"Racun, Mbak?" Pak Joko kaget saat mendengar Zilva mengucapkan kata itu. "Iya, Pak. Saya khawatir ada racunnya. Saya nggak bermaksud melarang Pak Joko makan nasi kotak ini. Hanya saja bapak tahu sendiri kalau akhir-akhir ini saya dan Mas Amran sering mendapatkan teror. Waktu itu ada paket berisi ular berbisa dan beberapa hari belakangan ada laki-laki yang mengawasi rumah ini. Mas Amran sudah bilang sama bapak untuk lebih berhati-hati kan?" tanya Zilva saat menerima kembali kresek dari Pak Joko. Laki-laki dewasa itu manggut-manggut setelah mendengarkan penjelasan bosnya. "Benar juga ya, Mbak. Mas Amran sering mengingatkan saya untuk lebih berhati-hati saat menerima paket apapun. Cuma pikir saya tadi nasi ini dari tetangga sini mana mungkin ada racunnya. Maaf kalau kurang teliti ya, Mbak," ucap Pak Joko kemudian. "Apa perlu dicek dulu Mbak ada atau tidaknya racun di nasi kotak ini?" Pak Joko kembali bertanya dan berpikir. "Nggak usah, Pak. Mungkin kita bisa tanya ke Bu Mirad apa ben
"Itu bukannya Pak Laksono supirnya Bu Mirad, Pak?" tanya Zilva lirih, tanpa mengalihkan pandangannya dari gerbang. Pak Joko yang masih bergeming di depannya pun mengiyakan. Dia masih kaget melihat supir Bu Mirad berdiri di depan gerbang. Jika laki-laki itu baru datang dengan kotak nasinya, lantas kotak nasi yang dibawa Pak Joko saat ini sebenarnya dari siapa?"Kotak nasi itu, Pak," lirih Zilva sembari menunjuk kantong plastik di tangan Pak Joko. Tak membuang waktu, Pak Joko buru-buru membuang box nasi di tangannya ke tong sampah lalu membuka gerbang. Pak Laksono tersenyum seraya sedikit menganggukkan kepala saat menatap Pak Joko dan Zilva. "Maaf kalau mengganggu, Pak, Mbak. Saya diutus Bu Mirad mengantarkan ini karena ada syukuran kecil-kecilan di rumah," ucap Pak Laksono sembari menyerahkan tiga kotak nasi di tangannya. Pak Joko menerima kotak nasi itu lalu mengucapkan terima kasih. Dia sempat melirik Zilva sebelum menerima pemberian Bu Mirad. "Kalau begitu saya permisi dulu, Pa
"Bisa saya bantu, Mbak?" tanya seorang laki-laki saat Zilva membawa beberapa belanjaan dari mini market, sementara tangan lainnya menggandeng Rafka. "Saya bisa sendiri, Mas." Zilva menolak sopan karena tak ingin merepotkan orang lain. "Nggak apa-apa. Saya bawakan sampai parkiran. Kebetulan mobil kita parkir berdekatan." "Oh. Baiklah kalau begitu, Mas. Makasih ya." Laki-laki itu mengangguk lalu membawa tiga plastik kresek belanjaan Zilva lalu mengantarnya sampai area parkir. Saat itu Zilva memang pergi sendiri tanpa supir maupun suaminya. Alasannya, mini market yang dituju tak terlalu jauh dari rumah. Lagipula dia juga ingin mengasah kemampuan nyetirnya kembali setelah nyaris setahun lebih tak diizinkan mengendarai mobil maupun motor. Selama Zilva hamil, Amran memang cukup protektif karena tak mau terjadi sesuatu pada anak pertama mereka yang sudah ditunggu sekian lama. Oleh karena itulah, tiap mau jalan kemana pun harus pakai supir atau diantar oleh Amran sendiri. Zilva tak diiz
