Setelah mengantarkan Satria sekolah, Rania memiliki waktu untuk kembali bertemu Fira. Sahabatnya itu ada praktik siang di rumah sakit, sehingga mereka bisa bertemu dan ia bisa menjemputnya ke TK tempat Satria belajar. Mobil Fira baru masuk pelataran gedung.
“Masuk, Ran.” Rania segera memasuki mobil. Ia tidak mengatakan akan pergi keluar pada Alfi, karena suaminya itu pasti curiga. Suaminya tahu bahwa ia hanyalah ibu rumah tangga yang jarang keluar rumah kecuali untuk urusan belanja dan Satria. Tapi setelah pulang dari Villa, ia berubah jadi sering keluar. “Kenapa lagi? Pagi-pagi kok udah cemberut?” Rania menoleh, “Fir, laki-laki Homoseksual bisa kembali normal ‘kan?” “Bisa, tapi susah. Dia harus punya tekad yang kuat, Ran.” “Ada yang mempengaruhi gak cepat atau lambatnya proses penyembuhannya?” Fira hanya menatap sahabatnya itu sebelum mobilnya belok menuju sebuah kafetaria yang akan mereka tuju, “Ran, lo“...Jadi apa yang terjadi?” “Mas Alfi... tetangga yang aku ceritain itu gak ada, Fir. Itu sebenernya...” Rania mendongak menatap Fira yang berdiri disamping kursi. Bicaranya terbata karena sebetulnya ia tidak siap memberi tahu siapapun mengenai kondisi suaminya. Fira duduk dengan mata yang terus terpaku pada Rania, “Jangan bilang Alfi... Homoseksual?” Rania tak berani menatap mata Fira lagi. Ia mengangguk lalu menunduk melanjutkan tangisnya. Fira tetap menatap sahabatnya yang hidupnya sudah pasti bukan hanya hancur, tapi juga lebur. Ia tak pernah menyangka akan mendapatkan kabar ini justru disaat ia mengatakan bahwa pernikahan mereka adalah panutan baginya. Tak ada yang bisa Fira katakan lagi. Terlalu banyak pertanyaan yang harus ia ketahui jawabannya, tapi ia yakin Rania pun tidak tahu semua jawaban itu. “Aku... hidup aku... rasanya berhenti waktu tahu semuanya.” isak tangis Rania membuat hati Fira juga nyeri, “Fir,
Rania tak pernah merasakan hidupnya sehancur ini sebelumnya, meski masalah banyak datang di fase kehidupan sebelumnya. Masalahnya selalu bisa diselesaikan setelah ia menangis. Tak seperti sekarang, ia sudah menangis beberapa hari ini tapi tak kunjung mendapatkan solusi harus bagaimana menghadapi semuanya. Setelah bertemu Fira, ia menjemput Satria dari TK dan langsung pulang. Rania tak memiliki hasrat untuk pergi belanja meski kulkasnya sudah tak menyimpan bahan makanan. “...mama gak denger aku ya?” suara cempreng Satria baru terdengar. “Kenapa, sayang? Kamu ngomong apa?” Rania menoleh pada Satria yang sedang memangku robot Transformer kesayangannya. “Aku laper, ma!” Rania melirik jam dinding bergambar Robot di dinding. Sudah jam delapan malam, “Ya ampun, maafin mama ya, sayang. Mama pesenin makan malam di aplikasi aja ya.” “Aku mau Ayam Goreng Tepung.” “Iya, sayang. Mama pesen sekarang ya.” Rania mengambil
Rania melenggang santai menaiki tangga, “Nanti tolong temenin Satria gosok gigi dan bacain dia dongeng, ya, mas.” Alfi tak mendebat ucapan istrinya. Ia mulai membereskan rumah yang dua tahun terakhir selalu rapi dan bersih karena Satria sudah mulai bisa membereskan barang miliknya sendiri. Ia hanya heran dengan perubahan sikap Rania yang tak biasa. Di dalam kamar, Rania sibuk mengatur rencana yang akan ia lakukan mulai dari sekarang. Ia sengaja menguping pembicaraan Alfi dan Arbi tadi. Ia tidak paham awalnya, tapi lama-lama ia mengerti kalau Arbi, kakak iparnya yang selalu perhatian padanya menyukai dirinya dulu. Entah kini, ia juga tidak peduli. “Aku harus bikin mas Alfi cemburu sama kak Arbi. Waktu itu aja dia marah banget karena aku bilang tertarik sama kakaknya. Tapi gimana ya cara bikin kak Arbi terus kesini?” Rania tersenyum senang. Terlintas ide dimana ia tahu bagaimana cara iparnya itu terus datang kesini. “Sayang, aku u
