“Land, bentar, ada panggilan lain masuk.” Rania mematikan sambungan telpon pada Roland dan mengangkat panggilan dari salah satu guru Satria, “Halo, miss?”
“Halo, mama Satria, saya mau kasih kabar kalau Satria jatuh dari tangga. Mam bisa ke sekolah sekarang?” Rania menganga kaget, “Ta-tapi Satria gak papa ‘kan, miss?” “Satrianya gak papa, mam, ada luka robekan di dahi dan memar di betisnya.” “Saya kesana sekarang.” Rania kalut sekali, ia tidak bisa berpikir jernih mendengar keadaan Satria, padahal jelas, gurunya barusan mengatakan kalau Satria baik-baik saja. “Aku harus telpon mas Alfi. Enggak-enggak, mas Alfi pasti lagi kerja, hapenya pasti di loker. Terus siapa ya? Kak Arbi? Iya kak Arbi.” Telpon tak langsung diangkat. Selagi menunggu, Rania membawa tas dan memasukkan dompet serta minyak angin ke dalam tasnya. “Halo Kak, Kak bisa dateng ke sekolah Satria gak?” “Aku lagi mau meeting, RRania menutup kamar Satria setelah memastikannya sudah terlelap tidur. Ia yang mengira Alfi sudah kembali ke Hotel, sedikit kaget kala mendapati suaminya sedang memperhatikan Agil yang sedang berkeliling rumah memainkan mainan pedangnya. “Mas, kamu gak balik kerja?” “Aku udah izin. Gak papa, ada co asisten kok di dapur.” Rania berjalan memasuki kamarnya yang bersebrangan dengan kamar Satria. Alfi bangkit dari sofa dan menahan Agil yang akan menuruni tangga. “Agil, jangan kemana-mana ya. Mainnya dirumah aja. Semua pintu dikunci, jadi jangan berusaha dibuka, karena nanti berisik dan ganggu Satria yang lagi tidur.” “Oke, om.” “Mainnya pake mainan Agil sendiri ya. Gak boleh mecahin barang dan—Agil!” Tanpa menunggu Alfi selesai bicara, Agil sudah berlari menuruni tangga sambil berteriak kecil. Ia sudah diingatkan dari tadi bahwa tidak boleh berisik karena Satria sedang sakit. Alfi melenggang ke kamar,
Rania gelagapan, “Eum... itu, mas, temenku. Dia katanya udah lama suka sama kamu.” Alfi mendekati meja makan. Dahinya mengernyit, “Temen kamu? Siapa?” “Ira, mas. Kamu kenal dia ‘kan? Itu loh temenku yang janda itu.” tutur Rania asal sebut. “Oh,” Alfi menuangkan nasi dan lauknya ke dalam piring, “Makan yang banyak. Akhir-akhir ini aku liat kamu makannya cuma sedikit.” “Iya, mas.” “Mau aku suapin?” “Enggak. Kamu temenin Satria aja. Aku takut Agil... nanti pukul Satria kayak waktu itu.” “Kamu sih pake minta dia dititip disini segala. Ke depannya gak usah ajak Agil kesini lagi.” Rania mengangguk. “Ya udah aku tinggal.” Alfi mengelus rambut Rania lembut. Selama makan, Rania terus mendengar teriakkan bahagia Satria dikamarnya bersama Alfi. Sesekali ia juga mendengar tawa Agil. “Apa aku... maafin mas Alfi aja?” “Mamaaaa.” Satria berlari menuruni tangga. Ia me
Sejak bangun tidur, Alfi tak banyak bicara pada Rania. Ia pasti marah karena mendadak istrinya menolak untuk berhubungan badan semalam. Sudah beberapa kali terjadi seperti itu tanpa alasan yang jelas. Alfi yang bisa disebut suami yang aktif di ranjang pasti lah kecewa. “Satria yakin mau sekolah?” tanya Rania sebelum memasukkan buah potong dan pudding ke dalam kotak bekal. “Iya, ma, aku mau sekolah aja.” “Ya udah. Tapi nanti kalo ada yang sakit atau pusing, bilang ke miss ya. Nanti biar miss telpon mama buat jemput Satria.” “Oke.” Satria lanjut memainkan robotnya. Ia tak menyadari jika kedua orang tuanya sedang perang dingin dihadapannya. Rania memasukkan potongan buah Naga dan Pudding rasa Mangga ke kotak bekal. Ia sama sekali tak melirik ke arah Alfi yang terus meliriknya dari tadi. Alfi menunggu permintaan maaf istrinya, tapi ia hanya diam saja. Satria bangkit dari kursi, ia berlari ke arah kamar mandi. “Kamu a
“Kamu—” Alfi menunjuk wajah Rania. Rania berusaha menahan dirinya. Ia hanya menatap suaminya datar. Suaminya pasti kesal karena hanya ia yang tersulut emosi, padahal sebelum pembicaraan itu, Alfi yang memulai semuanya duluan dengan mengatakan Rania akan lebih senang jika Satria bermain dengan Arbi. “Papa sama mama kok berantem?” Satria melirik papa dan mamanya silih berganti. Alfi keluar dari dapur untung menenangkan diri. Ucapan Rania yang terakhir membuatnya sangat marah. “Kita siap-siap ya, sayang.” sadar suaminya tengah marah, Rania sengaja mengalihkan pikiran Satria. *** Rania dan Alfi masih saling tak bicara. Kini mereka tengah menunggu diruang tunggu poli Kandungan. Rania bangkit, “Aku mau pipis dulu, mas.” “Nanti aja habis periksa. Sebentar lagi loh.” “Masih tiga orang lagi.” Rania tak lagi bicara lembut dan berusaha mencairkan suasana. Ia tidak peduli dengan amarah suaminya. U
