Share

Bab 3 - Pembicaraan Dengan Ipar

“Aku lagi gak pengen, mas. Perutku sedikit kenceng.”

tentu saja, permintaan Alfi Rania tolak mentah-mentah. Melihat wajah suaminya saja sudah membuat pikirannya tertekan, apalagi jika ia harus melayani Alfi berhubungan badan?

Bisa-bisa, pikirannya akan terus membayangi kala Alfi dan Roland bermesraan.

Meski terlihat kecewa karena permintaannya ditolak Rania, Alfi tak lagi memaksa, “Hmmm gitu ya. Ya udah gak papa, aku gak mungkin membahayakan adek Satria apalagi ganggu kamu yang lagi kurang nyaman.”

“Makasih ya, mas, kamu udah ngerti. Aku mandi dulu.”

“Oke, sayang.”

Setelahnya, mereka kompak pulang menuju Jakarta, usai Satria berhasil dibujuk.

Begitu mobil sampai depan rumah yang pagarnya sudah terbuka. Kebetulan, ada kakak lelaki Alfi dan keluarganya yang sengaja menginap di sini untuk menjaga rumah mereka.

Alfi langsung membuka pintu belakang mobil dan menggendong Satria yang sudah tidur sejak dari Villa. Ia menepuk lengan lelaki yang tubuhnya lebih kekar darinya, “Makasih ya, kak.”

“Kalian kok udah pulang lagi? Baru dua hari satu malam loh?” tanya Arbi, kakak Alfi.

“Rania tiba-tiba minta pulang. Mungkin janinnya kurang betah di sana. Aku masuk dulu, kak.”

Arbi mengangguk. Ia menatap Rania yang baru keluar dari mobil, “Ran, semuanya oke ‘kan?”

Rania mengangguk tersenyum, “Mbak Sani sama Agil udah tidur, kak?”

“Udah. Kebetulan kita baru pulang dari Kebun Binatang tadi sore. Mungkin mereka kecapean.”

“Oh iya. Ya udah aku masuk duluan ya, kak.”

“Iya, masuk, Ran, angin malemnya lagi gak enak.”

“Iya, kak.”

Arbi tak henti menatap kepergian Rania meskipun tubuhnya sudah menghilang di balik pintu. Ia membuang nafas pelan saat mendapati wajah adik iparnya begitu pucat. Dengan segera Arbi menutup pintu gerbang dan lekas masuk.

Saat hendak menaiki tangga, Arbi yang tadinya akan langsung tidur melihat Rania duduk sendirian. Ia mengurungkan niatnya untuk langsung ke lantai dua dan mendekati Rania.

“Mau kakak bikinin minuman Jahe Madu?” Arbi tahu dengan baik minuman andalan Rania ketika mabok hamil.

Rania menggeleng, “Enggak, kak, makasih.”

Arbi duduk disebelah Rania. Ia melirik adik iparnya, “Kamu sama Alfi... berantem?”

Rania melirik Arbi, “Enggak.”

“Terus kenapa pulang dari puncaknya lebih cepet? Kakak yakin kalian betah di sana. Kamu suka banget ‘kan sama viewnya?”

“Iya, aku suka di sana, cuma... ada hal yang harus aku pastiin di Jakarta, kak, jadi aku cepet-cepet pulang. Lagian mas Alfi juga pasti dibutuhin di resto. Ini ‘kan awal tahun, pengunjung hotel pasti naik pesat.”

“Hm gitu.”

“Kakak kenapa belum tidur? Udah malem loh. Besok kakak mulai masuk kantor ‘kan?”

“Iya, besok kakak udah masuk kantor.”

“Ya udah gih, tidur. Nanti mbak Sani nyariin lagi.”

Arbi tertawa, “Enggak lah. Kakak nemenin kamu dulu aja di sini. Alfi pasti langsung tidur nemenin Satria.”

Rania hanya mengangguk. Ia sudah tak memiliki lagi sisa energi untuk menajalani hari ini. Semuanya langsung habis sejak membaca ulang chat dari Roland sore tadi.

“Ran, kamu lagi ada masalah ya?” Rania tak menjawab. Arbi menyentung lengan Rania, “Ran?”

Rania terperanjat kaget. Ia merasakan tubuhnya bagai tersetrum saat Arbi menyentuhnya, “Ke-kenapa, kak?”

“Kamu kenapa bengong? Kamu lagi ada masalah ya?”

Rania membuang nafasnya pelan. Ia diam sejenak memikirkan kemungkinan Arbi tahu mengenai masalah Alfi yang katanya adalah seorang Homoseksual. Mereka menjalin hubungan saudara yang dekat. Umur mereka pun hanya terpaut usia dua tahun.

Dengan pelan Rania mengubah posisi duduknya menatap Arbi, “Kak, aku boleh tanya sesuatu gak soal mas Alfi?”

Arbi mengangguk, “Boleh, kenapa, Ran?”

“Kak Arbi deket banget ‘kan sama mas Alfi?”

Arbi mengangguk lagi, “Iya, deket banget. Kenapa, Ran? Kakak jadi deg-degan. Kamu mau tanya apa?”

“Apa kakak pernah denger, atau pernah curiga kalo mas Alfi adalah seorang... penyuka sesama jenis?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status