Arumi menuruni tangga perlahan. Dia keluar dari butik setelah fitting baju untuk acara spesialnya bersama Radit. Meski sampai detik ini Radit masih terlihat cuek dan dingin, tapi Arumi yakin seiring berjalannya waktu dia bisa menaklukkan hati calon suaminya.Tak hanya sekali dua kali Arumi shalat istikharah untuk menentukan pilihannya. Dia selalu berdoa agar didekatkan dengan Radit jika memang jodohnya dan berharap dijauhkan saja jika memang bukan jodohnya. Namun, di saat Arumi berusaha menjauh, justru hubungan mereka seolah didekatkan. Oleh karena itulah, Arumi semakin yakin jika perjodohan ini memang yang terbaik untuknya. Dia percaya jika Allah memberikan sesuatu yang dibutuhkan, tak hanya yang diinginkan. Jika memang Radit yang terbaik untuknya, Arumi akan berusaha mendapatkan cinta tulus lelaki itu, sekalipun dia tahu jika Radit masih terbelenggu dengan masa lalunya. [Nanti malam ada acara makan-makan di rumah, Lan. Kamu ajak Dikta sama Ryan ke rumah ya? Ibu pasti senang kalau
Radit terdiam saat Arumi menanyakan haknya. Sebenarnya dia tahu apa yang ada dalam benak Arumi saat ini. Hanya saja, Radit tak terlalu peduli. Benar kata dia, tak ada hal Arumi untuk cemburu karena mereka belum memiliki hubungan yang sah sebagai suami istri. Mungkin bagi pasangan lain, ada hak mereka saling cemburu, marah saat pasangannya bertukar pesan dengan orang tercinta atau mantan, tapi bagi Arumi terasa berbeda. Hubungannya dengan Radit memang masih sehambar itu sekalipun undangan pernikahan telah tercetak dan acara resepsi mereka nyaris lengkap. "Aku tahu posisiku, Mas. Tak ada hakku untuk cemburu, meski mungkin bagi pasangan lain bakal melakukan itu. Aku tahu siapa Lana dan bagaimana posisinya di hatimu. Tak apa, aku mencoba memahami. Kelak jika kita telah bersama, kuharap kamu tahu kodratmu karena aku pun akan menghargai kodratku. Kamu jauh lebih paham soal ini jika ditilik dari segi agama," balas Arumi santai, tapi cukup tajam karena menyangkut perihal agama segala. Arum
Arumi bergeming. Dia masih menunggu Radit meneruskan kalimatnya yang terpotong. Tak ingin menghakimi, Arumi memilih diam sekalipun ada sesak di dalam hatinya saat Radit terang-terangan bilang belum move on dari masa lalunya. "Tapi aku harap kamu mau bersabar, Mi. Aku yakin dengan kesabaran dan ketulusanmu itu aku bisa keluar dari rasa pahit ini," sambung Radit sembari menatap Arumi yang masih memandang lurus ke depan. Tak ada keinginannya untuk menatap balik sebab Arumi tak ingin laki-laki itu melihat kedua matanya yang berkaca. "Keluar atau masih tenggelam pada masa lalu itu diri sendiri yang menentukan, Mas. Bukan orang lain. Sekuat dan sesabar apapun aku menarikmu keluar, jika kamu masih betah di sana maka perjuanganku hanya sia-sia belaka. Jangan biarkan aku berlari sendirian, sementara kamu masih tinggal di tempat atau bahkan justru mundur semakin jauh," balas Arumi sedikit dengan penekanan. Radit memejamkan mata beberapa saat. Mungkin memang benar kata orang jika cinta pertam
"Gimana keadaanmu, By?" tanya Amran saat menjenguk Roby di rumahnya. Tangan kanan Amran itu sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Keadaannya mulai membaik meski masih ada memar di beberapa tempat. "Alhamdulillah membaik, Mas. Makasih banyak sudah mengurus administrasinya," balas laki-laki itu. Amran mengangguk lalu menepuk pelan lengan Roby beberapa kali. "Sudah menjadi kewajiban saya. Soal teror itu, kamu nggak perlu risau. InsyaAllah sebentar lagi akan menemukan titik terang." "Benar, Mas?" tanya Roby sedikit terkejut."Iya. Ada seorang teman yang berhasil menyelidikinya, tapi pelaku sepertinya tahu soal itu. Sekarang dia kabur ke Semarang," balas Amran lagi. "Syukurlah kalau begitu, Mas. Saya ikut senang kalau pelaku teror itu berhasil ditangkap. Maaf kalau sementara waktu belum bisa membantu apa-apa. Saya janji setelah pulih akan segera kembali bekerja seperti biasanya." Roby menunduk. Dia merasa bersalah karena tak bisa membantu Amran menyelidiki pelaku teror yang sela
