaminya. Hanya saja, dia yang kurang bisa menghargai statusku di depan teman-temannya hanya karena urusan kontrak kerja. Ancamanku pada Gibran hanya dijadikan bahan tertawaan. Dia bahkan mengancamku balik jika sampai menghalangi keinginannya. Laki-laki itu benar-benar berbahaya. Namun, tiap kali aku meminta Lala untuk menceritakan semuanya pada papa, dia tetap saja menolak dengan berbagai alasan. Mungkinkah sekarang laki-laki itu sudah mendapatkan apa yang dia inginkan dari Lala? Apakah mereka kembali berhubungan la
Kepergian Mas Amran ke rumah mama semalam benar-benar membuatku tak tenang bahkan tak bisa tidur dengan nyenyak. Apalagi tak ada handphone untuk menghubungi atau sekadar tanya kabarnya. Layar handphoneku hancur karena kecelakaan kemarin dan Mas Amran janji akan membelikan handphone baru untukku setelah pulang dari rumah mama. Menunggu Arumi sampai jam besuk tiba rasanya juga terlalu lama. Tak sabar ingin cerita banyak hal dengannya, apalagi soal Lala. Barang kali dia bisa membantuku memecahkan masalah Mas Amran ini. Setidaknya agar mama tahu siapa menantu kesayangannya itu. Jika Mas Amran tak mau membuka aib Lala di depan siapapun demi janji dan menjaga perasaan mama, kurasa aku bisa mengambil alih tugasnya bukan? Aku akan cari bukti sendiri siapa Lala sebenarnya dan membongkarnya di depan mama. Mama harus tahu siapa yang layak dijadikan menantu idaman, aku atau perempuan itu. "Pagi, Cantik. Jangan melamun, nanti bisa kesambet jin tomang!" Aku sedikit terkejut saat dia datang, tapi
"Lala sama Gibran sempat ribut saat aku di sana. Lala nggak mau Gibran mengganggunya lagi, tapi laki-laki itu tetap memaksa. Dia ingin ngobrol serius dengan Lala di cafe katanya. Daripada mengundang keributan di studio, akhirnya Lala mengiyakan. Saat itulah drama besar itu terjadi dan aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri." Aku kembali tersentak mendengar cerita Arumi barusan. Jadi, dia saksi mata kedekatan Lala dengan laki-laki bernama Gibran itu? Dia melihat sendiri pertemuan perempuan dan laki-laki itu di cafe? Atau-- "Aku pamit pada Zikri untuk pergi lebih dulu karena sudah agak malam. Suasana cafe cukup ramai saat itu, tapi aku tetap pakai masker jadi tak ada yang tahu kehadiranku di sana bahkan saat Mas Amran datang menjemput istri keduanya itu pun kurasa dia tak melihatku." "Terus? Kamu rekam kejadian itu nggak?" tanyaku sedikit gugup antara lega, kecewa dan kasihan. Entah perasaan apa yang kini berkecamuk di dadaku detik ini. "Tenang saja, Va. Aku cukup bisa diandalk
Tiga hari mendapatkan perawatan di rumah sakit membuatku sedikit lebih baik. Meski masih ada perban di sana sini, tapi aku kembali bersyukur sebab tak mengalami cidera parah. Hanya bagian kaki, lengan dan kening saja yang terluka. Bagian kaki yang agak parah, tapi aku masih bisa berjalan meski sedikit pincang. Tak apa, setidaknya masih cukup leluasa bergerak dan tak membutuhkan kruk untuk menyangga badan. [Sayang, Maaf cuma bisa jemput, nggak bisa temani kamu di rumah. Aku kerja dulu ya? Nggak usah masak. Nanti aku pesankan online buat makan siang. Soal beberes rumah, nanti ada Bi Lasmi. Selama kamu di rumah sakit, dia sudah kerja di rumah kita. Berangkat pagi pulang sore. Hari ini sengaja kuminta agak siang datangnya. Mungkin jam sebelasan baru datang. Tunggu saja ya?] Pesan dari Mas Amran baru saja kubaca setelah tiga puluh menit berselang. Hari ini dia memang harus kerja karena cutinya habis. Sejak pernikahan keduanya waktu itu, Mas Amran sudah sering cuti, tak enak jika cuti la
