Rania dan Alfi belum bicara lagi setelah pertanyaan tadi sore diberikan. Rania tentu tak menjawab apapun, ia hanya kebingungan karena ditanya seperti itu. Kini, saat Satria sudah tidur, ia hanya duduk diranjang dengan pikiran yang penuh.
Apalagi yang harus ia lakukan untuk mencari bukti tentang penyimpangan suaminya? Kalau foto bisa di edit, berarti bukti penginapan itu juga? Tapi ucapan Alfi saat mengangkat telpon dari Roland tidak bisa dibantah. Suaminya itu ketakutan dan mengatakan jangan sampai ia tahu? “Sayang.” Alfi mendekati ranjang. Sikap Alfi tak berubah seolah tidak ada pertengkaran diantara mereka. Memang tidak ada, tapi ia tahu suaminya marah pada kakaknya karena dirinya. “Aku mau,” Alfi menatap genit, “Tadi kata dokter kita boleh, ‘kan?” Rania menarik nafas sebelum harus pura-pura tersenyum, “Dokter bilang adek bayinya gak boleh kena guncangan.” Alfi menatap kecewa, “Padahal aku pengen banget.” Rania mengusap lengan suaminya, “Sabar ya, mas.” “Sampe kapan?” “Gimana kalo kamu pake alat bantu aja?” “Ngapain?” Rania tersenyum miring, ‘iya ngapain, kamu ‘kan punya Roland.’ gerutunya dalam hati, “Buat sementara aja.” Alfi tidur terlentang dikasur tanpa bicara. Rania melirik wajah suaminya yang meneduhkan, “Mas?” Alfi menoleh, “Kamu mau dibuatin minuman Madu Jahe?” Rania menggeleng, “Hmmm, waktu kamu berantem sama Roland beberapa tahun lalu, itu kenapa?” ia mendadak ingat mengenai kejadian itu, dan bagus jika ia bisa menemukan bukti lebih kuat dari jawaban Alfi. Alfi terduduk tegap, “Dulu salah paham aja kok.” “Hm gitu. Roland tuh bentar lagi ulang tahun ‘kan, mas? Kamu mau kasih kado apa?” “Apa ya bagusnya? Dia udah punya semua.” Rania melendot manja pada lengan Alfi, “Tahun ini ‘kan Roland udah mau tiga puluh tiga, ya aku bukannya mau nyinyir, tapi menurutku usianya udah mateng buat... punya hubungan, mas. Jadi, gimana kalo kita comblangin dia?” Alfi melirik Rania, “Sama siapa?” “Aku baru inget punya temen SMA yang belum nikah. Tadi siang dia tiba-tiba ngechat terus nanyain aku punya sodara atau temen yang belum nikah gak. Aku bilang ada, terus dia antusias banget. Aku udah kasih foto Roland, dan kayaknya dia suka deh.” Alfi tak langsung menjawab, ia menyentuh lehernya lalu menatap istrinya penuh pengertian, “Kalo Rolandnya gak mau gimana? Dia... agak susah loh soal ginian.” “Ya kamu tanyain, coba kamu telpon sekarang. Kalo Roland gak mau ya... kita bisa cari perempuan lain. Ternyata temen-temen SMA aku ada yang beberapa belum nikah. Gak ada salahnya ‘kan kita bantu comblangin?” Alfi mengangguk ragu. “Ayo telpon Rolandnya, mas.” Alfi dengan terpaksa mengambil ponsel di atas nakas dan menelpon Roland. Tidak lama telpon tesambung setelah ia menyalakan loud speaker, “Halo?” “Hai, kenapa, Fi?” “Ngomong, mas,” bisik Rania karena Alfi tak kunjung bicara. “Ini... gue cuma mau tanya, lo... punya pacar gak?” Suara tawa Roland menggema, “Gak ada lah. Punya pacar dari mana, ada-ada aja.” “Ya kali aja ada. Jadi ini Rania... mau nyomblangin lo sama temennya. Barang kali lo minat?” Sepi. Rania yang duduk berhadapan