Arumi menuruni tangga perlahan. Dia keluar dari butik setelah fitting baju untuk acara spesialnya bersama Radit. Meski sampai detik ini Radit masih terlihat cuek dan dingin, tapi Arumi yakin seiring berjalannya waktu dia bisa menaklukkan hati calon suaminya.Tak hanya sekali dua kali Arumi shalat istikharah untuk menentukan pilihannya. Dia selalu berdoa agar didekatkan dengan Radit jika memang jodohnya dan berharap dijauhkan saja jika memang bukan jodohnya. Namun, di saat Arumi berusaha menjauh, justru hubungan mereka seolah didekatkan. Oleh karena itulah, Arumi semakin yakin jika perjodohan ini memang yang terbaik untuknya. Dia percaya jika Allah memberikan sesuatu yang dibutuhkan, tak hanya yang diinginkan. Jika memang Radit yang terbaik untuknya, Arumi akan berusaha mendapatkan cinta tulus lelaki itu, sekalipun dia tahu jika Radit masih terbelenggu dengan masa lalunya. [Nanti malam ada acara makan-makan di rumah, Lan. Kamu ajak Dikta sama Ryan ke rumah ya? Ibu pasti senang kalau
Radit terdiam saat Arumi menanyakan haknya. Sebenarnya dia tahu apa yang ada dalam benak Arumi saat ini. Hanya saja, Radit tak terlalu peduli. Benar kata dia, tak ada hal Arumi untuk cemburu karena mereka belum memiliki hubungan yang sah sebagai suami istri. Mungkin bagi pasangan lain, ada hak mereka saling cemburu, marah saat pasangannya bertukar pesan dengan orang tercinta atau mantan, tapi bagi Arumi terasa berbeda. Hubungannya dengan Radit memang masih sehambar itu sekalipun undangan pernikahan telah tercetak dan acara resepsi mereka nyaris lengkap. "Aku tahu posisiku, Mas. Tak ada hakku untuk cemburu, meski mungkin bagi pasangan lain bakal melakukan itu. Aku tahu siapa Lana dan bagaimana posisinya di hatimu. Tak apa, aku mencoba memahami. Kelak jika kita telah bersama, kuharap kamu tahu kodratmu karena aku pun akan menghargai kodratku. Kamu jauh lebih paham soal ini jika ditilik dari segi agama," balas Arumi santai, tapi cukup tajam karena menyangkut perihal agama segala. Arum
Arumi bergeming. Dia masih menunggu Radit meneruskan kalimatnya yang terpotong. Tak ingin menghakimi, Arumi memilih diam sekalipun ada sesak di dalam hatinya saat Radit terang-terangan bilang belum move on dari masa lalunya. "Tapi aku harap kamu mau bersabar, Mi. Aku yakin dengan kesabaran dan ketulusanmu itu aku bisa keluar dari rasa pahit ini," sambung Radit sembari menatap Arumi yang masih memandang lurus ke depan. Tak ada keinginannya untuk menatap balik sebab Arumi tak ingin laki-laki itu melihat kedua matanya yang berkaca. "Keluar atau masih tenggelam pada masa lalu itu diri sendiri yang menentukan, Mas. Bukan orang lain. Sekuat dan sesabar apapun aku menarikmu keluar, jika kamu masih betah di sana maka perjuanganku hanya sia-sia belaka. Jangan biarkan aku berlari sendirian, sementara kamu masih tinggal di tempat atau bahkan justru mundur semakin jauh," balas Arumi sedikit dengan penekanan. Radit memejamkan mata beberapa saat. Mungkin memang benar kata orang jika cinta pertam
"Gimana keadaanmu, By?" tanya Amran saat menjenguk Roby di rumahnya. Tangan kanan Amran itu sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Keadaannya mulai membaik meski masih ada memar di beberapa tempat. "Alhamdulillah membaik, Mas. Makasih banyak sudah mengurus administrasinya," balas laki-laki itu. Amran mengangguk lalu menepuk pelan lengan Roby beberapa kali. "Sudah menjadi kewajiban saya. Soal teror itu, kamu nggak perlu risau. InsyaAllah sebentar lagi akan menemukan titik terang." "Benar, Mas?" tanya Roby sedikit terkejut."Iya. Ada seorang teman yang berhasil menyelidikinya, tapi pelaku sepertinya tahu soal itu. Sekarang dia kabur ke Semarang," balas Amran lagi. "Syukurlah kalau begitu, Mas. Saya ikut senang kalau pelaku teror itu berhasil ditangkap. Maaf kalau sementara waktu belum bisa membantu apa-apa. Saya janji setelah pulih akan segera kembali bekerja seperti biasanya." Roby menunduk. Dia merasa bersalah karena tak bisa membantu Amran menyelidiki pelaku teror yang sela
