[By, coba selidiki orang ini. Beberapa kali dia mengikutiku dan Zilva. Dia juga selalu mengawasi rumah dan cafe. Cari tahu siapa dia dan siapa yang menyuruhnya!]Amran mengirimkan pesan itu pada Roby, tangan kanannya. Roby yang saat ini masih menikmati secangkir kopi dan roti bakar di sebuah cafe gegas membalas pesan dari bosnya itu. Dia mengamati beberapa foto yang dikirimkan Amran. Tak terlihat jelas bagaimana wajahnya bahkan plat nomor motornya pun tak terlihat. Sepertinya memang sengaja ditutup agar tak terlihat orang lain. [Apa kamu kenal? Coba tanya anak buahmu, kali saja mereka kenal orang ini] Pesan terbaru Amran kembali muncul di layar. [Nggak jelas wajahnya, Mas. Aku harus menyelidikinya sendiri. Mereka juga nggak akan tahu kalau fotonya begini, Mas. Tenang saja, aku pasti bisa mendapatkan informasi tentang dia secepatnya] Amran manggut-manggut setelah mendapatkan balasan dari Roby. Dia menghela napas panjang lalu kembali latihan berjalan. Mondar-mandir dari ruang tamu s
Zilva baru saja menyelesaikan sarapannya dan mencuci peralatan makan di wastafel saat melihat Amran keluar kamar sembari menggendong Rafka. Wajah lelaki itu terlihat cemas dan tak baik-baik saja, membuat Zilva segera mendekat. "Sini sama mama, Sayang," ajak Zilva kemudian. Rafka tak menolak. Dia merangkul mamanya lalu memeluknya erat dalam gendongan. Amran masih mengetik di layar handphonenya untuk membalas pesan dari Hisyam. Setelah terkirim, dia mengikuti istri dan anaknya yang sudah duduk di sofa ruang tengah. "Kenapa, Mas? Apa ada masalah lagi?" tanya Zilva saat Amran melangkah perlahan ke arahnya. "Roby kecelakaan, Sayang." Amran menjatuhkan bobotnya ke sofa lalu menatap lekat Zilva yang duduk di sebelahnya. Ada Rafka di antara mereka berdua. "Innalilahi wa innailaihi roji'un. Kok bisa, Mas? Kejadiannya gimana dan dimana?" Zilva ikut shock mendengar kabar duka itu. Dia memberikan beberapa mainan untuk Rafka lalu fokus mendengarkan cerita Amran. Laki-laki itu memperlihatkan
"Racun, Mbak?" Pak Joko kaget saat mendengar Zilva mengucapkan kata itu. "Iya, Pak. Saya khawatir ada racunnya. Saya nggak bermaksud melarang Pak Joko makan nasi kotak ini. Hanya saja bapak tahu sendiri kalau akhir-akhir ini saya dan Mas Amran sering mendapatkan teror. Waktu itu ada paket berisi ular berbisa dan beberapa hari belakangan ada laki-laki yang mengawasi rumah ini. Mas Amran sudah bilang sama bapak untuk lebih berhati-hati kan?" tanya Zilva saat menerima kembali kresek dari Pak Joko. Laki-laki dewasa itu manggut-manggut setelah mendengarkan penjelasan bosnya. "Benar juga ya, Mbak. Mas Amran sering mengingatkan saya untuk lebih berhati-hati saat menerima paket apapun. Cuma pikir saya tadi nasi ini dari tetangga sini mana mungkin ada racunnya. Maaf kalau kurang teliti ya, Mbak," ucap Pak Joko kemudian. "Apa perlu dicek dulu Mbak ada atau tidaknya racun di nasi kotak ini?" Pak Joko kembali bertanya dan berpikir. "Nggak usah, Pak. Mungkin kita bisa tanya ke Bu Mirad apa ben
"Itu bukannya Pak Laksono supirnya Bu Mirad, Pak?" tanya Zilva lirih, tanpa mengalihkan pandangannya dari gerbang. Pak Joko yang masih bergeming di depannya pun mengiyakan. Dia masih kaget melihat supir Bu Mirad berdiri di depan gerbang. Jika laki-laki itu baru datang dengan kotak nasinya, lantas kotak nasi yang dibawa Pak Joko saat ini sebenarnya dari siapa?"Kotak nasi itu, Pak," lirih Zilva sembari menunjuk kantong plastik di tangan Pak Joko. Tak membuang waktu, Pak Joko buru-buru membuang box nasi di tangannya ke tong sampah lalu membuka gerbang. Pak Laksono tersenyum seraya sedikit menganggukkan kepala saat menatap Pak Joko dan Zilva. "Maaf kalau mengganggu, Pak, Mbak. Saya diutus Bu Mirad mengantarkan ini karena ada syukuran kecil-kecilan di rumah," ucap Pak Laksono sembari menyerahkan tiga kotak nasi di tangannya. Pak Joko menerima kotak nasi itu lalu mengucapkan terima kasih. Dia sempat melirik Zilva sebelum menerima pemberian Bu Mirad. "Kalau begitu saya permisi dulu, Pa