dengan Alfi bisa melihat raut tidak nyaman suaminya saat menunggu jawaban Roland. Ketika bertemu, Rania mengatakan pada Roland bahwa ia akan pura-pura tidak tahu masalah mereka pada Alfi. Semua akan terjadi seperti biasa. Roland saat itu tidak menjawab. “Nggak dulu deh, Fi, gue masih mau fokus sama kerjaan. Bilangin maaf ya sama Rania.” “Oke.” “Gue dipanggil nih. Gue tutup ya.” “Iya, Land.” Alfi menutup ponselnya, lalu beranjak dari kasur membuat Rania gatal sekali untuk bertanya. “Mas, kamu kok kayak gak suka aku mau jodohin Roland sama temen aku. Kenapa?” “Ah, masa? Perasaan kamu doang itu. Aku cuma tahu Roland gak nyaman sama hal-hal begini. Aku ke kamar mandi dulu.” “Aku pinjem hape kamu dong. Aku mau nyari kontak instruktur Yoga kehamilan. Kalo gak salah kamu masih simpen kontaknya ‘kan?” Alfi menyerahkan ponselnya tanpa curiga. Pintu kamar mandi tertutup. Rania sebenarnya ingin melihat aktivitas Alfi dengan Roland di ponsel. Ia mencari dengan cepat riwayat chat, galeri, dan aplikasi yang tersembunyi. Tidak ada yang mencurigakan. Semua terjadi sewajarnya. “Roland bener, mas Alfi udah jadi pemain ahli. Omongan Fira juga bener. Suami yang Homo akan bersikap seolah dia suami dan ayah yang bertanggung jawab. Terus gimana caranya supaya mas Alfi ngaku kalo dia... beda?” Rania menyimpan ponsel Alfi. Tak ada yang bisa ia cari disana, membuatnya harus berpikir sangat ekstra karena untuk membuktikan suaminya menyimpang ternyata tidak semudah yang ia pikirkan. Ia butuh bukti lain yang ia temukan sendiri sehingga Alfi kehabisan kata-kata dan akhirnya mengaku. “Kalo mas Alfi akhirnya ngaku... apa aku... bakal bisa terima dia kayak biasa?” ia menutup wajahnya frustasi. Mana mungkin semuanya sama, apalagi setelah suaminya mengaku kalau selama ini ia tidak sama dengan suami lainnya. “Kalo mas Alfi gak mau ngaku... apa aku... masih bisa minta cerai dari dia? Alesannya apa?”Setelah mengantarkan Satria sekolah, Rania memiliki waktu untuk kembali bertemu Fira. Sahabatnya itu ada praktik siang di rumah sakit, sehingga mereka bisa bertemu dan ia bisa menjemputnya ke TK tempat Satria belajar. Mobil Fira baru masuk pelataran gedung. “Masuk, Ran.” Rania segera memasuki mobil. Ia tidak mengatakan akan pergi keluar pada Alfi, karena suaminya itu pasti curiga. Suaminya tahu bahwa ia hanyalah ibu rumah tangga yang jarang keluar rumah kecuali untuk urusan belanja dan Satria. Tapi setelah pulang dari Villa, ia berubah jadi sering keluar. “Kenapa lagi? Pagi-pagi kok udah cemberut?” Rania menoleh, “Fir, laki-laki Homoseksual bisa kembali normal ‘kan?” “Bisa, tapi susah. Dia harus punya tekad yang kuat, Ran.” “Ada yang mempengaruhi gak cepat atau lambatnya proses penyembuhannya?” Fira hanya menatap sahabatnya itu sebelum mobilnya belok menuju sebuah kafetaria yang akan mereka tuju, “Ran, lo