"Mantan rivalku mau married, Sayang," ucap Amran saat makan siang bersama istrinya. Zilva menghentikan aktivitasnya menggoreng ayam beberapa saat lalu membalikkan badan. Perempuan itu mengernyit sembari menatap suaminya lekat. "Lupa?" tanya Amran singkat sembari menaik turunkan kedua alisnya. "Mas Zain?" tebak Zilva saat meniriskan ayamnya lalu kembali memasukkan ayam lain yang sudah dimarinasi. "Masih ingat rupanya," balas Amran lagi. Zilva tersenyum tipis. Dia tahu, di antara banyak lelaki yang mendekatinya, Amran hanya cemburu pada Zain. Amran merasa jika Zain rival yang cukup berat baginya. "Cemburu?" goda Zilva dengan cibiran kecil. "Nggak. Ngapain cemburu? Jelas aku pemenang hatimu kan?" "Di bibir memang bilang begitu, tapi ekspresinya menjelaskan kalau kamu itu cemburu, Mas," balas Zilva cepat. Dia merasa senang saat melihat kecemburuan Amran karena Zilva tahu cemburunya tanda cinta. "Cemburu kan?" Zilva kembali bertanya. "Nggak." "Oh ...." "Memangnya kalian sudah ng
"Assalamualaikum, Jeng Ratna. Gimana kabarnya?" Ratna, mamanya Amran menerima panggilan telepon. "Wa'alaikumsalam, Jeng Mayang. Alhamdulillah kabar saya dan keluarga baik. Kabar Jeng May sama Wita bagaimana?" balas Ratna dengan senyum tipis. Ternyata yang menelepon saat ini adalah Mayang, mamanya Deswita. Wanita paruh baya itupun gegas mencuci tangan di wastafel. Suara Mayang terdengar cukup keras saat loud speaker di handphone Ratna diaktifkan. "Alhamdulillah kami juga baik, Jeng. Kebetulan Wita sama suaminya baru pulang dari Singapure. Mereka bawa oleh-oleh lumayan banyak, sudah dibagi-bagi ke tetangga. Tadi pagi kami ke rumah Jeng Ratna, sayangnya nggak ada di rumah. Memangnya Jeng Ratna sekeluarga ke mana?" tanya Mayang perlahan. "Oh iya, Jeng. Sejak kemarin kami memang pergi hajatan ke rumah saudara. InsyaAllah sore nanti pulang, sengaja menginap semalam di sini. Wita baru pulang honeymoon ya, Jeng?" balas Ratna lagi. "Benar, Jeng. Mereka baru pulang honeymoon di Singapure.
"Tamu yang kamu tunggu datang tuh, Mas," ucap Arumi saat melihat Lana dan Dikta datang dari pintu utama. Berliana adalah perempuan yang disukai Radit sejak dulu, namun cintanya bertepuk sebelah tangan. Dia justru menikah dengan Dikta, cinta pertamanya saat di sekolah putih abu-abu dulu. "Apa kamu bilang?" tanya Radit yang tak terlalu mendengar ucapan istrinya. Radit sempat melamun beberapa saat, jadi tak fokus dengan pembicaraan Arumi. "Tamu yang kamu tunggu sudah datang. Lihatlah, biar hatimu senang," ucap Arumi lagi dengan menahan sesak di dada. Radit cukup kaget saat melihat Lana datang bersama suaminya, lebih kaget lagi saat mendengar ucapan sang istri perihal masa lalunya. Dia memang sempat cerita soal Lana sekilas, tapi tak menyangka jika Arumi mengenali wajah perempuan itu. Tanpa Radit tahu jika Arumi sempat melihat Lana di album foto mertuanya bahkan ada foto perempuan itu di dompet suaminya. "Kamu tahu darimana kalau dia Lana?" tanya Radit gugup. Dia menatap Arumi beber
