Lima hari liburan di Bandung membuat otakku sedikit segar. Tak lagi kusut seperti sebelumnya. Mas Amran pun sudah pulang sejak kemarin. Dia mengirimiku pesan berulang kali, jika dia akan pulang bakda isya ke rumah sebab sudah seminggu dia di rumah mama. Dua hari sebelum menikah ditambah lima hari pasca menikah. Kini, ada waktu seminggu dia bersamaku. Entah mengapa tiap membahas waktu, rasa nyeri itu kembali melesak dalam dada. Sakitnya tak terkira karena kembali disadarkan bahwa Mas Amran tak sepenuhnya milikku. Ada dua cinta di hatinya. Ada dua hati yang harus dia jaga. Ada dua istri yang harus mendapatkan nafkah yang sama. Sakit, iya begitu, tapi lagi-lagi aku belum menyerah. Ada banyak waktu dan rencana yang ingin kulakukan. Bukan untuk mencari kejelekan perempuan itu, tapi untuk menunjukkan pada mereka siapa aku. Aku pernah berprestasi dan mendapatkan predikat cumlaude di kampus dengan IPK yang tinggi. Hanya demi baktimu pada suami memilih tak berkarir dan fokus di rumah. Namun
Kurasa mengalah dan sakit hati hanya akan membuat perempuan itu dan keluarga Mas Amran merasa di atas awan. Sepertinya aku harus menunjukkan pada mereka jika cintaku dan cinta Mas Amran justru semakin erat dan kuat setelah kehadiran Lala. Aku tak akan membuat mereka senang dan merasa menang telah berhasil mencabik-cabik hatiku dan menghancurkan impianku. Aku akan buktikan bisa menjadi perempuan mandiri dan kuat dengan kemampuan yang kumiliki agar mereka ternganga melihat kebangkitanku yang mungkin tak pernah mereka kira. Kuangkat panggilan Mas Amran lalu membalas salam yang dia ucapkan. Suaranya jelas berbeda, terdengar begitu ceria dan penuh semangat. Sesemangat itulah Mas Amran yang akan bertemu denganku? Atau dia semangat karena Lala sudah berhasil memuaskan hatinya? Entah, aku pun tak tahu. Yang pasti detik ini Mas Amran begitu menggebu saat bilang kalau aku tak perlu masak sebab dia akan beli dari luar untuk makan malamku dengannya. Ada rasa haru yang tiba-tiba menelusup dala
Dering handphone tak jua berhenti sedari tadi. Aku buru-buru mematikan kompor lalu melangkah tergesa ke kamar untuk mengambil handphone di meja rias. Panggilan dari nomor baru muncul di layar. Sedikit mengernyit aku mengeja kembali nomor itu. Nomor yang tak terlalu asing dalam ingatan sebab aku sempat mengeja nomor yang sama sebelumnya. Iya, nomor perempuan itu. Beberapa kali dia memang mengirimiku pesan, menelpon bahkan mengirimkan foto kebersamaannya dengan Mas Amran. Dia pikir aku akan tersulut emosi setelah melihat pesan-pesan atau foto-foto yang dikirimkannya, tapi sayangnya aku justru tak ingin membuang energi meladeni perempuan sepertinya. Kenikmatan seperti apa yang dia rasakan? Toh, aku lebih dulu merasakannya. Aku yakin kali ini dia sengaja mengganggu waktu Mas Amran saat bersamaku. Mungkin berulang kali menelpon Mas Amran, tapi tak bisa dihubungi, makanya dia sampai meneleponku berulang kali. Handphone Mas Amran memang sengaja dinonaktifkan dan aku sendiri yang menyimpann
Belanja bulanan usai, Mas Amran mengajakku makan siang di food court. Menu bakso urat sepertinya cocok untuk mengisi perutku siang ini. Mas Amran pun oke saja. Dia memang selalu begitu, mengiyakan apapun yang kumau. Mungkin karena itu pula dia tahun menikah dengannya, aku dan dia jarang sekali cekcok. Jikalaupun iya, pasti gara-gara mama ataupun Mbak Selly yang rese itu. Kalau Prilly, adik Mas Amran memang tak terlalu ikut campur rumah tanggaku. Pun kadang membelaku di beberapa kesempatan. Dia terlihat lebih netral dan tak condong ke siapapun. Jika ada salah satu di antara kami yang salah, ya disalahkan, jika benar ya dibenarkan. Tak peduli itu aku, Mbak Selly ataupun mamanya sendiri, semua dianggap sama jika memutuskan sesuatu perkara. Mungkin karena itu pula mama dan Mbak Selly menganggap Prilly lebih berpihak padaku dibandingkan pada mereka. "Mas, mama telepon lagi." Aku menggeser handphoneku ke sisinya. Entah sudah berapa banyak mama menelponku sedari tadi. Dia marah besar ka