“...Jadi apa yang terjadi?” “Mas Alfi... tetangga yang aku ceritain itu gak ada, Fir. Itu sebenernya...” Rania mendongak menatap Fira yang berdiri disamping kursi. Bicaranya terbata karena sebetulnya ia tidak siap memberi tahu siapapun mengenai kondisi suaminya. Fira duduk dengan mata yang terus terpaku pada Rania, “Jangan bilang Alfi... Homoseksual?” Rania tak berani menatap mata Fira lagi. Ia mengangguk lalu menunduk melanjutkan tangisnya. Fira tetap menatap sahabatnya yang hidupnya sudah pasti bukan hanya hancur, tapi juga lebur. Ia tak pernah menyangka akan mendapatkan kabar ini justru disaat ia mengatakan bahwa pernikahan mereka adalah panutan baginya. Tak ada yang bisa Fira katakan lagi. Terlalu banyak pertanyaan yang harus ia ketahui jawabannya, tapi ia yakin Rania pun tidak tahu semua jawaban itu. “Aku... hidup aku... rasanya berhenti waktu tahu semuanya.” isak tangis Rania membuat hati Fira juga nyeri, “Fir,
Rania tak pernah merasakan hidupnya sehancur ini sebelumnya, meski masalah banyak datang di fase kehidupan sebelumnya. Masalahnya selalu bisa diselesaikan setelah ia menangis. Tak seperti sekarang, ia sudah menangis beberapa hari ini tapi tak kunjung mendapatkan solusi harus bagaimana menghadapi semuanya. Setelah bertemu Fira, ia menjemput Satria dari TK dan langsung pulang. Rania tak memiliki hasrat untuk pergi belanja meski kulkasnya sudah tak menyimpan bahan makanan. “...mama gak denger aku ya?” suara cempreng Satria baru terdengar. “Kenapa, sayang? Kamu ngomong apa?” Rania menoleh pada Satria yang sedang memangku robot Transformer kesayangannya. “Aku laper, ma!” Rania melirik jam dinding bergambar Robot di dinding. Sudah jam delapan malam, “Ya ampun, maafin mama ya, sayang. Mama pesenin makan malam di aplikasi aja ya.” “Aku mau Ayam Goreng Tepung.” “Iya, sayang. Mama pesen sekarang ya.” Rania mengambil
Rania melenggang santai menaiki tangga, “Nanti tolong temenin Satria gosok gigi dan bacain dia dongeng, ya, mas.” Alfi tak mendebat ucapan istrinya. Ia mulai membereskan rumah yang dua tahun terakhir selalu rapi dan bersih karena Satria sudah mulai bisa membereskan barang miliknya sendiri. Ia hanya heran dengan perubahan sikap Rania yang tak biasa. Di dalam kamar, Rania sibuk mengatur rencana yang akan ia lakukan mulai dari sekarang. Ia sengaja menguping pembicaraan Alfi dan Arbi tadi. Ia tidak paham awalnya, tapi lama-lama ia mengerti kalau Arbi, kakak iparnya yang selalu perhatian padanya menyukai dirinya dulu. Entah kini, ia juga tidak peduli. “Aku harus bikin mas Alfi cemburu sama kak Arbi. Waktu itu aja dia marah banget karena aku bilang tertarik sama kakaknya. Tapi gimana ya cara bikin kak Arbi terus kesini?” Rania tersenyum senang. Terlintas ide dimana ia tahu bagaimana cara iparnya itu terus datang kesini. “Sayang, aku u
Satria sudah berangkat sekolah bersama papanya. Rumah juga sudah wangi dan rapi. Bahan-bahan masakkan pun sudah lengkap. Alfi yang membereskan semua. Suaminya itu memang cekatan urusan rumah, Rania beruntung. Tapi untuk masalah batin, ia jauh dari kata itu. Pernikahan untuknya adalah hal sakral yang harus terjadi sekali seumur hidup. Tapi jika suaminya menyimpang seperti Alfi, Rania tak masalah sama sekali jika harus bercerai. Tak ada pilihan lain selain berdiri sendiri, karena ia butuh kedamaian. Belum lagi Satria semakin hari semakin besar. Lama-lama sikap Alfi dan Roland pasti akan terlihat. Drttttt~ Rania meraih ponselnya yang tergeletak di atas ranjang. From : Roland Alfi udah cerita ke aku soal kamu yang gak mau terima mainan dari aku buat Satria. Dia juga cerita kamu gak mau aku ketemu sama Satria. Aku gak tahu apa yang ada dipikiran kamu. Tapi sikap begini justru akan bikin Alfi curiga Rania menaruh ke
