Mas Amran pamit menjemput istri keduanya, meninggalkanku sendiri di rumah mama dengan perasaan was-was. Namun, aku selalu meyakinkannya akan baik-baik saja. Janjiku dalam hati, tak akan diam dan mengalah seperti dulu, aku akan membela diriku dengan caraku sendiri. "Mama nggak suka kamu cari muka di depan Amran!" Mama menatapku lekat setelah mendengar deru mobil Mas Amran meninggalkan rumah mama. "Zilva juga sama, nggak suka jika mama selalu menjelekkan Zilva di depan Mas Amran," sahutku cepat."Maksudmu apa ngomong begitu?" Aku hanya diam saja, supaya mama kembali berusaha memahami apa yang kuucapkan. "Dijelekkan seperti apapun, kalau memang dasarnya baik juga akan terlihat baik. Kalau aslinya jelek, dipuji setinggi langit pun percuma karena pada akhirnya akan terlihat jelek juga. Jadi, introspeksi lah kamu, Va. Jangan selalu menyalahkan mama atas kekuranganmu sendiri." "Tak mengapa semua orang menganggap Zilva buruk, Ma. Yang penting Mas Amran tahu kalau Zilva nggak seburuk itu.
"Mas, hari ini aku mulai ke cafe ya? Aku mau buktiin ke mama kalau aku juga bisa kerja dan mengembangkan usaha kita," ucapku pada Mas Amran yang masih menikmati sarapannya. "Iya, Sayang. Yang penting kamu bahagia, asal janji satu hal." Mas Amran mengusap punggung tanganku pelan. "Janji apa, Mas?" Aku sedikit penasaran dengan pertanyaan yang masih disimpannya. "Saat aku bersamamu, harus pulang lebih cepat dibandingkan kepulanganku dan saat aku bersama Lala, jangan pulang terlalu malam. Nanti aku carikan asisten ya, buat temani kamu di rumah dan ke cafe. Setidaknya biar nggak sendirian kalau aku nggak di rumah dan nggak bisa antar kamu." "Baik, Mas. Aku juga nggak suka kalau pergi malam-malam masih di jalan kok, kecuali sama kamu atau Arumi." Aku membalas dengan senyum tipis. "Kalau kamu nggak di rumah, sesekali Arumi boleh menginap kan, Mas? Kadang suka pengin ada teman ngobrol." Aku kembali menoleh lalu memberi Mas Amran segelas air putih setelah menyelesaikan sarapannya."Boleh,
Cafe yang dibangun Mas Amran setahun lalu ini memang tak terlalu luas. Masih ada tanah kosong di bagian belakang yang akan kufungsikan untuk taman kecil dengan beberapa meja dan kursi. Bisa untuk berfoto ria sembari menikmati makanan berat atau camilan beserta minuman kekinian yang tersedia. Selama ini cafe memang sudah cukup ramai pengunjung, mungkin karena menu makanan yang disediakan tak terlalu berat dan ramah di kantong, juga ada menu camilan lain yang kekinian. Minuman pun bervariasi dari bermacam jus dan bermacam kopi. Ada delapan karyawan di cafe ini, empat untuk shift pagi sampai sore sedangkan empat lainnya untuk shift sore sampai malam. Mungkin memang belum terlalu besar untuk ukuran cafe secara normal, tapi keuntungan bersih yang didapatkan dari cafe ini sudah lumayan, tak pernah kurang dari delapan puluh juta sebulan. Aku baru memeriksa keuangan cafe yang sudah setahun berjalan ini. Tak ada yang aneh ataupun keliru, Mas Amran memang cukup teliti saat memeriksa keuangan
"Jangan bermimpi terlalu tinggi. Sampai kapanpun kamu tak akan bisa merebut cafe ini dariku, sebab cafe ini jelas sudah atas namaku. Bahkan sebelum kamu menikah dengan suamiku. Ingat itu!" ucapku saat perempuan itu membuka pintu. Dia berhenti sejenak lalu membalikkan badan menatapku dengan ekspresi kagetnya. "Apa kamu bilang barusan? Bisa diulangi? Aku kurang dengar," ucap Lala sembari menautkan kedua alisnya seolah tak percaya dengan apa yang didengarnya barusan, padahal suaraku sudah cukup jelas dan keras. "Oh, nggak dengar? Ya sudah, aku juga malas mengulang hal yang sama. Pergilah. Aku masih banyak kerjaan!" balasku cepat. "Kamu cocok menjadi karyawan, Zilva. Bukan pemilik cafe sebab akulah yang lebih pantas memilikinya," sahut perempuan itu lagi dengan senyum miringnya. "Ohya? Bukannya kamu model, duitmu tentu banyak. Kenapa nggak berusaha membangun bisnis sendiri tanpa merampas bisnis orang lain? Atau jangan-jangan kamu hanya model cadangan yang gajinya nggak seberapa, lanta