“Ma, kita mau kemana sih? Kok baju-bajunya dimasukkin ke koper?” tanya Satria setelah diminta untuk memasukkan beberapa mainan ke dalam tas sekolahnya. “Kita ke rumah eyang ya, sayang. Kita... liburan disana beberapa hari.” “Liburan? Tapi ‘kan liburannya udah abis. Satria ‘kan udah masuk sekolah.” “Gak papa, sayang. Eyang tuh pengen ketemu kamu, mereka kangen banget sama kamu. Mama juga udah izin kok tadi sama miss.” Satria diam saja. Ia duduk ditepian ranjang dan menatap pintu kamarnya. “Kamu liatin apa, sayang?” “Kita ke rumah eyang sama papa ‘kan, ma? Tapi papa ‘kan kerja.” Rania menutup kopernya. Ia menghampiri Satria dan mengelus rambutnya lembut, “Papa... ada lembur ditempat kerjanya, jadi... kita berdua aja.” Satria mendongak, “Mama sama papa berantem ya?” “Enggak, kita gak berantem.” Satria tak bertanya lagi. Ia diam saja menampilkan ekspresi wajahnya yang sedih.
Rania hanya duduk dibelakang rumah. Ia butuh menenangkan diri setelah berdebat dengan mama soal Roland. Ia lupa bahwa suaminya sangat dekat dengan sang mama. Mereka bisa bercerita apapun seperti ibu dan anak. “Ran!” mama meneriakinya dari dalam rumah. Rania menoleh. “Tuh ada Alfi. Kamu bikinin minum sana.” Rania membuang nafas pelan. Ia tahu Alfi pasti kesini. Ia terpaksa bangkit untuk menemuinya. Kalau perlu ribut, mereka akan ribut disini. “Sayang? Aku bawain cake kesukaan kamu tuh. Lagi dimakan Satria.” Rania hanya berdiri mempehatikan sang suami yang sedang membuka jaketnya. Ada mama disana, duduk menonton sinetron favoritnya. “Aku buatin teh dulu.” “Gak usah, sayang, kamu duduk aja. Nanti kalo mau aku bisa kok bikin sendiri.” Mama memperhatikan wajah anak mantunya, “Kamu tuh ya, Fi, idaman banget jadi suami. Si papah mana pernah bilang gitu sama mama.” Alfi tertawa mendapat p
Alfi menarik lengan Rania ketika istrinya bangkit dari ranjang, “Mau kemana? Jangan bikin aku kewalahan karena kamu bersikap kayak gitu disini.” “Apa sih, mas? Aku cuma mau bawa minum.” Alfi melepaskan cengkramannya. Di tatap istrinya itu sejak keluar dari kamar hingga kini sudah kembali dan membawa satu gelas air putih. Setelah pintu ditutup, ia melempar berbagai macam bungkus obat ke atas kasur, “Obat kamu. Jangan bikin aku terlihat buruk didepan orang lain.” Rania menatap suaminya. Ia tak mengerti dengan ucapan Alfi. “Kamu bikin aku malu tahu gak?! Disangkanya aku gak becus jadi suami. Kamu mikirin apa sampe berat badan anak kita gak naik dari kontrol terakhir?” Rania tersenyum miring, “Anak kita.” Alfi bangkit, ia memegangi dagu Rania, “Yang berubah setelah pulang dari Villa itu kamu. Jadi ketus, marah-marah, curiga sama orang lain. Dan kamu sendiri yang bikin ulah bikin janin ini memprihatinkan. Berhenti bersikap aku yang menyakiti kamu.” Rania tak melawan. Ia terke
Alfi menghampiri papa-mama serta Satria, “Ma, pa, Satria, maaf ya. Barusan—” Papa melirik mama, “Fi, kita mau jogging dulu. Keliling komplek aja. Kita pergi dulu ya. Ayo, kejar eyang ya, Sat.” Papa berlari kencang agar bisa mengalihkan perhatian Satria pada amarah Alfi. Satria tidak bicara apapun. Ia mengejar eyangnya tanpa melirik Alfi. “Ma...” Mama mengusap bahu menantunya, “Mama ngerti kok. Mama pergi dulu ya. Kamu juga segera berangkat, nanti kesiangan.” Alfi mengangguk, “Iya, ma, sebentar lagi.” Mama melewati Alfi dan berjalan cepat untuk menyusul suami dan cucunya. Beliau tidak tahu sama sekali Rania ada dibelakang tubuhnya diruang tamu. Rania memegangi perutnya dan membalikkan badan. Ia pikir suaminya akan langsung berangkat. Ternyata Alfi menarik lengannya dengan kencang, “Aw, mas, sakit!” “Sakit kamu bilang? Kamu pikir aku gak sakit? Kamu ‘kan yang nyuruh kak Arbi kesini, hah?”