Suasana begitu meriah saat keluarga Amran sampai ke gedung tempat pernikahan Arumi dan Radit digelar. Sepasang pengantin sudah duduk di pelaminan. Arumi tampak cantik dan anggun dengan kebaya berwarna biru mudanya. Radit pun terlihat lebih tampan dan menawan dengan warna jas yang sama."Zilva!" Arumi melambaikan tangan pada Zilva yang baru memasuki gedung. Zilva tersenyum sembari memberikan kode agar sahabatnya itu bisa menjaga sikap karena banyak tamu yang datang. "Mas, aku ke sana sebentar ya?" ucap Zilva saat ingin menghampiri Arumi di pelaminan. "Iya, Sayang. Aku tunggu di sini sama mama. Mbak Selly juga mau ikut itu," balas Amran sembari menunjuk kakaknya yang melangkah paling belakang. "Iya, Mas. Mbak Selly juga mau ngucapin selamat." Zilva tersenyum tipis. "Kenapa nggak sekalian nanti aja pas mau pulang?""Kelamaan, Mas. Arumi sudah lihat tadi, lagipula cuma salaman aja, nanti ke sini lagi," bisik Zilva dibalas dengan anggukan suaminya. Zilva pun menggandeng Rafka lalu men
Robby, tangan kanan Amran itu tiba-tiba datang tanpa mengirimkan pesan terlebih dahulu. Sepertinya ada kabar penting yang dia bawa, makanya buru-buru datang meski dia juga tahu kalau Amran dan keluarganya ada acara saat ini. "Maaf mengganggu, Mas. Ada berita penting yang harus saya sampaikan secepatnya," ucap Robby sembari mengikuti langkah bosnya ke teras rumah. Amran duduk di salah satu kursi teras lalu disusul oleh Robby yang menduduki kursi lain. "Soal apa? Kecelakaan Prilly?" tebak Amran seketika. Namun, Robby menggeleng pelan membuat Amran mengernyit. "Kalau bukan itu, lantas soal apa?" tanyanya penasaran karena tebakan yang diyakininya benar justru salah besar. "Soal lelaki berjaket kulit yang selama ini meneror keluarga bos." Robby mengangguk pelan berusaha meyakinkan saat Amran menatapnya lekat. "Kenapa dia? Sudah tertangkap?" Kali ini Robby menggeleng. "Lantas? Lincah sekali dia, bisa-bisanya kamu dan anak buahmu tak mampu menangkapnya setelah sekian lama berusaha mel
Zilva merahasiakan permasalahan Arumi dengan calon suaminya dari Amran. Dia ingin menjaga perasaan sahabatnya, meskipun Amran sedikit tahu tentang kisah percintaan Arumi saat ini. Kisah cinta yang datang dari sebuah perjodohan, sementara Radit belum selesai dengan masa lalunya. "Cantik," puji Amran saat melihat istrinya keluar dari kamar dengan gamis abu-abunya. Rafka dan Amran pun memakai kemeja dengan warna yang sama. "Bukannya dari dulu memang cantik, Mas? Lupa?" Zilva sedikit mencibir saat digoda suaminya. "Nggak lupa dong. Lagipula kalau nggak cantik, mana mungkin jadi istri seorang Amran." "Oo ... jadi, kriteria menjadi istri Amran itu hanya cantik saja?" Zilva melirik malas. "Cantik wajahnya memang banyak, tapi yang cantik wajah dan hatinya itu nggak akan banyak." Amran menarik pelan dagu istrinya lalu mencium kening dan bibirnya."Kalian sudah siap?" Tiba-tiba mama Amran muncul dari ruang tamu. Sepertinya dia baru saja datang bersama Selly dan Ruri. "Astaghfirullah!" pek
"Om Galih ya, Mas?" tanya Zilva setelah Amran mengakhiri panggilan. Laki-laki itu pun mengangguk lalu meletakkan kembali benda pipih kecil berwarna hitam itu ke meja. "Om Galih bilang kalau Lala akan segera bebas sekitar enam bulan lagi." Zilva manggut-manggut. "Lala masih berharap kalau kamu bakal jenguk dia?" tebak Zilva yang tahu apa inti pembicaraan itu. Zilva paham bagaimana keinginan Lala, tapi dia juga mengerti bagaimana keputusan suaminya yang tak ingin berhubungan dengan mantan istrinya itu lagi. "Biar sajalah, Sayang. Makin ribet kalau nanti berurusan dengan dia lagi. Kita nggak tahu apakah tiga tahun penahanannya itu membuatnya benar-benar jera atau justru menimbulkan dendam semakin dalam." "Jenguk saja sekali, Mas. Nggak ada salahnya kan?" bujuk Zilva lagi. Namun, Amran justru hanya membalas dengan hembusan napas kasar lalu menyandarkan punggungnya ke sofa. "Kamu lupa bagaimana sepak terjangnya selama ini? Dia nyaris memisahkan kita dan membuat kita selalu ribut, Saya