"Bisa saya bantu, Mbak?" tanya seorang laki-laki saat Zilva membawa beberapa belanjaan dari mini market, sementara tangan lainnya menggandeng Rafka. "Saya bisa sendiri, Mas." Zilva menolak sopan karena tak ingin merepotkan orang lain. "Nggak apa-apa. Saya bawakan sampai parkiran. Kebetulan mobil kita parkir berdekatan." "Oh. Baiklah kalau begitu, Mas. Makasih ya." Laki-laki itu mengangguk lalu membawa tiga plastik kresek belanjaan Zilva lalu mengantarnya sampai area parkir. Saat itu Zilva memang pergi sendiri tanpa supir maupun suaminya. Alasannya, mini market yang dituju tak terlalu jauh dari rumah. Lagipula dia juga ingin mengasah kemampuan nyetirnya kembali setelah nyaris setahun lebih tak diizinkan mengendarai mobil maupun motor. Selama Zilva hamil, Amran memang cukup protektif karena tak mau terjadi sesuatu pada anak pertama mereka yang sudah ditunggu sekian lama. Oleh karena itulah, tiap mau jalan kemana pun harus pakai supir atau diantar oleh Amran sendiri. Zilva tak diiz
Arumi menuruni tangga perlahan. Dia keluar dari butik setelah fitting baju untuk acara spesialnya bersama Radit. Meski sampai detik ini Radit masih terlihat cuek dan dingin, tapi Arumi yakin seiring berjalannya waktu dia bisa menaklukkan hati calon suaminya.Tak hanya sekali dua kali Arumi shalat istikharah untuk menentukan pilihannya. Dia selalu berdoa agar didekatkan dengan Radit jika memang jodohnya dan berharap dijauhkan saja jika memang bukan jodohnya. Namun, di saat Arumi berusaha menjauh, justru hubungan mereka seolah didekatkan. Oleh karena itulah, Arumi semakin yakin jika perjodohan ini memang yang terbaik untuknya. Dia percaya jika Allah memberikan sesuatu yang dibutuhkan, tak hanya yang diinginkan. Jika memang Radit yang terbaik untuknya, Arumi akan berusaha mendapatkan cinta tulus lelaki itu, sekalipun dia tahu jika Radit masih terbelenggu dengan masa lalunya. [Nanti malam ada acara makan-makan di rumah, Lan. Kamu ajak Dikta sama Ryan ke rumah ya? Ibu pasti senang kalau
Radit terdiam saat Arumi menanyakan haknya. Sebenarnya dia tahu apa yang ada dalam benak Arumi saat ini. Hanya saja, Radit tak terlalu peduli. Benar kata dia, tak ada hal Arumi untuk cemburu karena mereka belum memiliki hubungan yang sah sebagai suami istri. Mungkin bagi pasangan lain, ada hak mereka saling cemburu, marah saat pasangannya bertukar pesan dengan orang tercinta atau mantan, tapi bagi Arumi terasa berbeda. Hubungannya dengan Radit memang masih sehambar itu sekalipun undangan pernikahan telah tercetak dan acara resepsi mereka nyaris lengkap. "Aku tahu posisiku, Mas. Tak ada hakku untuk cemburu, meski mungkin bagi pasangan lain bakal melakukan itu. Aku tahu siapa Lana dan bagaimana posisinya di hatimu. Tak apa, aku mencoba memahami. Kelak jika kita telah bersama, kuharap kamu tahu kodratmu karena aku pun akan menghargai kodratku. Kamu jauh lebih paham soal ini jika ditilik dari segi agama," balas Arumi santai, tapi cukup tajam karena menyangkut perihal agama segala. Arum
Arumi bergeming. Dia masih menunggu Radit meneruskan kalimatnya yang terpotong. Tak ingin menghakimi, Arumi memilih diam sekalipun ada sesak di dalam hatinya saat Radit terang-terangan bilang belum move on dari masa lalunya. "Tapi aku harap kamu mau bersabar, Mi. Aku yakin dengan kesabaran dan ketulusanmu itu aku bisa keluar dari rasa pahit ini," sambung Radit sembari menatap Arumi yang masih memandang lurus ke depan. Tak ada keinginannya untuk menatap balik sebab Arumi tak ingin laki-laki itu melihat kedua matanya yang berkaca. "Keluar atau masih tenggelam pada masa lalu itu diri sendiri yang menentukan, Mas. Bukan orang lain. Sekuat dan sesabar apapun aku menarikmu keluar, jika kamu masih betah di sana maka perjuanganku hanya sia-sia belaka. Jangan biarkan aku berlari sendirian, sementara kamu masih tinggal di tempat atau bahkan justru mundur semakin jauh," balas Arumi sedikit dengan penekanan. Radit memejamkan mata beberapa saat. Mungkin memang benar kata orang jika cinta pertam