“Ma, kita mau kemana sih? Kok baju-bajunya dimasukkin ke koper?” tanya Satria setelah diminta untuk memasukkan beberapa mainan ke dalam tas sekolahnya.
“Kita ke rumah eyang ya, sayang. Kita... liburan disana beberapa hari.” “Liburan? Tapi ‘kan liburannya udah abis. Satria ‘kan udah masuk sekolah.” “Gak papa, sayang. Eyang tuh pengen ketemu kamu, mereka kangen banget sama kamu. Mama juga udah izin kok tadi sama miss.” Satria diam saja. Ia duduk ditepian ranjang dan menatap pintu kamarnya. “Kamu liatin apa, sayang?” “Kita ke rumah eyang sama papa ‘kan, ma? Tapi papa ‘kan kerja.” Rania menutup kopernya. Ia menghampiri Satria dan mengelus rambutnya lembut, “Papa... ada lembur ditempat kerjanya, jadi... kita berdua aja.” Satria mendongak, “Mama sama papa berantem ya?” “Enggak, kita gak berantem.” Satria tak bertanya lagi. Ia diam saja menampilkan ekspresi wajahnya yang sedih.Rania hanya duduk dibelakang rumah. Ia butuh menenangkan diri setelah berdebat dengan mama soal Roland. Ia lupa bahwa suaminya sangat dekat dengan sang mama. Mereka bisa bercerita apapun seperti ibu dan anak. “Ran!” mama meneriakinya dari dalam rumah. Rania menoleh. “Tuh ada Alfi. Kamu bikinin minum sana.” Rania membuang nafas pelan. Ia tahu Alfi pasti kesini. Ia terpaksa bangkit untuk menemuinya. Kalau perlu ribut, mereka akan ribut disini. “Sayang? Aku bawain cake kesukaan kamu tuh. Lagi dimakan Satria.” Rania hanya berdiri mempehatikan sang suami yang sedang membuka jaketnya. Ada mama disana, duduk menonton sinetron favoritnya. “Aku buatin teh dulu.” “Gak usah, sayang, kamu duduk aja. Nanti kalo mau aku bisa kok bikin sendiri.” Mama memperhatikan wajah anak mantunya, “Kamu tuh ya, Fi, idaman banget jadi suami. Si papah mana pernah bilang gitu sama mama.” Alfi tertawa mendapat p
Alfi menarik lengan Rania ketika istrinya bangkit dari ranjang, “Mau kemana? Jangan bikin aku kewalahan karena kamu bersikap kayak gitu disini.” “Apa sih, mas? Aku cuma mau bawa minum.” Alfi melepaskan cengkramannya. Di tatap istrinya itu sejak keluar dari kamar hingga kini sudah kembali dan membawa satu gelas air putih. Setelah pintu ditutup, ia melempar berbagai macam bungkus obat ke atas kasur, “Obat kamu. Jangan bikin aku terlihat buruk didepan orang lain.” Rania menatap suaminya. Ia tak mengerti dengan ucapan Alfi. “Kamu bikin aku malu tahu gak?! Disangkanya aku gak becus jadi suami. Kamu mikirin apa sampe berat badan anak kita gak naik dari kontrol terakhir?” Rania tersenyum miring, “Anak kita.” Alfi bangkit, ia memegangi dagu Rania, “Yang berubah setelah pulang dari Villa itu kamu. Jadi ketus, marah-marah, curiga sama orang lain. Dan kamu sendiri yang bikin ulah bikin janin ini memprihatinkan. Berhenti bersikap aku yang menyakiti kamu.” Rania tak melawan. Ia terke
Alfi menghampiri papa-mama serta Satria, “Ma, pa, Satria, maaf ya. Barusan—” Papa melirik mama, “Fi, kita mau jogging dulu. Keliling komplek aja. Kita pergi dulu ya. Ayo, kejar eyang ya, Sat.” Papa berlari kencang agar bisa mengalihkan perhatian Satria pada amarah Alfi. Satria tidak bicara apapun. Ia mengejar eyangnya tanpa melirik Alfi. “Ma...” Mama mengusap bahu menantunya, “Mama ngerti kok. Mama pergi dulu ya. Kamu juga segera berangkat, nanti kesiangan.” Alfi mengangguk, “Iya, ma, sebentar lagi.” Mama melewati Alfi dan berjalan cepat untuk menyusul suami dan cucunya. Beliau tidak tahu sama sekali Rania ada dibelakang tubuhnya diruang tamu. Rania memegangi perutnya dan membalikkan badan. Ia pikir suaminya akan langsung berangkat. Ternyata Alfi menarik lengannya dengan kencang, “Aw, mas, sakit!” “Sakit kamu bilang? Kamu pikir aku gak sakit? Kamu ‘kan yang nyuruh kak Arbi kesini, hah?”
