Papa dan mama sedang bicara santai di ayunan belakang rumah. Rania yang haus tengah malam, tidak sengaja diam lebih lama mendengar obrolan mereka di dapur. “Tabungan papa semakin tipis, ma. Kita harus bayar kuliah profesi Rian. Kita juga harus bayar uang pangkal SD nya Satria.” “Mama bisa kok jual semua perhiasan mama, pa.” “Jangan, ma. Kehidupan kita masih panjang.” “Ya terus papa mau apa? Papa gak mungkin kerja lagi.” “Kita jual aja mobil pertama kita.” “Papa yakin? Papa sayang banget loh sama mobil itu.” “Demi Satria. Mana Rania juga mau kuliah profesi. Kemarin biayanya lumayan ‘kan pas disebutin? Kasian kalau dia harus mengubur mimpinya lagi.” Mama membuang nafas pelan, “Andai aja Rania mau terima Arbi langsung, dia pasti bahagia. Arbi bilang dia bersedia menanggung semua biaya kuliah Rania, bayar uang pangkal SD Satria juga. Sayang, Rania masih mikirin si Alfi.” “Ma, kasih aja Rania waktu.” “Mama cuma takut dia gak mau nikah lagi, pa. Apalagi dia gak mencintai
Rania dan Arbi berkeliling mendatangi tamu. Acara akad dan resepsi berjalan lancar tanpa kendala. Acara yang disiapkan Fira begitu sempurna. Ia berharap sahabatnya itu akan segera menyusul menikah. Rania tak menemukan orang yang sedari tadi dicarinya. Dari pihak keluarga suaminya, ia tidak melihat Alfi. “Sayang, kamu capek ya?” “Hm?” “Kamu agak pucet. Kamu gak enak badan ya?” “Enggak kok, mas.” “Kamu duduk aja, nanti aku nyusul.” “Gak papa, mas.” Arbi mencolek hidung Rania, “Nanti malem kamu harus bugar loh. Jadi sekarang jangan terlalu capek. Gih, duduk dulu. Aku keliling sebentar. Ada beberapa temen yang baru dateng.” Rania mengangguk, “Aku duduk ya, mas.” Rania berjalan dengan langkah pelan menuju pelaminan. Ia berharap Alfi datang agar bisa melihat kondisi terbarunya. Ia ingin tahu apakah mantan suaminya itu sehat. Fira yang sedang berbincang dengan teman-teman kuliah melihat Rania duduk lemas. Ia menghampirinya, “Ran, lo haus? Gue ambilin minum ya?” Ra
Enam bulan kemudian... PRANG! “Rania?” Fira yang baru sampai dan berniat akan mengantarkan Rania ke kampus karena ia juga ada urusan disana, menutup pintu mobil dengan kencang dan berlari menerobos rumah yang pintunya tertutup rapat. Ia berlari mencari sumber suara dimana mungkin Rania sedang membutuhkan bantuannya, “Ran? Ran, lo dimana?” “Fir, tolong.” Fira mendengar suara itu dibelakang rumah. Ia menemukan setumpuk piring pecah dan aliran darah dari bagian bawah sahabatnya, “Ran?” “Fir, aku—aku gak kuat. Ini sakit banget.” “Ya ampun, Ran, sini kita ke mobil pelan-pelan ya.” Di depan ruang Ponek, nafas Fira naik turun menunggu hasil pemeriksaan dokter. Wajahnya pucat, tubuhnya bergetar. Ia mengingat dengan jelas rumah sangat berantakkan tadi. Barang berterbangan, dan ada noda merah dibeberapa bagian sofa. Rania juga hanya sendiri di rumah. Seharusnya ada Arbi disana. Kemana ya dia? Satria jelas sedang sekolah. Tunggu, apakah Satria baik-baik saja? “Dengan wa
“Kamu kuat gak jalannya? Mau aku pinjemin kursi roda aja?” Rania menggeleng, “Aku kuat ko, mas. Aku ‘kan kuat kayak Satria.” Arbi tertawa, “Satria paling kuat sedunia, disusul kamu, disusul sama calon adik Satria.” Ia mengelus perut yang sudah mulai membesar itu. Rania tersenyum, “Satria mana ya, mas? Kok lama banget.” “Aku susul deh, kamu duduk dulu.” “Ya udah, aku tunggu disini.” Sesaat sebelum Arbi membantu Rania duduk dikursi tunggu lobi rumah sakit, sepasang kaki yang berhenti didepan mereka. Rania dan Arbi sontak mendongak menatap siapa pemilik sepatu yang mereka kenal baik. Senyuman itu tidak berubah. Rania melihatnya senang. Kedua matanya mendadak panas, “Mas Alfi?” “Rania, apa kabar?” Bukan jawaban yang Rania berikan, tapi sebuah tangisan yang sudah lama ia pendam. Seluruh hatinya dipenuhi rindu untuk kekasih lamanya yang baru terlihat lagi. Arbi menelisik wajah istrinya. Ia takut sekali hatinya kembali memihak Alfi seperti dulu. “Mama, papa, maaf ya ak
