Arumi bergeming. Dia masih menunggu Radit meneruskan kalimatnya yang terpotong. Tak ingin menghakimi, Arumi memilih diam sekalipun ada sesak di dalam hatinya saat Radit terang-terangan bilang belum move on dari masa lalunya. "Tapi aku harap kamu mau bersabar, Mi. Aku yakin dengan kesabaran dan ketulusanmu itu aku bisa keluar dari rasa pahit ini," sambung Radit sembari menatap Arumi yang masih memandang lurus ke depan. Tak ada keinginannya untuk menatap balik sebab Arumi tak ingin laki-laki itu melihat kedua matanya yang berkaca. "Keluar atau masih tenggelam pada masa lalu itu diri sendiri yang menentukan, Mas. Bukan orang lain. Sekuat dan sesabar apapun aku menarikmu keluar, jika kamu masih betah di sana maka perjuanganku hanya sia-sia belaka. Jangan biarkan aku berlari sendirian, sementara kamu masih tinggal di tempat atau bahkan justru mundur semakin jauh," balas Arumi sedikit dengan penekanan. Radit memejamkan mata beberapa saat. Mungkin memang benar kata orang jika cinta pertam
"Gimana keadaanmu, By?" tanya Amran saat menjenguk Roby di rumahnya. Tangan kanan Amran itu sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Keadaannya mulai membaik meski masih ada memar di beberapa tempat. "Alhamdulillah membaik, Mas. Makasih banyak sudah mengurus administrasinya," balas laki-laki itu. Amran mengangguk lalu menepuk pelan lengan Roby beberapa kali. "Sudah menjadi kewajiban saya. Soal teror itu, kamu nggak perlu risau. InsyaAllah sebentar lagi akan menemukan titik terang." "Benar, Mas?" tanya Roby sedikit terkejut."Iya. Ada seorang teman yang berhasil menyelidikinya, tapi pelaku sepertinya tahu soal itu. Sekarang dia kabur ke Semarang," balas Amran lagi. "Syukurlah kalau begitu, Mas. Saya ikut senang kalau pelaku teror itu berhasil ditangkap. Maaf kalau sementara waktu belum bisa membantu apa-apa. Saya janji setelah pulih akan segera kembali bekerja seperti biasanya." Roby menunduk. Dia merasa bersalah karena tak bisa membantu Amran menyelidiki pelaku teror yang sela
"Mantan rivalku mau married, Sayang," ucap Amran saat makan siang bersama istrinya. Zilva menghentikan aktivitasnya menggoreng ayam beberapa saat lalu membalikkan badan. Perempuan itu mengernyit sembari menatap suaminya lekat. "Lupa?" tanya Amran singkat sembari menaik turunkan kedua alisnya. "Mas Zain?" tebak Zilva saat meniriskan ayamnya lalu kembali memasukkan ayam lain yang sudah dimarinasi. "Masih ingat rupanya," balas Amran lagi. Zilva tersenyum tipis. Dia tahu, di antara banyak lelaki yang mendekatinya, Amran hanya cemburu pada Zain. Amran merasa jika Zain rival yang cukup berat baginya. "Cemburu?" goda Zilva dengan cibiran kecil. "Nggak. Ngapain cemburu? Jelas aku pemenang hatimu kan?" "Di bibir memang bilang begitu, tapi ekspresinya menjelaskan kalau kamu itu cemburu, Mas," balas Zilva cepat. Dia merasa senang saat melihat kecemburuan Amran karena Zilva tahu cemburunya tanda cinta. "Cemburu kan?" Zilva kembali bertanya. "Nggak." "Oh ...." "Memangnya kalian sudah ng
"Deswita, Mas?" Zilva ikut menyebut nama itu. Zilva tak menyangka jika perempuan itu akan kembali mengusiknya setelah kabar pertunangannya waktu itu. Zilva mendadak banyak pikiran. Wajar jika dia mulai berburuk sangka dan menduga-duga karena selama ini Deswita memang tak pernah berhenti meneror keluarganya bahkan terang-terangan meminta Amran untuk menjadikannya istri kedua. "Mungkin calon suaminya nggak ada di sini, Sayang. Makanya dia minta bantuanku," balas Amran berusaha menenangkan Zilva. Dia tahu jika saat ini Zilva mulai tak tenang. "Tetangganya pasti ada, Mas. Saudaranya juga, kenapa harus kamu?" lirih Zilva tak terima alasan Amran. "Dia nggak punya saudara di sini. Mungkin nggak enak sama tetangganya." Zilva mendengkus kesal. Dia masih tak terima dengan alasan tak masuk akal yang diungkapkan Amran. Entah mengapa Zilva berfirasat buruk soal ini. Dia benar-benar nggak mau Amran kenapa-kenapa."Diizinkan pergi atau nggak?" tanya Amran sembari membingkai wajah cantik Zilva.