“Mama sekarang tahu kenapa Arbi selalu nyempetin mampir kesini. Dia mau curi hati mama sama papa buat mewajarkan perselingkuhan kalian.” “Ma, gak kayak gitu. Aku sama kak Arbi gak selingkuh. Mas Alfi yang selingkuh.” “Ya udah sini buktiin ke mama kalo suami kamu selingkuh.” Rania diam. Ia tidak mungkin menunjukkan foto-foto Alfi dengan Roland. Mamanya punya Hipertensi yang cukup parah, sehingga ia takut akan membuat mamanya kepikiran dan berakhir jatuh sakit. “Ran, Alfi itu kurang apa sih? Dia sudah jadi suami dan ayah yang sempurna buat kamu dan Satria. Tapi kamu malah berkhianat dengan selingkuh sama kakaknya yang udah punya keluarga juga.” “Ma, aku udah bilang sama mama, mama gak tahu apa-apa soal mas Alfi.” “Ya udah ceritain dong sifat asli Alfi sebenarnya sama mama. Dari kemarin kamu selalu berkelit tiap mama minta bukti.” “Ma, gak semudah itu. Aku gak mau bikin mama sakit.” “Kalo kamu gak mau bikin
Alfi tidak pulang malam tadi. Rania pun sebenarnya tidak peduli. Untungnya Satria juga tidak bertanya kemana papanya seperti biasa. Kehadiran kakeknya sudah cukup menghiburnya. “Ran, kamu pulang ‘kan hari ini?” tanya mama sambil mengelap kompor setelah selesai masak. Rania menoleh. Semalam, ketika mereka bicara berdua dibelakang rumah, mama memintanya dan Satria untuk pulang hari ini. Mama tidak enak pada Alfi. Seolah beliau ikut campur dalam masalah keluarganya. Rania mengangguk. Ia akan pulang, bukan untuk menghormati permintaan mama, tapi karena sudah tidak ada lagi dukungan yang akan ia terima jika terus disini. “Mama bukannya gak seneng kamu sama Satria ada disini, tentu mama seneng. Tapi... gak baik kamu terus disini sementara suami kamu dirumah.” “Aku pulang jam sepuluh, ma.” “Ya udah. Nanti tunggu kue yang mama pesen di bu RT. Kamu bawain itu buat Alfi ya. Dia suka banget sama kue Marmernya.” Alfi lagi? Rania
Papa menggeleng, “Insting. Waktu mama bilang kamu mau kesini papa seneng. Papa kira kamu dateng sama Alfi karena dia cuti. Ternyata cuma berdua sama Satria. Ran, papa tahu baik kamu seperti apa. Kamu tidak pernah seperti ini sebelumnya. Sikap kamu yang dingin sama suami kamu juga bikin papa merasa... ada sesuatu diantara kalian.” “Pa, ada orang ketiga dipernikahan kami. Itu yang bikin aku begini.” “Arbi orang ketiganya?” “Menurut papa?” Papa tersenyum lalu menggeleng, “Papa gak melihat kamu tertarik sama Arbi. Papa cuma liat kakak suami kamu yang justru tertarik sama kamu.” Rania mengernyit, “Papa... tahu dari mana?” “Tahu dari sikap dan tatapan Arbi ke kamu. Semuanya beda, bahkan sejak sebelum kamu dan Alfi menikah. Papa pikir, setelah kalian menikah akan berbeda. Ternyata sama aja. Bedanya Arbi bermain lebih cantik dan rapi. Tapi kamu tenang aja, dari sifatnya, papa yakin Arbi bukan laki-laki nakal. Dia udah punya k
Rania mendorong pintu pagar rumahnya begitu turun dari taksi. Pak supir membantunya menurunkan koper. Satria yang enggan pulang, dipaksanya untuk kesini demi melancarkan niatnya mengumpulkan uang sebelum perceraian tiba. “Ma, mobil papa ada disini. Berarti papa ada di dalem?” “Mungkin. Coba Satria panggil.” Satria memencet kode smart door locknya lalu berlari ke dalam rumah, “Papa!” “Sayang?” Alfi melongokkan kepalanya dibalik tembok dapur, “Kamu udah pulang?” Rania tahu Alfi akan ada dirumah. Ia pasti memilih bermain aman karena tidak mau mendapat serangan darinya lagi. “Sayang?” Alfi menghampiri Rania dan mencium keningnya, “Kamu capek ya? Aku udah masak, kita makan sama-sama ya?” “Aku mau istirahat aja, mas. Kamu makan aja sama Satria.” Alfi mengangguk, “Kopernya nanti biar aku yang bawa ke atas.” Rania berjalan melewati suaminya lalu berhenti. Di liriknya Alfi yang terlihat takut
Rania sibuk memotong Wortel dan Buncis. Hari minggunya hanya dihabiskan di rumah saja seperti hari-hari biasanya. Beberapa kali dalam satu bulan biasanya Alfi akan membawanya ke Car Free Day, pulangnya lanjut belanja bulanan. Tapi minggu ini ia memilih diam dirumah sendiri, membiarkan Alfi hanya pergi berdua dengan Satria. Rania menaruh pisau, “Mas Alfi marah gak ya soal kemarin? Tapi dia bersikap biasa sih dari bangun tidur. Dia bakal beliin kalung itu gak ya?” Karena pegal, Rania memilih menghentikan kegiatannya. Ia duduk di meja makan memainkan ponselnya. Ia membuka story aplikasi chat teman kontaknya. “Enak banget orang-orang bisa pergi keluar di akhir pekan.” Rania menggeleng, “Mas Alfi tadi ngajak. Aku nya yang gak mau.” “Apa ya yang dia pikirin tiap aku nolak di ajak begitu? Apa dia bener-bener yakin kalo aku... beneran jatuh cinta sama kak Arbi?” Rania tersenyum miring, “Bahkan buat ngomong kayak gitu aja aku takut. Mana mungkin