"Mantan rivalku mau married, Sayang," ucap Amran saat makan siang bersama istrinya. Zilva menghentikan aktivitasnya menggoreng ayam beberapa saat lalu membalikkan badan. Perempuan itu mengernyit sembari menatap suaminya lekat. "Lupa?" tanya Amran singkat sembari menaik turunkan kedua alisnya. "Mas Zain?" tebak Zilva saat meniriskan ayamnya lalu kembali memasukkan ayam lain yang sudah dimarinasi. "Masih ingat rupanya," balas Amran lagi. Zilva tersenyum tipis. Dia tahu, di antara banyak lelaki yang mendekatinya, Amran hanya cemburu pada Zain. Amran merasa jika Zain rival yang cukup berat baginya. "Cemburu?" goda Zilva dengan cibiran kecil. "Nggak. Ngapain cemburu? Jelas aku pemenang hatimu kan?" "Di bibir memang bilang begitu, tapi ekspresinya menjelaskan kalau kamu itu cemburu, Mas," balas Zilva cepat. Dia merasa senang saat melihat kecemburuan Amran karena Zilva tahu cemburunya tanda cinta. "Cemburu kan?" Zilva kembali bertanya. "Nggak." "Oh ...." "Memangnya kalian sudah ng
"Deswita, Mas?" Zilva ikut menyebut nama itu. Zilva tak menyangka jika perempuan itu akan kembali mengusiknya setelah kabar pertunangannya waktu itu. Zilva mendadak banyak pikiran. Wajar jika dia mulai berburuk sangka dan menduga-duga karena selama ini Deswita memang tak pernah berhenti meneror keluarganya bahkan terang-terangan meminta Amran untuk menjadikannya istri kedua. "Mungkin calon suaminya nggak ada di sini, Sayang. Makanya dia minta bantuanku," balas Amran berusaha menenangkan Zilva. Dia tahu jika saat ini Zilva mulai tak tenang. "Tetangganya pasti ada, Mas. Saudaranya juga, kenapa harus kamu?" lirih Zilva tak terima alasan Amran. "Dia nggak punya saudara di sini. Mungkin nggak enak sama tetangganya." Zilva mendengkus kesal. Dia masih tak terima dengan alasan tak masuk akal yang diungkapkan Amran. Entah mengapa Zilva berfirasat buruk soal ini. Dia benar-benar nggak mau Amran kenapa-kenapa."Diizinkan pergi atau nggak?" tanya Amran sembari membingkai wajah cantik Zilva.
Mayang masih membisu. Tak selang lama, dia kembali memejamkan kedua matanya. Deswita merasa ada sesuatu hal berat yang sedang disembunyikan dan dipikirkan oleh mamanya. Namun, dia tak ingin memaksa. Wita paham bagaimana karakter sang mama. Semakin dipaksa, Mayang akan semakin bungkam dan merahasiakan semuanya. "Kita ke rumah sakit ya, Ma? Sudah ada Mas Amran yang akan membantu mama ke sana," lirih Wita sembari menoleh ke arah Amran yang duduk di sofa lain. Laki-laki itu hanya menatap sekilas lalu mengalihkan pandangannya pada Mayang yang masih menutup kedua matanya. "Kamu kenapa merepotkan Amran lagi, Wita? Mama sudah bilang berulang kali, jangan bikin ulah lagi. Mama malu sama Tante Ratna." Wita menghela napas panjang. "Mau minta bantuan siapa kalau bukan Mas Amran, Ma? Mama tahu Mas Panji masih di luar kota. Dia nggak mungkin bisa membantu kita," ucap Wita beralasan. "Tetangga kita juga ada. Nggak seharusnya kamu terus mengganggu Amran dan Zilva, apalagi sebentar lagi kamu ak
Mayang kembali bergeming lalu menatap anak semata wayangnya beberapa saat. "Papa. Papamu yang pergi. Papa kecelakaan tadi pagi saat berangkat ke bandara," ucap Mayang dengan isak yang tertahan. Deswita shock. Badannya luruh begitu saja di lantai. Dia benar-benar lemas seolah tulangnya lolos begitu saja dari engselnya. Wita memejamkan kedua matanya beberapa saat lalu menutup wajahnya dengan telapak tangan. Meskipun dia begitu membenci papanya setelah menikah lagi dengan selingkuhannya, tapi Wita tak menyangka jika papanya benar-benar pergi selamanya. Dia belum sempat minta maaf, belum sempat juga mengiyakan permintaan maaf papanya. Kini, semua telah berbeda dan Wita tak bisa mengulang semua yang telah terjadi. "Siapa yang memberi tahu mama soal ini?" lirih Wita di sela isaknya. "Tante-- "Oh. Kalau begitu kita ke pemakaman papa sekarang." Wita buru-buru memotong ucapan mamanya karena tak ingin mendengar nama perempuan itu disebut. Mayang begitu memahami sikap anak2nya. Wajar jika