1 Pesan baru masukFrom Roland: Maaf kamu harus baca ini di pagi tahun baru, tapi aku dan Alfi sebenarnya adalah sepasang kekasih.Bagai diserang petir di siang bolong, Rania yang tengah berulang tahun hari itu justru mendapatkan hadiah tak terduga. Ia menutup mulutnya karena kehabisan kata. Air mata kemudian turun tanpa komando.Tidak ingin dilihat sedang menangis oleh suami dan anaknya, Rania pun memutuskan untuk lari ke kamar mandi dan menyalakan keran.Hancur sudah pertahanannya. Tubuhnya terduduk di lantai kamar mandi dengan luka hati menganga. Rania, wanita yang kini tengah hamil besar itu kini menepuk-nepuk dadanya yang sesak. Liburan yang dirancang suaminya dengan mengajak Rania ke Villa, kini berubah jadi liburan penuh air mata.Tok-Tok-Tok“Mama? Mama lagi ngapain di dalem?” suara kecil Satria membuat Rania menahan suara isak tangisnya.“Sssst, sayang, ‘kan papa udah bilang, mama mungkin lagi muntah karena adek bayi bete di dalem perut.” Alfi sudah pasti merayu dan berusaha
“Kenapa buru-buru, sayang? Aku ngajuin cuti empat hari biar kita bisa lama-lama di sini.” Alfi menatap Rania yang sibuk memasukkan baju-baju mereka ke dalam koper.Siapa yang akan meneruskan liburan, ketika mendapati pesan yang begitu menjijikkan. Rania jadi ingin cepat-cepat membuktikannya sendiri.“Aku lupa ada janji sama mbak Sani buat bikin kue bareng,” kilahnya.“Bikin kue ‘kan bisa kapan aja, sayang.”Rania menatap Alfi yang tengah duduk santai di atas kasur tanpa menghentikan aktivitasnya melipat baju, “Kamu lupa mbak Sani itu kerja? Waktu dia gak bebas, mas. Gak kayak aku cuma ibu rumah tangga.”Alfi bangun dari posisinya dan menghampiri Rania. Ia mencium pucuk rambutnya yang hitam mengkilap, “Ibu rumah tangga bukan hanya cuma. Itu dedikasi yang tinggi.”Rania membuang nafasnya. Ya jelas dedikasi, sebab karena Alfi menikahinya buru-buru, ia jadi gagal melanjutkan pendidikan profesi psikologinya.“Kamu tolong bujuk Satria ya. Dia pasti gak mau pulang dari sini.”Alfi menganggu
“Aku lagi gak pengen, mas. Perutku sedikit kenceng.”tentu saja, permintaan Alfi Rania tolak mentah-mentah. Melihat wajah suaminya saja sudah membuat pikirannya tertekan, apalagi jika ia harus melayani Alfi berhubungan badan?Bisa-bisa, pikirannya akan terus membayangi kala Alfi dan Roland bermesraan.Meski terlihat kecewa karena permintaannya ditolak Rania, Alfi tak lagi memaksa, “Hmmm gitu ya. Ya udah gak papa, aku gak mungkin membahayakan adek Satria apalagi ganggu kamu yang lagi kurang nyaman.”“Makasih ya, mas, kamu udah ngerti. Aku mandi dulu.”“Oke, sayang.”Setelahnya, mereka kompak pulang menuju Jakarta, usai Satria berhasil dibujuk.Begitu mobil sampai depan rumah yang pagarnya sudah terbuka. Kebetulan, ada kakak lelaki Alfi dan keluarganya yang sengaja menginap di sini untuk menjaga rumah mereka.Alfi langsung membuka pintu belakang mobil dan menggendong Satria yang sudah tidur sejak dari Villa. Ia menepuk lengan lelaki yang tubuhnya lebih kekar darinya, “Makasih ya, kak.
Raut wajah Arbi langsung berubah serius. Lelaki itu bahkan terlihat menahan napas, membuat Rania penasaran.Sayang, belum sempat pertanyaan Rania diijawab oleh Arbi, Satria dengan ekspresi kesalnya muncul menghampiri. Bocah itu memaksa mamanya untuk menemaninya tidur.Pagi harinya, Rania bersikap seperti biasa. Ia membuat sarapan ala kadarnya untuk sang suami yang tidak terbiasa makan berat.“Nanti aku pulang agak terlambat, sayang. Soalnya ada acara farewel party. Ada beberapa koki yang di rotasi ke hotel di Bali sama Surabaya.”“Iya, mas.”Alfi menghampiri Satria yang tengah menahan kantuk di kursi makan, “Anak papa kok masih ngantuk aja sih? Perasaan semalem tidurnya lebih awal dari biasanya deh.”Rania tersenyum sambil menuangkan teh hangat ke dalam cangkir. Karena liburan di villa terpotong, juga janji Alfi yang akan mengajaknya jalan-jalan batal karena urusan pekerjaan, Satria jadi menangis terus semalam. Anaknya itu terus-terusan mengigau sepanjang malam. Alfi terkekeh salah t