Mayang masih membisu. Tak selang lama, dia kembali memejamkan kedua matanya. Deswita merasa ada sesuatu hal berat yang sedang disembunyikan dan dipikirkan oleh mamanya. Namun, dia tak ingin memaksa. Wita paham bagaimana karakter sang mama. Semakin dipaksa, Mayang akan semakin bungkam dan merahasiakan semuanya. "Kita ke rumah sakit ya, Ma? Sudah ada Mas Amran yang akan membantu mama ke sana," lirih Wita sembari menoleh ke arah Amran yang duduk di sofa lain. Laki-laki itu hanya menatap sekilas lalu mengalihkan pandangannya pada Mayang yang masih menutup kedua matanya. "Kamu kenapa merepotkan Amran lagi, Wita? Mama sudah bilang berulang kali, jangan bikin ulah lagi. Mama malu sama Tante Ratna." Wita menghela napas panjang. "Mau minta bantuan siapa kalau bukan Mas Amran, Ma? Mama tahu Mas Panji masih di luar kota. Dia nggak mungkin bisa membantu kita," ucap Wita beralasan. "Tetangga kita juga ada. Nggak seharusnya kamu terus mengganggu Amran dan Zilva, apalagi sebentar lagi kamu ak
Mayang kembali bergeming lalu menatap anak semata wayangnya beberapa saat. "Papa. Papamu yang pergi. Papa kecelakaan tadi pagi saat berangkat ke bandara," ucap Mayang dengan isak yang tertahan. Deswita shock. Badannya luruh begitu saja di lantai. Dia benar-benar lemas seolah tulangnya lolos begitu saja dari engselnya. Wita memejamkan kedua matanya beberapa saat lalu menutup wajahnya dengan telapak tangan. Meskipun dia begitu membenci papanya setelah menikah lagi dengan selingkuhannya, tapi Wita tak menyangka jika papanya benar-benar pergi selamanya. Dia belum sempat minta maaf, belum sempat juga mengiyakan permintaan maaf papanya. Kini, semua telah berbeda dan Wita tak bisa mengulang semua yang telah terjadi. "Siapa yang memberi tahu mama soal ini?" lirih Wita di sela isaknya. "Tante-- "Oh. Kalau begitu kita ke pemakaman papa sekarang." Wita buru-buru memotong ucapan mamanya karena tak ingin mendengar nama perempuan itu disebut. Mayang begitu memahami sikap anak2nya. Wajar jika
"Kenapa kamu diam saja, Mas? Apa ada sesuatu yang kamu pikirkan?" tanya Zilva saat duduk di samping Amran sembari menyuapi buah untuk Rafka. Zilva sudah mengamati sikap Amran sejak pulang dari pemakaman papanya Deswita kemarin. Zilva yakin ada sesuatu yang mengusik pikiran suaminya. "Sejak pulang dari takziah kemarin, kamu sering murung dan diam. Apa terjadi sesuatu di sana, Mas?" tanya Zilva lagi. Dia menatap suaminya lekat. Tanpa diminta, Zilva memijit lengannya pelan untuk sedikit menenangkan. Amran menghela napas lalu mengambil handphonenya dari meja. Beberapa saat kemudian dia memperlihatkan foto di layar handphone itu pada istrinya. Zilva mengernyit. Dia menatap layar handphone itu lalu bergantian menatap suaminya karena belum juga paham apa yang dikhawatirkan Amran saat ini. "Dia yang meneror kita, Mas? Laki-laki berjaket kulit itu mengikuti kamu sampai makam?" tanya Zilva dengan mimik penasaran. "Bukankah tempo hari kamu bilang dia kabur ke Semarang karena dicari polisi?
[By, tolong selidiki Deswita. Kamu masih ingat dia kan? Aku curiga peneror selama ini ada hubungannya dengan dia. Kemarin aku tak sengaja bertemu laki-laki itu di pemakaman papanya]Pesan Amran terkirim ke aplikasi hijau Roby. Laki-laki itu sudah sehat dan bisa beraktivitas seperti semula. Dia juga lebih cekatan saat Amran memerintahkan sesuatu. Roby merasa memiliki banyak hutang budi pada bosnya. Oleh karena itulah, selain ingin mendapatkan gaji bulanan, Roby juga ingin membantu keluarga Amran dan menjalankan tugasnya dengan sepenuh hati. Dia tak ingin mengecewakan dua orang yang selama ini selalu membantunya banyak hal di saat dia mendapatkan kesulitan.[Baik, Mas. Nanti saya kabari kalau sudah mendapatkan infonya] Amran membaca balasan dari Roby. Dia kembali mengetik balasan. [Bawa anak buahmu. Jangan jalan sendiri. Saya nggak mau kejadian lalu terulang lagi. Kamu harus lebih berhati-hati] Roby mengiyakan pesan dari Amran. Rencananya, dia akan mengajak salah satu anak buahnya u