Aku tak mengingat apapun setelah tragedi itu. Terakhir yang kudengar hanya suara lengkingan seseorang yang memanggil namaku. Suara yang cukup familiar di telinga. Mas Zain. Laki-laki itu sepertinya melihatku terlempar dari motor hingga terbentur ke trotoar. Lirih kudengar suara tangis seorang perempuan. Meski masih begitu berat, aku mencoba untuk membuka mata perlahan lalu mengedarkan pandangan ke penjuru arah. Aku yakin detik ini sudah ada di ranjang rumah sakit. Nyeri menjalar di seluruh tubuh, membuatku sedikit meringis kesakitan. Di sisi kanan ranjang kulihat Mas Amran dengan wajah kusutnya. Kedua matanya sedikit sembab karena tangisan, aku yakin itu. Sementara di kiri ranjang ada Arumi. Ah iya, hanya dia perempuan yang akan menangisiku jika dalam keadaan seperti ini. Mana mungkin keluarga Mas Amran akan ikut berduka, mungkin mereka justru akan lega jika aku mati sekalian. Dengan begitu bebas meminta Mas Amran untuk mematuhi apapun yang mereka inginkan. Astaghfirullah. Dalam
"Aku sudah merasa aneh sama mobil itu sejak keluar dari cafe, Mas. Makanya pura-pura mampir ke pom bensin untuk cek, apa mobil itu ikut ke pom atau sudah pergi dan ternyata dia benar-benar mengikutiku ke pom juga makanya aku foto plat mobilnya. Beberapa meter dari pom itulah mobil itu sengaja mempercepat lajunya lalu menabrakku dari belakang." Mas Amran kembali manggut-manggut lalu mengusap lenganku pelan. "Kalau begitu biar nanti aku cek ya, Sayang. Biasanya nggak hilang karena sudah tersimpan otomatis di penyimpanan data." Sedikit lega setelah mendengar jawaban Mas Amran soal data foto itu, semoga saja memang tak hilang hingga bisa mempercepat proses penyelidikan. Aku penasaran siapa sebenarnya yang tega membuat orang lain celaka. "Banyak istirahat, Va. Aku nggak mau kamu begini, nanti siapa yang bakal dengar kebawelanku kalau kamu sakit? Siapa juga yang akan mengantarku shopping, jalan-jalan, makan dan semuanya. Kamu tahu aku nggak bisa ke mall sendirian kan?" Arumi memanyunkan
"Mas, Lala hamil?" tanyaku singkat membuatnya semakin tercekat. "Hamil?" ulangnya. Aku menghela napas. Ternyata sesak ini begitu terasa saat mendengar kata hamil, tapi bukan untukku melainkan untuk perempuan lain yang tak lain adalah istri kedua suamiku. Bayangan semakin tersisih seolah kian nyata di depan mata. Mungkinkah Mas Amran akan tetap menepati janjinya untuk mencintaiku seperti dulu, jika dia sudah memiliki buah hati dari perempuan itu seperti yang diidamkannya selama ini? Ya Allah, ternyata sekadar mendengar kehamilannya saja membuatku sesakit ini. Kenapa dia begitu cepat hamil padahal belum genap dua minggu menikah dengan Mas Amran, sementara aku yang sudah dua tahun belum juga dikaruniai momongan. Ya Allah, bolehkah aku iri? Aku takut Mas Amran mengabaikanku setelah melihat istri keduanya berbadan dua. Sanggupkah aku tetap menggenggam prinsipku untuk mempertahankan rumah tangga ini jika Mas Amran lebih fokus pada istri keduanya dibandingkan aku?"Sayang ...." Lelaki it
"Boleh telepon mama, Sayang? Aku nyalakan loud speakernya kalau kamu mau ikut mendengarkan." Mas Amran menatapku begitu dalam. Kuserahkan kembali handphonenya lalu mengiyakan rencananya barusan. "Iya, Mas. Aku penasaran apa benar Lala sedang hamil," lirihku sembari menatap Mas Amran beberapa saat sebelum dia menganggukkan kepala. Setelah mama mengucap salam, Mas Amran pun membalasnya pelan. Ada obrolan singkat di antara keduanya, tapi mama benar-benar tak menganggapku ada. Sekadar tanya keadaanku saja tak dia lakukan. Ya Allah, padahal Mas Amran sudah bilang kalau dia nggak bisa ke rumah mama karena aku kecelakaan. Sebegitu tak dianggapnya aku sebagai menantu. "Lala mual-mual, Ran. Wajahnya pucat, sepertinya dia hamil. Mama nggak mau tahu, pokoknya kamu harus ke rumah mama sekarang. Kamu beli tespek di apotek, kalau beneran hamil besok pagi kamu antar dia ke dokter buat cek kandungan. Mama sudah nggak sabar rasanya pengin gendong cucu." "Minta tolong Mas Emil saja buat beliin tes