Cerita Arumi benar-benar membuatku cukup shock. Lala terlalu berani, seolah tak takut menghadapi apapun dan siapapun."Lala? Kok bisa sih? Ngapain coba dia ke kantormu, Mi." Arumi hanya angkat bahu mendengar pertanyaanku. "Stress kali dia. Ngeselin!" gerutunya lagi. Aku semakin tak paham apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka berdua. Aku pun tak tahu kenapa Lala senekat itu menemui Arumi. "Intinya, perempuan itu ngapain ke kantormu, Mi? Dia ngomong aneh-aneh nggak? Atau dia mengancam kamu?" Cecarku lagi. "Lala lihat aku saat dia cekcok sama Gibran di apotek. Saat itu kebetulan aku mau beli vitamin buat sepupu yang lagi hamil. Eh ketemu dua manusia itu di sana. Mungkin beli tespek kali." "Oh iya, Mas Amran bilang kalau Lala nggak hamil. Asam lambungnya naik makanya muntah-muntah. Dia juga kecapekan jadi lemes dan pucat." "Itu dia, Va. Perempuan itu curiga aku yang bilang ke Amran soal hubungannya dengan Gibran. Dia juga curiga kalau aku yang mengompori Mas Amran untuk memaks
Arumi mengemudikan mobilnya dengan santai, tapi dalam hatiku tak bisa sesantai itu. Aku benar-benar penasaran apa yang akan dilakukan Arumi di rumah mama nanti. "Va, ngelamun terus." Arumi menoleh sekilas lalu kembali fokus dengan laju mobilnya. "Rada takut aku, Mi. Takut kalau sakit jantung mama kambuh gimana?" Aku menatapnya lekat. Meski sanksi dengan sakit jantung mama, tapi aku masih takut jika terjadi sesuatu padanya saat Arumi membeberkan bukti tentang menantu kesayangannya. "Yakin banget mama mertuamu itu punya riwayat jantung?" Arumi kembali menoleh sekilas lalu tersenyum tipis. Aku hanya menghela napas sembari mengedikkan bahu. Entah. Jikalaupun mama hanya pura-pura sakit jantung, masa iya dia sampai melakukan hal konyol begitu demi keinginannya dipenuhi oleh Mas Amran? Apa mama nggak takut kena adzab beneran jika pura-pura sakit begitu? "Kadang, orang bisa menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan apa yang dia inginkan, Va. Makhluk di bumi ini beragam dan semua tak
"Mama tahu maksud kamu, La, tapi mama juga tahu bagaimana maksud Amran. Kamu hanya ingin mengakhiri karirmu dengan sempurna, sampai kontrak habis, tapi di sisi lain Amran juga nggak mau kamu ikut pergaulan teman-temanmu yang nggak bener itu. Apalagi dia lihat sendiri kamu pulang dalam keadaan mabuk dan pakai pakaian seksi seperti beberapa hari lalu. Wajar jika Amran berpikir macam-macam kan?" Aku tak tahu jawaban Lala, mungkin dia hanya diam saja atau sekadar menghela napas sebab mama melanjutkan kalimatnya lagi. "Amran hanya nggak ingin istrinya terjerumus pergaulan buruk di luar sana. Walau bagaimanapun kamu adalah istrinya, La. Baik buruknya seorang istri akan menjadi tanggungjawab suaminya. Mama papa kamu pasti juga akan menyalahkan Amran kalau kamu ikut pergaulan seperti itu. Tolong, mengertilah." Nasehat mama lagi. "Iya, Ma. Aku tahu itu. Aku juga sudah minta maaf sama dia dan janji nggak akan ngulangi kesalahan yang sama. Lagipula saat itu bukan disengaja, Ma. Aku dijebak tem
"Assalamualaikum, Jeng Ratna. Gimana kabarnya?" Ratna, mamanya Amran menerima panggilan telepon. "Wa'alaikumsalam, Jeng Mayang. Alhamdulillah kabar saya dan keluarga baik. Kabar Jeng May sama Wita bagaimana?" balas Ratna dengan senyum tipis. Ternyata yang menelepon saat ini adalah Mayang, mamanya Deswita. Wanita paruh baya itupun gegas mencuci tangan di wastafel. Suara Mayang terdengar cukup keras saat loud speaker di handphone Ratna diaktifkan. "Alhamdulillah kami juga baik, Jeng. Kebetulan Wita sama suaminya baru pulang dari Singapure. Mereka bawa oleh-oleh lumayan banyak, sudah dibagi-bagi ke tetangga. Tadi pagi kami ke rumah Jeng Ratna, sayangnya nggak ada di rumah. Memangnya Jeng Ratna sekeluarga ke mana?" tanya Mayang perlahan. "Oh iya, Jeng. Sejak kemarin kami memang pergi hajatan ke rumah saudara. InsyaAllah sore nanti pulang, sengaja menginap semalam di sini. Wita baru pulang honeymoon ya, Jeng?" balas Ratna lagi. "Benar, Jeng. Mereka baru pulang honeymoon di Singapure.