Satria sudah berangkat sekolah bersama papanya. Rumah juga sudah wangi dan rapi. Bahan-bahan masakkan pun sudah lengkap. Alfi yang membereskan semua. Suaminya itu memang cekatan urusan rumah, Rania beruntung. Tapi untuk masalah batin, ia jauh dari kata itu. Pernikahan untuknya adalah hal sakral yang harus terjadi sekali seumur hidup. Tapi jika suaminya menyimpang seperti Alfi, Rania tak masalah sama sekali jika harus bercerai. Tak ada pilihan lain selain berdiri sendiri, karena ia butuh kedamaian. Belum lagi Satria semakin hari semakin besar. Lama-lama sikap Alfi dan Roland pasti akan terlihat. Drttttt~ Rania meraih ponselnya yang tergeletak di atas ranjang. From : Roland Alfi udah cerita ke aku soal kamu yang gak mau terima mainan dari aku buat Satria. Dia juga cerita kamu gak mau aku ketemu sama Satria. Aku gak tahu apa yang ada dipikiran kamu. Tapi sikap begini justru akan bikin Alfi curiga Rania menaruh ke
“Land, bentar, ada panggilan lain masuk.” Rania mematikan sambungan telpon pada Roland dan mengangkat panggilan dari salah satu guru Satria, “Halo, miss?” “Halo, mama Satria, saya mau kasih kabar kalau Satria jatuh dari tangga. Mam bisa ke sekolah sekarang?” Rania menganga kaget, “Ta-tapi Satria gak papa ‘kan, miss?” “Satrianya gak papa, mam, ada luka robekan di dahi dan memar di betisnya.” “Saya kesana sekarang.” Rania kalut sekali, ia tidak bisa berpikir jernih mendengar keadaan Satria, padahal jelas, gurunya barusan mengatakan kalau Satria baik-baik saja. “Aku harus telpon mas Alfi. Enggak-enggak, mas Alfi pasti lagi kerja, hapenya pasti di loker. Terus siapa ya? Kak Arbi? Iya kak Arbi.” Telpon tak langsung diangkat. Selagi menunggu, Rania membawa tas dan memasukkan dompet serta minyak angin ke dalam tasnya. “Halo Kak, Kak bisa dateng ke sekolah Satria gak?” “Aku lagi mau meeting, R
Rania menutup kamar Satria setelah memastikannya sudah terlelap tidur. Ia yang mengira Alfi sudah kembali ke Hotel, sedikit kaget kala mendapati suaminya sedang memperhatikan Agil yang sedang berkeliling rumah memainkan mainan pedangnya. “Mas, kamu gak balik kerja?” “Aku udah izin. Gak papa, ada co asisten kok di dapur.” Rania berjalan memasuki kamarnya yang bersebrangan dengan kamar Satria. Alfi bangkit dari sofa dan menahan Agil yang akan menuruni tangga. “Agil, jangan kemana-mana ya. Mainnya dirumah aja. Semua pintu dikunci, jadi jangan berusaha dibuka, karena nanti berisik dan ganggu Satria yang lagi tidur.” “Oke, om.” “Mainnya pake mainan Agil sendiri ya. Gak boleh mecahin barang dan—Agil!” Tanpa menunggu Alfi selesai bicara, Agil sudah berlari menuruni tangga sambil berteriak kecil. Ia sudah diingatkan dari tadi bahwa tidak boleh berisik karena Satria sedang sakit. Alfi melenggang ke kamar,
Rania gelagapan, “Eum... itu, mas, temenku. Dia katanya udah lama suka sama kamu.” Alfi mendekati meja makan. Dahinya mengernyit, “Temen kamu? Siapa?” “Ira, mas. Kamu kenal dia ‘kan? Itu loh temenku yang janda itu.” tutur Rania asal sebut. “Oh,” Alfi menuangkan nasi dan lauknya ke dalam piring, “Makan yang banyak. Akhir-akhir ini aku liat kamu makannya cuma sedikit.” “Iya, mas.” “Mau aku suapin?” “Enggak. Kamu temenin Satria aja. Aku takut Agil... nanti pukul Satria kayak waktu itu.” “Kamu sih pake minta dia dititip disini segala. Ke depannya gak usah ajak Agil kesini lagi.” Rania mengangguk. “Ya udah aku tinggal.” Alfi mengelus rambut Rania lembut. Selama makan, Rania terus mendengar teriakkan bahagia Satria dikamarnya bersama Alfi. Sesekali ia juga mendengar tawa Agil. “Apa aku... maafin mas Alfi aja?” “Mamaaaa.” Satria berlari menuruni tangga. Ia me
Sejak bangun tidur, Alfi tak banyak bicara pada Rania. Ia pasti marah karena mendadak istrinya menolak untuk berhubungan badan semalam. Sudah beberapa kali terjadi seperti itu tanpa alasan yang jelas. Alfi yang bisa disebut suami yang aktif di ranjang pasti lah kecewa. “Satria yakin mau sekolah?” tanya Rania sebelum memasukkan buah potong dan pudding ke dalam kotak bekal. “Iya, ma, aku mau sekolah aja.” “Ya udah. Tapi nanti kalo ada yang sakit atau pusing, bilang ke miss ya. Nanti biar miss telpon mama buat jemput Satria.” “Oke.” Satria lanjut memainkan robotnya. Ia tak menyadari jika kedua orang tuanya sedang perang dingin dihadapannya. Rania memasukkan potongan buah Naga dan Pudding rasa Mangga ke kotak bekal. Ia sama sekali tak melirik ke arah Alfi yang terus meliriknya dari tadi. Alfi menunggu permintaan maaf istrinya, tapi ia hanya diam saja. Satria bangkit dari kursi, ia berlari ke arah kamar mandi. “Kamu a