“Land, bentar, ada panggilan lain masuk.” Rania mematikan sambungan telpon pada Roland dan mengangkat panggilan dari salah satu guru Satria, “Halo, miss?” “Halo, mama Satria, saya mau kasih kabar kalau Satria jatuh dari tangga. Mam bisa ke sekolah sekarang?” Rania menganga kaget, “Ta-tapi Satria gak papa ‘kan, miss?” “Satrianya gak papa, mam, ada luka robekan di dahi dan memar di betisnya.” “Saya kesana sekarang.” Rania kalut sekali, ia tidak bisa berpikir jernih mendengar keadaan Satria, padahal jelas, gurunya barusan mengatakan kalau Satria baik-baik saja. “Aku harus telpon mas Alfi. Enggak-enggak, mas Alfi pasti lagi kerja, hapenya pasti di loker. Terus siapa ya? Kak Arbi? Iya kak Arbi.” Telpon tak langsung diangkat. Selagi menunggu, Rania membawa tas dan memasukkan dompet serta minyak angin ke dalam tasnya. “Halo Kak, Kak bisa dateng ke sekolah Satria gak?” “Aku lagi mau meeting, R
Rania menutup kamar Satria setelah memastikannya sudah terlelap tidur. Ia yang mengira Alfi sudah kembali ke Hotel, sedikit kaget kala mendapati suaminya sedang memperhatikan Agil yang sedang berkeliling rumah memainkan mainan pedangnya. “Mas, kamu gak balik kerja?” “Aku udah izin. Gak papa, ada co asisten kok di dapur.” Rania berjalan memasuki kamarnya yang bersebrangan dengan kamar Satria. Alfi bangkit dari sofa dan menahan Agil yang akan menuruni tangga. “Agil, jangan kemana-mana ya. Mainnya dirumah aja. Semua pintu dikunci, jadi jangan berusaha dibuka, karena nanti berisik dan ganggu Satria yang lagi tidur.” “Oke, om.” “Mainnya pake mainan Agil sendiri ya. Gak boleh mecahin barang dan—Agil!” Tanpa menunggu Alfi selesai bicara, Agil sudah berlari menuruni tangga sambil berteriak kecil. Ia sudah diingatkan dari tadi bahwa tidak boleh berisik karena Satria sedang sakit. Alfi melenggang ke kamar,
Rania gelagapan, “Eum... itu, mas, temenku. Dia katanya udah lama suka sama kamu.” Alfi mendekati meja makan. Dahinya mengernyit, “Temen kamu? Siapa?” “Ira, mas. Kamu kenal dia ‘kan? Itu loh temenku yang janda itu.” tutur Rania asal sebut. “Oh,” Alfi menuangkan nasi dan lauknya ke dalam piring, “Makan yang banyak. Akhir-akhir ini aku liat kamu makannya cuma sedikit.” “Iya, mas.” “Mau aku suapin?” “Enggak. Kamu temenin Satria aja. Aku takut Agil... nanti pukul Satria kayak waktu itu.” “Kamu sih pake minta dia dititip disini segala. Ke depannya gak usah ajak Agil kesini lagi.” Rania mengangguk. “Ya udah aku tinggal.” Alfi mengelus rambut Rania lembut. Selama makan, Rania terus mendengar teriakkan bahagia Satria dikamarnya bersama Alfi. Sesekali ia juga mendengar tawa Agil. “Apa aku... maafin mas Alfi aja?” “Mamaaaa.” Satria berlari menuruni tangga. Ia me