"Tamu yang kamu tunggu datang tuh, Mas," ucap Arumi saat melihat Lana dan Dikta datang dari pintu utama. Berliana adalah perempuan yang disukai Radit sejak dulu, namun cintanya bertepuk sebelah tangan. Dia justru menikah dengan Dikta, cinta pertamanya saat di sekolah putih abu-abu dulu. "Apa kamu bilang?" tanya Radit yang tak terlalu mendengar ucapan istrinya. Radit sempat melamun beberapa saat, jadi tak fokus dengan pembicaraan Arumi. "Tamu yang kamu tunggu sudah datang. Lihatlah, biar hatimu senang," ucap Arumi lagi dengan menahan sesak di dada. Radit cukup kaget saat melihat Lana datang bersama suaminya, lebih kaget lagi saat mendengar ucapan sang istri perihal masa lalunya. Dia memang sempat cerita soal Lana sekilas, tapi tak menyangka jika Arumi mengenali wajah perempuan itu. Tanpa Radit tahu jika Arumi sempat melihat Lana di album foto mertuanya bahkan ada foto perempuan itu di dompet suaminya. "Kamu tahu darimana kalau dia Lana?" tanya Radit gugup. Dia menatap Arumi beber
Suasana begitu meriah saat keluarga Amran sampai ke gedung tempat pernikahan Arumi dan Radit digelar. Sepasang pengantin sudah duduk di pelaminan. Arumi tampak cantik dan anggun dengan kebaya berwarna biru mudanya. Radit pun terlihat lebih tampan dan menawan dengan warna jas yang sama."Zilva!" Arumi melambaikan tangan pada Zilva yang baru memasuki gedung. Zilva tersenyum sembari memberikan kode agar sahabatnya itu bisa menjaga sikap karena banyak tamu yang datang. "Mas, aku ke sana sebentar ya?" ucap Zilva saat ingin menghampiri Arumi di pelaminan. "Iya, Sayang. Aku tunggu di sini sama mama. Mbak Selly juga mau ikut itu," balas Amran sembari menunjuk kakaknya yang melangkah paling belakang. "Iya, Mas. Mbak Selly juga mau ngucapin selamat." Zilva tersenyum tipis. "Kenapa nggak sekalian nanti aja pas mau pulang?""Kelamaan, Mas. Arumi sudah lihat tadi, lagipula cuma salaman aja, nanti ke sini lagi," bisik Zilva dibalas dengan anggukan suaminya. Zilva pun menggandeng Rafka lalu men
Robby, tangan kanan Amran itu tiba-tiba datang tanpa mengirimkan pesan terlebih dahulu. Sepertinya ada kabar penting yang dia bawa, makanya buru-buru datang meski dia juga tahu kalau Amran dan keluarganya ada acara saat ini. "Maaf mengganggu, Mas. Ada berita penting yang harus saya sampaikan secepatnya," ucap Robby sembari mengikuti langkah bosnya ke teras rumah. Amran duduk di salah satu kursi teras lalu disusul oleh Robby yang menduduki kursi lain. "Soal apa? Kecelakaan Prilly?" tebak Amran seketika. Namun, Robby menggeleng pelan membuat Amran mengernyit. "Kalau bukan itu, lantas soal apa?" tanyanya penasaran karena tebakan yang diyakininya benar justru salah besar. "Soal lelaki berjaket kulit yang selama ini meneror keluarga bos." Robby mengangguk pelan berusaha meyakinkan saat Amran menatapnya lekat. "Kenapa dia? Sudah tertangkap?" Kali ini Robby menggeleng. "Lantas? Lincah sekali dia, bisa-bisanya kamu dan anak buahmu tak mampu menangkapnya setelah sekian lama berusaha mel
Zilva merahasiakan permasalahan Arumi dengan calon suaminya dari Amran. Dia ingin menjaga perasaan sahabatnya, meskipun Amran sedikit tahu tentang kisah percintaan Arumi saat ini. Kisah cinta yang datang dari sebuah perjodohan, sementara Radit belum selesai dengan masa lalunya. "Cantik," puji Amran saat melihat istrinya keluar dari kamar dengan gamis abu-abunya. Rafka dan Amran pun memakai kemeja dengan warna yang sama. "Bukannya dari dulu memang cantik, Mas? Lupa?" Zilva sedikit mencibir saat digoda suaminya. "Nggak lupa dong. Lagipula kalau nggak cantik, mana mungkin jadi istri seorang Amran." "Oo ... jadi, kriteria menjadi istri Amran itu hanya cantik saja?" Zilva melirik malas. "Cantik wajahnya memang banyak, tapi yang cantik wajah dan hatinya itu nggak akan banyak." Amran menarik pelan dagu istrinya lalu mencium kening dan bibirnya."Kalian sudah siap?" Tiba-tiba mama Amran muncul dari ruang tamu. Sepertinya dia baru saja datang bersama Selly dan Ruri. "Astaghfirullah!" pek
