Share

Bab 10 - Mencomblangkan Roland

Rania dan Alfi belum bicara lagi setelah pertanyaan tadi sore diberikan. Rania tentu tak menjawab apapun, ia hanya kebingungan karena ditanya seperti itu. Kini, saat Satria sudah tidur, ia hanya duduk diranjang dengan pikiran yang penuh.

Apalagi yang harus ia lakukan untuk mencari bukti tentang penyimpangan suaminya? Kalau foto bisa di edit, berarti bukti penginapan itu juga? Tapi ucapan Alfi saat mengangkat telpon dari Roland tidak bisa dibantah. Suaminya itu ketakutan dan mengatakan jangan sampai ia tahu?

“Sayang.” Alfi mendekati ranjang.

Sikap Alfi tak berubah seolah tidak ada pertengkaran diantara mereka. Memang tidak ada, tapi ia tahu suaminya marah pada kakaknya karena dirinya.

“Aku mau,” Alfi menatap genit, “Tadi kata dokter kita boleh, ‘kan?”

Rania menarik nafas sebelum harus pura-pura tersenyum, “Dokter bilang adek bayinya gak boleh kena guncangan.”

Alfi menatap kecewa, “Padahal aku pengen banget.”

Rania mengusap lengan suaminya, “Sabar ya, mas.”

“Sampe kapan?”

“Gimana kalo kamu pake alat bantu aja?”

“Ngapain?”

Rania tersenyum miring, ‘iya ngapain, kamu ‘kan punya Roland.’ gerutunya dalam hati, “Buat sementara aja.”

Alfi tidur terlentang dikasur tanpa bicara.

Rania melirik wajah suaminya yang meneduhkan, “Mas?”

Alfi menoleh, “Kamu mau dibuatin minuman Madu Jahe?”

Rania menggeleng, “Hmmm, waktu kamu berantem sama Roland beberapa tahun lalu, itu kenapa?” ia mendadak ingat mengenai kejadian itu, dan bagus jika ia bisa menemukan bukti lebih kuat dari jawaban Alfi.

Alfi terduduk tegap, “Dulu salah paham aja kok.”

“Hm gitu. Roland tuh bentar lagi ulang tahun ‘kan, mas? Kamu mau kasih kado apa?”

“Apa ya bagusnya? Dia udah punya semua.”

Rania melendot manja pada lengan Alfi, “Tahun ini ‘kan Roland udah mau tiga puluh tiga, ya aku bukannya mau nyinyir, tapi menurutku usianya udah mateng buat... punya hubungan, mas. Jadi, gimana kalo kita comblangin dia?”

Alfi melirik Rania, “Sama siapa?”

“Aku baru inget punya temen SMA yang belum nikah. Tadi siang dia tiba-tiba ngechat terus nanyain aku punya sodara atau temen yang belum nikah gak. Aku bilang ada, terus dia antusias banget. Aku udah kasih foto Roland, dan kayaknya dia suka deh.”

Alfi tak langsung menjawab, ia menyentuh lehernya lalu menatap istrinya penuh pengertian, “Kalo Rolandnya gak mau gimana? Dia... agak susah loh soal ginian.”

“Ya kamu tanyain, coba kamu telpon sekarang. Kalo Roland gak mau ya... kita bisa cari perempuan lain. Ternyata temen-temen SMA aku ada yang beberapa belum nikah. Gak ada salahnya ‘kan kita bantu comblangin?”

Alfi mengangguk ragu.

“Ayo telpon Rolandnya, mas.”

Alfi dengan terpaksa mengambil ponsel di atas nakas dan menelpon Roland. Tidak lama telpon tesambung setelah ia menyalakan loud speaker, “Halo?”

“Hai, kenapa, Fi?”

“Ngomong, mas,” bisik Rania karena Alfi tak kunjung bicara.

“Ini... gue cuma mau tanya, lo... punya pacar gak?”

Suara tawa Roland menggema, “Gak ada lah. Punya pacar dari mana, ada-ada aja.”

“Ya kali aja ada. Jadi ini Rania... mau nyomblangin lo sama temennya. Barang kali lo minat?”

Sepi. Rania yang duduk berhadapan dengan Alfi bisa melihat raut tidak nyaman suaminya saat menunggu jawaban Roland.

Ketika bertemu, Rania mengatakan pada Roland bahwa ia akan pura-pura tidak tahu masalah mereka pada Alfi. Semua akan terjadi seperti biasa. Roland saat itu tidak menjawab.

“Nggak dulu deh, Fi, gue masih mau fokus sama kerjaan. Bilangin maaf ya sama Rania.”

“Oke.”

“Gue dipanggil nih. Gue tutup ya.”

“Iya, Land.” Alfi menutup ponselnya, lalu beranjak dari kasur membuat Rania gatal sekali untuk bertanya.

“Mas, kamu kok kayak gak suka aku mau jodohin Roland sama temen aku. Kenapa?”

“Ah, masa? Perasaan kamu doang itu. Aku cuma tahu Roland gak nyaman sama hal-hal begini. Aku ke kamar mandi dulu.”

“Aku pinjem hape kamu dong. Aku mau nyari kontak instruktur Yoga kehamilan. Kalo gak salah kamu masih simpen kontaknya ‘kan?”

Alfi menyerahkan ponselnya tanpa curiga.

Pintu kamar mandi tertutup. Rania sebenarnya ingin melihat aktivitas Alfi dengan Roland di ponsel. Ia mencari dengan cepat riwayat chat, galeri, dan aplikasi yang tersembunyi. Tidak ada yang mencurigakan. Semua terjadi sewajarnya.

“Roland bener, mas Alfi udah jadi pemain ahli. Omongan Fira juga bener. Suami yang Homo akan bersikap seolah dia suami dan ayah yang bertanggung jawab. Terus gimana caranya supaya mas Alfi ngaku kalo dia... beda?”

Rania menyimpan ponsel Alfi. Tak ada yang bisa ia cari disana, membuatnya harus berpikir sangat ekstra karena untuk membuktikan suaminya menyimpang ternyata tidak semudah yang ia pikirkan. Ia butuh bukti lain yang ia temukan sendiri sehingga Alfi kehabisan kata-kata dan akhirnya mengaku.

“Kalo mas Alfi akhirnya ngaku... apa aku... bakal bisa terima dia kayak biasa?” ia menutup wajahnya frustasi.

Mana mungkin semuanya sama, apalagi setelah suaminya mengaku kalau selama ini ia tidak sama dengan suami lainnya.

“Kalo mas Alfi gak mau ngaku... apa aku... masih bisa minta cerai dari dia? Alesannya apa?”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
ciri2 wanita dungu yg g bisa mencari solusi dari permasalahannya sendiri. bukti yg sdh ditangan ternyata g berguna utknya. dan terlalu mencari2 alasan utk menutkpi kebodohannya dlm memecahkan masalah.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status