"Mama mau tahu apa yang kita lihat?" Mas Amran mulai berkomentar setelah terdiam beberapa saat. "Memangnya apa yang kalian lihat?" Mama kembali menatapku dan Mas Amran bergantian. Tatapan tak suka kembali kuterima, tapi kali ini aku bersikap cuek dan tetap diam sengaja membiarkan Mas Amran melakukan perannya. Aku memberi kesempatan Mas Amran untuk bicara. Jika dia ikut diam, barulah aku yang akan bergerak. "Lihat ini, Ma. Seperti inilah pergaulan menantu kesayangan mama di luar sana. Memang tak semua model seperti itu, tapi dunia mereka memang seperti ini. Kebanyakan dari mereka memang menyukai kebebasan, foya-foya dan pemborosan untuk hal-hal negatif. Meski nggak semua begitu, tapi kadang pergaulan dan lingkungan membuat sebagian dari mereka terjebak di dalamnya, Ma." Mas Amran menyodorkan handphoneku yang menayangkan video kiriman dari Arumi itu. Video di mana menantu kesayangan mama terlalu bebas merokok dengan beberapa temannya, termasuk teman lelaki mereka. Pakaian yang diken
"Sayang, ini waktu kita. Lala bisa pulang dengan supir jika dia mau. Bukan jalan sendiri ke sana." Mas Amran mencoba menolak, tapi aku menggeleng pelan. "Mas, aku menyayangimu. Karena itu pula aku tak ingin kamu membiarkan istri keduamu terjerumus pergaulan bebas di luar sana. Aku nggak ingin bebanmu bertambah berat. Jemputlah, aku akan menunggumu di sini. Tenang saja. Aku akan baik-baik saja." Aku kembali meyakinkan Mas Amran lalu mengusap lengannya pelan. "Kalau aku jemput, gimana dengan mobil Lala?" "Kamu telepon saja dia lagi di mana. Nanti kamu pakai taksi, pulangnya kamu bawa mobil Lala." Mama menyahut lagi, tapi sengaja tak menatapku padahal aku dan Mas Amran duduk bersebelahan. Entah karena apa mama dan Mbak Selly seolah enggan menatapku sedari tadi. Mungkin malu sebab balasanku tak sesuai dengan dugaan mereka berdua. Mas Amran mulai menelpon istri keduanya dan bilang akan menjemput. Berulang kali Mas Amran menoleh ke arahku lalu kembali mendengarkan suara perempuan it
Mas Amran pamit menjemput istri keduanya, meninggalkanku sendiri di rumah mama dengan perasaan was-was. Namun, aku selalu meyakinkannya akan baik-baik saja. Janjiku dalam hati, tak akan diam dan mengalah seperti dulu, aku akan membela diriku dengan caraku sendiri. "Mama nggak suka kamu cari muka di depan Amran!" Mama menatapku lekat setelah mendengar deru mobil Mas Amran meninggalkan rumah mama. "Zilva juga sama, nggak suka jika mama selalu menjelekkan Zilva di depan Mas Amran," sahutku cepat."Maksudmu apa ngomong begitu?" Aku hanya diam saja, supaya mama kembali berusaha memahami apa yang kuucapkan. "Dijelekkan seperti apapun, kalau memang dasarnya baik juga akan terlihat baik. Kalau aslinya jelek, dipuji setinggi langit pun percuma karena pada akhirnya akan terlihat jelek juga. Jadi, introspeksi lah kamu, Va. Jangan selalu menyalahkan mama atas kekuranganmu sendiri." "Tak mengapa semua orang menganggap Zilva buruk, Ma. Yang penting Mas Amran tahu kalau Zilva nggak seburuk itu.
"Mas, hari ini aku mulai ke cafe ya? Aku mau buktiin ke mama kalau aku juga bisa kerja dan mengembangkan usaha kita," ucapku pada Mas Amran yang masih menikmati sarapannya. "Iya, Sayang. Yang penting kamu bahagia, asal janji satu hal." Mas Amran mengusap punggung tanganku pelan. "Janji apa, Mas?" Aku sedikit penasaran dengan pertanyaan yang masih disimpannya. "Saat aku bersamamu, harus pulang lebih cepat dibandingkan kepulanganku dan saat aku bersama Lala, jangan pulang terlalu malam. Nanti aku carikan asisten ya, buat temani kamu di rumah dan ke cafe. Setidaknya biar nggak sendirian kalau aku nggak di rumah dan nggak bisa antar kamu." "Baik, Mas. Aku juga nggak suka kalau pergi malam-malam masih di jalan kok, kecuali sama kamu atau Arumi." Aku membalas dengan senyum tipis. "Kalau kamu nggak di rumah, sesekali Arumi boleh menginap kan, Mas? Kadang suka pengin ada teman ngobrol." Aku kembali menoleh lalu memberi Mas Amran segelas air putih setelah menyelesaikan sarapannya."Boleh,