"Om Galih ya, Mas?" tanya Zilva setelah Amran mengakhiri panggilan. Laki-laki itu pun mengangguk lalu meletakkan kembali benda pipih kecil berwarna hitam itu ke meja. "Om Galih bilang kalau Lala akan segera bebas sekitar enam bulan lagi." Zilva manggut-manggut. "Lala masih berharap kalau kamu bakal jenguk dia?" tebak Zilva yang tahu apa inti pembicaraan itu. Zilva paham bagaimana keinginan Lala, tapi dia juga mengerti bagaimana keputusan suaminya yang tak ingin berhubungan dengan mantan istrinya itu lagi. "Biar sajalah, Sayang. Makin ribet kalau nanti berurusan dengan dia lagi. Kita nggak tahu apakah tiga tahun penahanannya itu membuatnya benar-benar jera atau justru menimbulkan dendam semakin dalam." "Jenguk saja sekali, Mas. Nggak ada salahnya kan?" bujuk Zilva lagi. Namun, Amran justru hanya membalas dengan hembusan napas kasar lalu menyandarkan punggungnya ke sofa. "Kamu lupa bagaimana sepak terjangnya selama ini? Dia nyaris memisahkan kita dan membuat kita selalu ribut, Saya
"Assalamualaikum. Bagaimana kabarmu, Ran?" Suara dari seberang mengingatkan Amran dengan seseorang yang begitu dia kenal. Amran mengernyit. Dia tak tahu mengapa tiba-tiba laki-laki itu meneleponnya dengan nomor baru. "Wa'alaikumsalam, Pa. Alhamdulillah kabar baik. Papa sama mama gimana?" tanya Amran pada Galih, orang tua Lala yang tak lain mantan istri keduanya. "Alhamdulillah kami baik, Ran." Amran mengucap Hamdallah saat mendengar berita baik itu. "Sudah lama tak kasih kabar, papa hanya mau bilang kalau nomor yang lama hilang. Ini nomor baru papa." "Iya, Pa. Nanti Amran simpan nomornya. Maaf belum bisa jenguk papa dan mama. Akhir-akhir ini cukup banyak masalah dan Amran harus menyelesaikannya satu persatu." Amran menghela napas panjang. Sejak perceraiannya dengan Lala beberapa bulan silam, Amran memang hanya dua atau tiga kali menjenguk mertuanya. Itupun karena mama mertuanya sakit. Setelahnya, dia tak pernah ke sana lagi karena memang banyak masalah yang menimpa keluarganya.
"Fika, sini sama Tante." Zilva menyambut Fika dengan hangat. Gadis cantik itu dititipkan pada Zilva dan Amran selama Prilly masih di klinik. Romi yang bekerja sebagai karyawan swasta tak mungkin bisa menjaga Fika 24 jam. Dia harus bekerja dan menjenguk istrinya. Oleh karena itulah, pilihan terakhir dan terbaik memang menitipkan Fika pada Zilva karena dia yang selalu di rumah. "Tante, maaf kalau Fika ganggu Tante Zilva ya," ucap Fika dengan polosnya. "Nggak ganggu, Sayang. Tante justru senang Fika di sini. Adik Rafka ada yang nemenin main. Iya kan?" Zilva jongkok, mensejajari Fika yang berdiri di depannya. Dia pun tersenyum lalu mengusap puncak kepala Fika yang menatapnya dengan berbinar. "Iya, Tante. Fika mau ajak adik Rafka main," balas Fika sembari berlari kecil ke arah Rafka yang bermain bola di ruang tengah. Zilva dan Amran saling tatap lalu sama-sama tersenyum. Amran merangkul istrinya saat melangkah beriringan mendekati Rafka dan Fika. Mereka membicarakan tentang keadaan Pr
"Gimana keadaan Prilly, Ma?" tanya Amran saat mamanya menjemput di depan pintu utama klinik Amal Sehat. "Alhamdulillah Prilly membaik, Ran. Dia cuma agak trauma saja." Amran menatap mamanya lekat."Trauma gimana, Ma?" lirih Amran sembari melangkah ke kamar inap Prilly. "Dia bilang beberapa kali tak sengaja lihat ada yang mengikutinya. Sebelum ke pasar tadi dia juga sudah lihat laki-laki yang menabraknya itu, tapi Prilly mencoba berbaik sangka. Ternyata, firasatnya memang benar kalau laki-laki itu ingin mencelakainya." Ratna menjelaskan semuanya pada Amran. "Jadi, Prilly memang sengaja ditabrak?" tanya Amran lagi saat berhenti di depan kamar inap Prilly. Ratna pun mengangguk. "Dia kabur setelah melihat Prilly tergeletak di trotoar." "Kurang ajar," gumam Amran begitu geram. Jemari-jemarinya mengepal. Dia tak akan tinggal diam melihat adiknya diperlakukan semena-mena seperti itu. "Sudahlah, Ran. Yang penting sekarang kesembuhan Prilly dulu. Soal pelakunya kita urus belakangan." "N