"Assalamualaikum. Bagaimana kabarmu, Ran?" Suara dari seberang mengingatkan Amran dengan seseorang yang begitu dia kenal. Amran mengernyit. Dia tak tahu mengapa tiba-tiba laki-laki itu meneleponnya dengan nomor baru. "Wa'alaikumsalam, Pa. Alhamdulillah kabar baik. Papa sama mama gimana?" tanya Amran pada Galih, orang tua Lala yang tak lain mantan istri keduanya. "Alhamdulillah kami baik, Ran." Amran mengucap Hamdallah saat mendengar berita baik itu. "Sudah lama tak kasih kabar, papa hanya mau bilang kalau nomor yang lama hilang. Ini nomor baru papa." "Iya, Pa. Nanti Amran simpan nomornya. Maaf belum bisa jenguk papa dan mama. Akhir-akhir ini cukup banyak masalah dan Amran harus menyelesaikannya satu persatu." Amran menghela napas panjang. Sejak perceraiannya dengan Lala beberapa bulan silam, Amran memang hanya dua atau tiga kali menjenguk mertuanya. Itupun karena mama mertuanya sakit. Setelahnya, dia tak pernah ke sana lagi karena memang banyak masalah yang menimpa keluarganya.
"Fika, sini sama Tante." Zilva menyambut Fika dengan hangat. Gadis cantik itu dititipkan pada Zilva dan Amran selama Prilly masih di klinik. Romi yang bekerja sebagai karyawan swasta tak mungkin bisa menjaga Fika 24 jam. Dia harus bekerja dan menjenguk istrinya. Oleh karena itulah, pilihan terakhir dan terbaik memang menitipkan Fika pada Zilva karena dia yang selalu di rumah. "Tante, maaf kalau Fika ganggu Tante Zilva ya," ucap Fika dengan polosnya. "Nggak ganggu, Sayang. Tante justru senang Fika di sini. Adik Rafka ada yang nemenin main. Iya kan?" Zilva jongkok, mensejajari Fika yang berdiri di depannya. Dia pun tersenyum lalu mengusap puncak kepala Fika yang menatapnya dengan berbinar. "Iya, Tante. Fika mau ajak adik Rafka main," balas Fika sembari berlari kecil ke arah Rafka yang bermain bola di ruang tengah. Zilva dan Amran saling tatap lalu sama-sama tersenyum. Amran merangkul istrinya saat melangkah beriringan mendekati Rafka dan Fika. Mereka membicarakan tentang keadaan Pr
"Gimana keadaan Prilly, Ma?" tanya Amran saat mamanya menjemput di depan pintu utama klinik Amal Sehat. "Alhamdulillah Prilly membaik, Ran. Dia cuma agak trauma saja." Amran menatap mamanya lekat."Trauma gimana, Ma?" lirih Amran sembari melangkah ke kamar inap Prilly. "Dia bilang beberapa kali tak sengaja lihat ada yang mengikutinya. Sebelum ke pasar tadi dia juga sudah lihat laki-laki yang menabraknya itu, tapi Prilly mencoba berbaik sangka. Ternyata, firasatnya memang benar kalau laki-laki itu ingin mencelakainya." Ratna menjelaskan semuanya pada Amran. "Jadi, Prilly memang sengaja ditabrak?" tanya Amran lagi saat berhenti di depan kamar inap Prilly. Ratna pun mengangguk. "Dia kabur setelah melihat Prilly tergeletak di trotoar." "Kurang ajar," gumam Amran begitu geram. Jemari-jemarinya mengepal. Dia tak akan tinggal diam melihat adiknya diperlakukan semena-mena seperti itu. "Sudahlah, Ran. Yang penting sekarang kesembuhan Prilly dulu. Soal pelakunya kita urus belakangan." "N